One from two sides

53 2 0
                                    

Alunan simfoni Bach yang dimainkan sebuah piano dalam perpustakaan kastil melembut, seakan-akan dapat membelai tiap telinga yang mendengar. Bola mata coklat emas seorang laki-laki mengerjap kagum melihat betapa indah rambut hitam panjang, bergelombang, ke kanan dan kiri bagai ombak di tengah Samudera.

Sudah empat puluh menit ia berdiri disana, menggantungkan lengan di jendela rumah perempuan itu. Benaknya bertanya-bertanya seperti apa rupanya, seperti apa garis rahang, hidung, dan apa warna kedua bola matanya?

Betapapun dia mencoba mengganti sudut pandangnya, betapapun dia berpindah dari jendela satu ke jendela lainnya, wajahnya tetap tak terlihat. Rambutnya bagai tirai jendela saat badai hujan turun yang nyaris menutup seluruh bagian wajahnya.

Bukan, sejujurnya bukan hanya empat puluh menit pada hari itu saja. Mungkin ini empat puluh menit ke-dua puluh empat-nya dia menggelantung di jendela tua bagai pencuri saja.

Simfoninya berhenti, menyisakan kesenyapan mencekam yang panjang di telinga laki-laki itu. Untuk pertama kalinya, dia melihat perempuan itu berhenti bermain, menyelesaikan Bach yang cukup panjang. Sepasang bola mata yang memandangnya dari jendela mengerjap berkali-kali, tiba-tiba ada perasaan takut jika perempuan itu melihatnya. Bisa saja sepatu hak hitam yang tidak terlalu tinggi milik perempuan itu melayang tepat ke pipinya.

Tapi tidak. Itu tidak benar-benar terjadi. Perempuan itu tidak membalas pandangannya, perempuan itu hanya pergi dari ruangan itu setelah mengambil sebuah buku dengan tampak depan keemasan yang mengkilat. Timbul rasa penasaran di benak laki-laki itu, namun belum-belum dia melancarkan niatnya untuk menelusuri lebih jauh, dia sudah merasa sepatu kets abu-abunya lepas. Dan sialnya, suara gedebuk dari sepatu ke tanah membuat perempuan itu–untuk pertama kalinya–mengangkat wajahnya.

Laki-laki itu dengan tergesa melepaskan pegangannya dari kusen jendela, dan dengan terbirit, dia berlari.

***

Pesta. Daniel paling tidak bisa untuk tidak datang ke pesta bersama sepupunya, Jaime. Apa lagi kalau bukan makanan mewah yang mereka cari? Meski mereka harus rikuh mencari topeng bekas di pasar demi diizinkan masuk ke dalam pesta yang diadakan di kastil Calvary.

Saat bulan purnama nampak pada pukul delapan, Daniel dan Jaime telah menapakkan kakinya di atas permukaan lantai mengkilap kastil Calvary. Malam ini, mereka akan berburu makanan lagi, dan bonusnya, mereka bisa melihat wajah-wajah aristokrat para bangsawan muda yang memukau.

Daniel menggenggam gelas berisi sedikit cairan alkohol mahal yang jarang sekali ditemukan di pasar kota. Dia meneguknya sedikit demi sedikit bak bangsawan, sementara salah satu lengannya berpegangan pada birai di lantai dua yang memberikannya akses untuk memandang ke arah panggung. Mata coklat emasnya menatap dari balik topeng hitam-peraknya.

“Kau tahu, hal terbaik di dunia ini adalah menjadi dirimu sendiri. Bukan berpura-pura seperti itu.” Sebuah suara mengejutkan terdengar tepat di sampingnya, disusul dengan gaun keemasan seorang perempuan yang dengan tiba-tiba menyenggol lengannya.

Daniel mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”

“Aku tidak pernah melihatmu ikut makan malam khusus di Kastil Calvary jika kau betul-betul bangsawan.” Perempuan itu menyunggingkan senyum. Matanya mengkilat, berwarna hitam namun terkadang juga berubah jadi cokelat oleh sinar lampu.

“Tidak ada larangan bagi non-bangsawan untuk masuk ke pesta Calvary,” sahut Daniel, diikuti dengan dengusan nafas kesal.

Well, Aku tahu,” Perempuan itu tertawa kecil,”Tapi tidak begini. Kau bertingkah seolah-olah bangsawan. Tertawa licik dibalik topeng jelekmu. Padahal, tujuanmu kesini jelas-jelas hanya untuk mencuri makanan, bukan?”

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang