"Siapa yang nyuruh lo masuk?"
Perempuan dengan baju putih dan celana hitam itu membalas "Aku nggak mau ngulang tahun depan Kak."
Jena yang mendengar hal tersebut merasa semakin kesal. "Itu bukan urusan gue."
"Keluar ga lo!"
Jena sudah sangat jelas ketika memberikan teguran, akan tetapi sepertinya itu tidak didengarkan oleh perempuan yang sekarang sedang mengadu kepada panitia lain.
Hari ini hari terakhir masa perkenalan kampus untuk mahasiswa baru dan Jena yang terlibat aktif sebagai wakil ketua itu sedang mengawasi proses registrasi di pintu masuk. Keributan kecil karena dresscode ini sudah cukup memakan waktu yang membuat perempuan itu semakin emosi.
Peserta perempuan, yang tidak mematuhi peraturan, itu tetap terdengar tidak mau tau terkait dengan dresscode yang sudah di tetapkan. Padahal, peraturan ini sudah dibagikan sejak beberapa hari yang lalu. Masing - masing panitia juga berkali - kali menegaskan bahwa tidak ada toleransi apapun, jadi jika tidak mematuhi peraturan yang diberikan maka sanksinya adalah tidak diperbolehkan mengikuti acara. Tidak mengikuti acara sama dengan harus mengulang di tahun berikutnya.
Hal ini sudah disepakati jauh - jauh hari bersama dengan semua panitia dan juga perwakilan dosen yang terlibat. Meskipun terlihat sepele, kampus ingin mengajarkan terkait dengan tanggung jawab dan kedisiplinan sehingga mahasiswa tidak akan menyepelekan berbagai peraturan lain nantinya.
"Berlebihan banget sih kak, aku cuman pengen masuk dan ikutin acaranya. Lagian kenapa kalian harus buat dresscode ribet kayak gitu sih. Selama aku udah bayar buat kegiatan ini harusnya aku berhak tetap ikut dong."
Jena akhirnya berdiri dari kursinya menuju tempat lawan bicaranya berada lalu berhenti tepat di depannya, dengan tertawa mengejek dia mengatakan. "Ngomong apa lo? Hak? Terus gimana dengan kewajiban lo yang ga bisa lo penuhi itu?"
"Oke deh lo boleh masuk." ucapan Jena membuat perempuan tersebut merasa lega sebelum akhirnya kelegaan itu berubah menjadi rasa terkejut dan malu. "tapi lepas semua baju lo."
Kemudian Jena mengatakan dengan lirih di samping telinga lawan bicaranya yang masih bisa didengar oleh beberapa orang di sekitarnya. "Lo pikir gue nggak tahu alasan lo telat dan masih pakai baju lo yang kemarin," Jena menjeda ucapannya sebelum mengatakan "dasar Jalang!" dengan senyum merendahkan.
Perempuan dengan name tag "Karina Ariani" tersebut terlihat berkaca - kaca menahan air mata dan mungkin juga amarah.
"Jena udah, ini sudah berlebihan!" salah satu panitia akhirnya berani untuk menegur setelah sebelumnya tidak ada satupun yang berani ikut campur.
"Lah lo mau nangis? Bukannya udah gue bolehin masuk? Tapi jangan lupa lepas semua baju lo, kan kayaknya nggak sopan kalo lo masuk ke tempat pendidikan kayak gini dengan baju bekas kelakukan murahan lo itu." Balas Jena dengan wajah polos yang dibuat - buat.
Karina merasa sangat dipermalukan dan ingin menghilang saat ini juga. Dia benar - benar membutuhkan bantuan untuk menghentikan ucapan jahat dari perempuan iblis tersebut.
"JENA! CUKUP! Apaan sih lo?" Sang ketua acara yang baru saja kembali, dari mengurus suatu hal, merasa terkejut dengan keributan yang dilakukan oleh wakilnya.
Haidan melihat Karina lalu memastikan bahwa Jena tidak sampai main fisik, lalu dia bertanya . "Lo nggak apa - apa? Jena ada mukul lo?" yang dibalas dengan gelengan oleh Karina.
"Niara! Antar dia ke ruang Kesehatan." teriaknya memanggil panitia kesehatan untuk mengantarkan Karina.
"Lo ke ruang kesehatan aja ya, gue pastikan Jena akan minta maaf sama lo." Karina merasa sangat berterima kasih kepada Haidan meskipun kedatangannya sudah sangat telat sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
How does it feel to be loved?
Fiksi Umum"Gue harus gimana lagi biar lo paham kalau gue nggak suka sama lo?!" laki - laki itu melanjutkan "Sampai kapanpun." "Nggak masalah, yang penting kamu milik aku." Perempuan itu, Jena, menjawab sambil melingkarkan tangan kanannya di lengan laki - laki...