8

893 81 3
                                    

"Nani dan Joong tidak ada di pesawat itu. Pihak maskapai mengkonfirmasi bahwa mereka ketinggalan pesawat." Ada keheningan sejenak di sana.

"Apa maksudnya, Ayah?" Tanya Dew agak bingung.

"Dew, Nani baik-baik saja. Dia sudah ada di bandara, pesawat yang membawanya baru landing."

      Seperti petir yang menyambar tanpa aba-aba, perasaan terkejut menyapu Dew begitu mendalam. Mata terbelalak, dan detak jantungnya berlari melebihi waktu.

      Namun, di balik gemuruh terkejut itu, muncul gelombang lega yang mengalir dalam dirinya. Rasa beban yang terasa begitu berat tiba-tiba terangkat, meninggalkan ruang untuk napas lega yang dalam. Merasakan seolah-olah beban bahu yang menekan sejak lama akhirnya dilepaskan, memberikan rasa ringan yang menyegarkan.

      Perasaan terkejut dan lega itu bergandengan tangan, menciptakan kombinasi emosi yang unik. Matanya masih mempertahankan ekspresi terkejut, namun senyum lega perlahan mulai muncul di wajahnya. Ia menyadari bahwa apa yang terjadi, meskipun mengejutkan, membawanya ke arah yang lebih baik, mengakhiri ketidakpastian dan menggantinya dengan ketenangan yang lama dinanti.

Helaan nafas lega di keluarkan. "Syukurlah." Gumam Ibu Dew sembari mengusap lengan putranya.

"Tapi mereka tidak menjawab panggilan dari ku." Ujar Dew.

"Mungkin ponselnya kehabisan daya. Mereka anak-anak ceroboh."

Tarikan nafas di keluarkan dengan kasar. Dew memijit pelipisnya, setengah frustasi dan lega.

     Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, langkah-langkah Nani menuju rumah terasa seperti kembalinya ke pangkuan kehangatan. Udara segar di sekitar bandara digantikan oleh familiaritas aroma rumah. Koper yang beratnya terasa seolah-olah membawa cerita perjalanan, kini ditaruh dengan lega di pintu depan.

Melangkah masuk, suasana rumah menyambutnya dengan kehangatan yang memeluk. Cahaya lembut lampu ruangan menyoroti kenangan-kenangan yang tergantung di dinding, memberikan sentuhan nostalgia kepada tempat yang dipanggil "rumah". Setiap sudut ruang tampak akrab, seolah-olah rumah itu sendiri menyambut kepulangannya dengan senyuman.

      Dengan pandangan lelah namun senyum tipis di wajahnya, Nani memasuki rumah. Awalnya, dia pikir dia akan langsung pergi ke kamar dan segera tidur. Namun melihat kedua keluarga ada di ruang tamu yang duduk dan menatap ke arahnya dengan tatapan lega membuatnya harus mengurungkan niatnya. Apa yang terjadi? Dia hanya bertanya-tanya dalam diam. Memberi wai.

"Selamat malam," ujarnya. Kala itu, Ayah Nani berdiri. Berjalan ke arahnya. Bingung, Nani benar-benar tidak tahu dengan situasi di rumahnya saat ini. Tepukan lembut pada bahunya membuat dia semakin bingung.

"Ada apa, Ayah? Tumben." Tanya Nani.

"Tidak ada apa-apa. Istirahatkan dirimu, ayah akan memberikan mu libur untuk dua hari ke depan." Ayahnya berlalu setelah itu. Ibu dan Ayah mertuanya juga sepertinya menunggu giliran untuk berpamitan dengannya.

"Tolong awasi Dew, ya, Nani." Nani tersenyum canggung, mengangguk ragu.

Setelah orang tua pulang, ruangan besar yang tadinya terlihat sempir berubah lapang. Terlalu luas untuk Nani dan Dew yang sama-sama terdiam di tempat.

"Ada apa sih? Kenapa mereka bersikap aneh?" Tanya Nani sembari menarik kopernya.

Dew beranjak dari duduknya, berdiri diam menatap Nani. "Mereka mengkhawatirkan mu."

Bibir kecil itu mengerucut untuk sesaat, "kenapa?" Tanyanya lagi.

"Pesawat sebelumnya—"

"Oh, itu. Aku tahu." Potong Nani.

(END) [BL] Little Husband-Short story✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang