"Oh, yang itu kue Robi, Sayang. Dia baru saja syukuran tujuh bulan istrinya dan bawain kue dan nasi kotak. Aku benar-benar lupa karena buru-buru tadi. Aku gak mau terlambat, Sayang. Maafin ya." Aku tersenyum kaku. Susah sekali untuk percaya Mas Galih disaat ia sudah pernah membuatku sangat patah hati.
"Oh, sayang sekali kamu gak bawain, Mas. Padahal kalau nasi kotak syukuran gitu, pasti rasanya enak. Mungkin karena didoakan." Mas Galih tersenyum. Ia duduk sambil memijat kaki ini.
"Nanti kita mau syukuran empat bulan atau mau tujuh bulan?" tanyanya.
"Entahlah, Mas, masih awal sekali. Mungkin nanti saja tujuh bulan." Suamiku tersenyum sambil mengangguk.
"Aku ke dapur dulu ya, lapar nih, mau makan." Aku mengangguk.
Yang perlu aku lakukan saat ini adalah berusaha memercayai suamiku, meskipun belum sepenuhnya. Sambil terus mencari informasi apakah di luaran sana suamiku masih menjalin hubungan dengan Esti.
Ngomong-ngomong Esti, aku lupa untuk mengecek bagaimana kabar pelakor itu. Aku menghubungi Bu Endah, ART lamaku yang mengenalkan dan membawa Esti bekerja untukku.
"Halo, Bu Endah."
"Halo, Non Kikan ya. Ya Allah, apa kabar, Non?"
"Sehat, Bu. Bu Endah gimana kabarnya?"
"Alhamdulillah saya juga sehat, Bu. Bapak gimana, Non?"
"Bapak juga sehat. Bu Endah sekarang kerja di mana?" aku tentu saja harus berbasa-basi dahulu. Tidak bis langsung to the point menanyakan kabar Esti.
"Saya masih di rumah aja, Non. Suami yang kerja jadi sopir sekarang. Antar-antar sayuran ke pasar. Oh, iya, Non, saya mau minta maaf soal Esti. Saya udah dengar kabarnya."
"Bu Endah sudah tahu?"
"Iya, saya tahu, Non. Esti ketahuan mencuri perhiasan Non Kikan. Ya ampun, saya beneran malu, Non. Padahal Esti itu setahu saya baik anaknya. Selalu kirim gaji juga untuk orang tuanya di kampung." Oh, jadi kabar diembuskan adalah Esti mencuri. Ya, tentu saja ia pencuri yang mencuri suamiku.
"Oh, itu, ya, Bu. Sudah saya pecat."
"Iya, Non, mohon maafkan saya ya, Non."
"Bukan salah Bu Endah. Oh, iya, bapaknya sakit ya dan Esti ada pulang kampung?"
"Iya, benar, bapaknya Esti sakit. Sempat koma tiga hari, terus sadar lagi. Esti udah gak di kampung lagi. Udah kerja lagi katanya di rumah orang kaya di Lampung." Mulutku membentuk huruf O.
"Oh, jadi sudah ke Lampung, Bu?"
"Iya, Non, udah kerja di Lampung." Aku menghela napas panjang. Rasanya lega sekali.
"Ya sudah, makasih banyak ya, Bu. Saya ada sedikit rejeki untuk Bu Endah buat jajan. Jangan ditolak."
"Oh, iya, aduh, gak usah, Non. Saya malu sama kelakuan Esti."
"Gak papa, Bu. Yang terjadi gak perlu disesali. Yang penting Esti udah gak kerja di saya dan udah gak di Jakarta."
"Iya, Non, begitu yang saya tahu karena adiknya Esti teman anak saya dan dia ikut mengantar Esti ke stasiun bus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Vitamin Stamina Pria di Laci Lemari Pembantuku)Sudah Tersedia Di Play Store)
RomanceDewasa 21+ Aku menemukan banyak obat di laci lemari pembantuku. Padahal ia tidak pernah sakit. Salah satu teman kantor, punya yang sama dengan obat pembantuku dan ia bilang, itu adalah Obat Kuat Pria.