Segalanya tampak berbeda. Dari Karolina Utara dengan tempatku sekarang berpijak, Jacksonville. Dulu aku selalu berada di kelompok populer, di mana semua orang di kelompok itu selalu punya nilai A+ di ulangan, sementara orang di kelompok lain mendapat dibawahnya. Tapi disini, orang-orang dianggap sama karena mereka selalu mendapat nilai A+.
Aku memang murid pindahan di kelas sophomore atau bisa kau sebut satu SMU. Dan kali pertama aku melangkahkan kaki di koridor, bukan banyaknya tatapan yang diberikan padaku seperti ketika aku masih freshman, justru aku yang memberikan tatapan pada satu orang. Orang yang tengah berdiri sambil memantulkan bola sepak di kakinya, seakan-akan pusat duniaku ada disana bagaikan planet yang memandang matahari.
"Masih hidup?" Aku mengerjapkan mataku beberapa kali ketika satu sahabatku yang baru aku kenal beberapa bulan lalu mengipasi wajahku dengan tangannya. Hari ketika aku pertama kali bertemu dengan 'pusat duniaku', terjadi beberapa minggu lalu–katakan aku berlebihan!
"Mengganggu," ucapku sambil mengibaskan tanganku beberapa kali menyuruhnya pergi. Omong-omong, namanya Monita, katakan padaku kalau namanya betul-betul aneh. Aku tidak tahu dia keturunan mana, yang jelas dia punya rambut hitam sepertiku yang mengkilap dan wajah yang lebih mirip kucing.
"Oh iya, nat, kau sudah mengerjakan tugas essay bahasa inggris?" Serius, kalau Monita bukan sahabatku, sudah kupastikan wajahnya ada di tong sampah sekarang!
"Duh, apakah tugas masih berlaku ketika cinta baru saja datang?"
Sepersekian detik kemudian, aku merasakan sesuatu melayang ke dahiku. Aku mengusap dahiku beberapa kali dan melihat botol mineral ada di samping kakiku. Kulayangkan tatapan tak terima pada Monita yang berteriak,"Natalie kerasukan roh William Shakespeare!"
Aku memutar bola mata kesal. Sayangnya, ketika aku mengalihkan pandangan ke arah 'pusat duniaku', dia telah pergi. Mungkin masuk ke kelasnya. Aku menghembuskan nafas kasar, menubruk bahu Monita yang tertawa-tawa puas. "Puas, huh?"
Monita mengipasi wajahnya yang memerah. "Oke oke, maafkan aku, oke?"
"Terserah."
"Oh ayolah, Nat! Aku akan cari nomor handphone-nya, deh!" Monita menaik-turunkan alisnya sambil tersenyum lebar.
Mendengar itu, aku segera memalingkan muka pada Monita. "Kau serius, Neet?"
"Ehm." Monita menambahkan anggukan kepala.
"Oke."
***
Ini mimpi. Aku mendapatkan secarik kertas bertuliskan dua belas digit angka yang dilemparkan Monita pada jam pertama pelajaran. Alih-alih merengut kesal karena gulungan kertas itu melayang tepat ke hidungku, aku justru tersenyum lebar sambil menggumamkan terima kasih berkali-kali.
Setelah bunyi lonceng empat kali dibunyikan, aku secepat mungkin berlari menubruk beberapa orang yang menghalangi jalanku menuju gerbang. Kulewati segala hal sampai akhirnya aku berakhir dengan duduk termenung sambil memandang layar ponsel. Serius, aku cuma ingin mengirim satu sms pada murid senior yang kusebut pusat dunia. Tapi otakku seakan-akan ditusuk garpu Hades sampai rasanya otakku tak bisa berpikir.
Setelah berjam-jam bermeditasi, entah kenapa yang aku ketik hanya satu kata singkat yang segera kukirim.
To : xxx
Hai?Aku merebahkan tubuhku di atas kasur, memandang ukiran rumit di plafon kamarku. Meskipun bola mataku menyusuri tiap garis ukirannya, pikiranku melanglangbuana bersamaan dengan degupan jantungku yang lebih mirip musik disko.
Ponsel ditanganku bergetar. Sesegera mungkin aku memandang layar ponsel dan menemukan satu pesan penting dari nomor kakak senior yang sejujurnya masih belum aku tahu namanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Stories
Romantizm“Word spread because word will spread. Stories and secrets fight, stories win, shed new secrets, which new stories fight, and on.” ― China Miéville