twelve || mimpi jauh lebih indah dari kenyataan

202 13 0
                                    

Karlian tidak pernah berhenti berjuang dalam hidupnya. Dia akan pastikan bahwa pertahanannya tidak bisa diragukan. Dia sudah luar biasa, bertahan dengan hebatnya dan tidak mengeluh sedikitpun. Karlian percaya akan ada saatnya dia di akui oleh semesta, bukan hanya direndahka karena dia terlihat lemah.

Namun, dia seharusnya percaya. Bahwa sebenarnya dirinya sendiri pun lemah. Dia tidak bisa menunjukkan apapun, perjuangannya memang luar biasa. Hanya saja perjuangannya bukan hal penting untuk diakui oleh orang lain. Yang akan dilihat hanyalah hasilnya saja, tidak ada yang lain dari itu.

Semakin Karlian merasa dia luar biasa, semakin Karlian dijatuhkan oleh kenyataan hidupnya. Karlian selalu menyalahkan takdirnya, kenapa dia harus terlahir dalam keadaan lemah. Bahkan tidak bisa melakukan banyak hal dengan kebebasan. Padahal dia juga ingin melakukan banyak hal, agar dia bisa mendapatkan sebuah kenangan yang tak terlupakan nantinya.

Orangtuanya selalu memberikan larang, dengan alasan itu juga demi kebaikannya. Mungkin memang benar adanya, hanya saja Karlian tidak ingin mendengar hal seperti itu lagi.

Karlian benar-benar ingin melakukan banyak hal tanpa larangan. Lagian dia tidak tahu kapan bisa bertahan hidup, kemungkinan besok dia bisa saja mati. Maka dari itu, waktunya di dunia sangat singkat sekali. Jika saja dia tidak memanfaatkannya dengan baik.

Penyakit yang dideritanya sudah membuatnya merasakan sakit selama belasan tahun. Karlian tidak ingin lagi bertahan demi siapapun, entah itu demi keluarganya. Ataupun demi sebuah kehidupan yang layak. Karlian hanya yakin, jika satu-satunya cara untuk sembuh adalah —kematian.

"Maaf karena ngebuat kakak marah," lirih Karlan yang kini berada di dekat Karlian.

Cowok dengan matanya yang sendu itu menatapnya dengan lekat. Karlian tidak membalas perkataannya, dia merasa lemah saja. Sebenarnya kenapa juga dia merasa kesal pada Karlan, bahkan ingin sekali melampiaskan semua amarahnya pada sang adik. Yang terlalu berlebihan juga Karlian.

Jika dipikir-pikir itu tidak adil, Karlian tidak boleh egois dan melakukan sesuka hatinya saja. Karlan tidak berkeinginan melihatnya kesakitan.

"Kau masih punya kehidupan yang layak, manfaatkan dengan baik," katanya dibalik bibirnya yang pucat itu. "Aku akan mendukungmu, karena aku kembali putuskan. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga."

Sial, Karlan menangis di detik itu juga. Bagaimana tidak, perkataan Karlian menyayat hatinya. Dia tidak ingin mendengar kakaknya mengatakan perihal sedemikian. Tapi, apa boleh buat. Karlian sudah terlanjur mengatakannya dengan ekspresi wajahnya datar itu. Barangkali Karlian memang sudah kehilangan semangat untuk bertahan hidup.

Apakah ini salahnya? Karlan hanya terus berusaha tapi hasilnya sampai sekarang belum didapatkannya. Dia bahkan belum memberikan apa-apa untuk sang kakak. Mau itu kebahagiaan, ataupun kehidupan yang layak.

Karlan hanya bisa berjanji dan terus berjanji, dan itu mungkin membuat kakaknya kesal. Wajar jika selama ini Karlian terlihat kesal padanya, karena Karlan tidak bisa mengwujudkan keinginan kakaknya. Padahal dia sudah berjanji padanya.

"Kakak masih mau bertahan?" Tanya Karlan yang takut jika kakaknya akan mengatakan hal yang menyakitkan.

"Kemarin aku bermimpi indah, aku melihat langit malam yang dihiasi oleh bintang-bintang. Karlan aku bukan hanya melihat bintang, aku melihat bulan yang benar-benar sempurna. Cahayanya terang-benderang, karena mimpi itu. Aku menemukan kebahagiaanku, aku terus teringat akan mimpi itu," kata Karlian yang justru mengubah topik pembicaraannya.

Barangkali Karlian menghindari pertanyaan dari adiknya. Pembahasan yang tidak seharusnya untuk dibahas. Lagian, hal seperti itu bisa ditebak dengan mudah. Karlian sudah menyerah, dia memang tidak menyuarakannya secara langsung. Tapi yang terpenting, dia benar-benar menyerah untuk bertahan demi hidupnya.

Demi Kehidupan [✓] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang