Kalimat Tak Terucap

137 7 0
                                    

Ini entry yang aku kirim ke lomba #KasihTakSampai dari nulisbuku.com. Sayangnya aku belum beruntung untuk jadi salah satu pemenang mereka. Jadi, aku post di sini aja.

***

Hari ini, aku menulis lagi. Sama seperti dua minggu terakhir. Aku berhasil masuk ke SMA yang aku inginkan. Terima kasih. Aku belajar banyak darimu. Salah satunya, kau menjadi salah satu motivasiku untuk terus berusaha untuk menggapai apa yang aku inginkan.

Pada hari di mana pertama kali kita bertemu, aku menjadi perhatian semua orang. Aku terlambat pada hari pertama sekolah. Aku mendapat tempat duduk paling depan, tidak di samping siapapun. Kau ingat?

Aku membentangkan jaketku di atas meja dan mengubur wajahku di sana sebagai pengalihan karena aku gugup untuk membuat percakapan dengan orang lain, apalagi aku tidak mengenal siapapun di kelas saat itu. Namun kau datang, orang pertama yang mengajakku berbicara.

"Halo," katamu. Aku langsung mendongak, kau tersenyum lebar padaku. Mataku langsung terarah pada nama di seragammu: Neil. "Ada tugas awal. Kau mau lihat?"

Aku terdiam. Tugas awal? Di hari pertama sekolah? Jika ini masih kelasku yang lama, aku akan menolaknya mentah-mentah kemudian berkata,"Aku tidak mau. Aku akan mengerjakannya minggu depan." Tapi aku yakin di lingkungan baru, aku tidak mungkin melakukan hal itu, 'kan? Kemudian aku tersadar kalau kau menunggu jawabanku, maka aku mengangguk.

Kau mengulurkan selembar kertas ke atas jaketku. Lalu tersenyum lebar lagi, yang sekarang telah menjadi senyum favoritku. Dan pergi.

Aku memandangmu yang kembali duduk dengan sekelompok anak cowok di sudut kelas. Sekarang kalian memegang kertas yang sama yang diberikanmu tadi padaku. Kalian terlihat peduli padahal aku yakin kalian sama sekali tidak peduli. Dasar, anak cowok.

Kepalaku menunduk, membaca kertasnya. Itu tugas bahasa Inggris; pada hari pertama, sebagai tugas awal, kita sudah mendapat tugas untuk menerjemahkan sebuah novel, minimal lima puluh halaman. Dan dikumpulkan dua bulan kemudian.

Aku tersenyum lebar. Aku suka pelajaran bahasa Inggris, kau tahu itu, 'kan? Maka aku langsung memasukkan kertas itu ke dalam tas dan ketika bel pulang berdentang, aku memilih untuk keluar.

Sepulang sekolah pada hari kedua, aku langsung mengerjakan tugas bahasa Inggris kemarin. Aku menerjemahkan novel Roxie and The Hooligans yang kau tumpahi coklat panas saat itu.

Kau berdiri di hadapanku dengan memanggil namaku. "Beth?"

Aku mengangkat wajahku dari buku dan menemukan senyum lebarmu lagi.

"Boleh aku duduk di sini?" Kau menunjuk kursi kosong di sampingku.

Aku agak ragu saat itu karena aku belum mengenalmu sama sekali. Kupandangi kursi kosong dan wajahmu bergantian, namun akhirnya aku menyingkirkan novelku dan menaruhnya di atas paha. "Silahkan."

Kau duduk di sampingku, memandang tulisan tanganku di buku tulis, kemudian memandang novelku. "Kau sudah mulai mengerjakannya?" Nada suaramu saat itu terdengar tidak percaya.

"Ya." Aku tersenyum padamu, dan lanjut menulis.

"Tapi itu masih dua bulan lagi." Sudah kuduga bahwa kau–atau semua orang–akan bereaksi seperti itu. Tapi aku tidak peduli dengan tentanganmu, aku hanya mengedikkan bahu untuk membalas. "Novel apa yang kau terjemahkan?"

Aku mengangkat novel, menyelipkan jariku di halaman yang kubuka dan menutup novelnya sampai kau menganggukkan kepala.

Kau tersenyum ketika aku mengerutkan kening karena kebingungan. Kau tersenyum lagi ketika aku mulai menulis. Kau tersenyum lagi ketika aku memandang layar ponselku. Kau hanya tersenyum hari itu memandangku. Pada awalnya aku mengira kalau kau gila, namun akhirnya aku tahu bahwa kau tidak gila, kau hanya selalu tahu caranya untuk bahagia meskipun keadaan di sekitarmu membosankan.

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang