Bagian 1

297 2 0
                                    

Pagi ini Jakarta masih diguyur hujan deras. Sudah lebih dari enam jam air itu menghantam atap rumah kediaman Amisha dan Deva dengan rapat.

"Teh, airnya udah mendidih, tuh." Tiba-tiba Lena keluar dari kamar mandi dengan sehelai handuk di tubuh, melenggang santai melewati dapur dan ruang makan.

Dalam hitungan lima detik, pendarnya menatap gelembung-gelembung air di dalam panci dengan suhu minimal seratus derajat selsius. Sedang dua tangan perempuan itu sibuk menyambangi handuk.

Tak lama, terdengar deru langkah panik dari arah ruang tengah menuju dapur karena kalimat barusan. Seperti biasa, ibu rumah tangga seperti Amisha, pagi-pagi sudah disibukkan dengan berbagai hal. Mulai dari menyiapkan sarapan untuk satu keluarga, kemudian mengantarkan anaknya Elia yang baru berusia lima tahun ke taman kanak-kanak.

Jarak Amisha dengan Lena terus menyusut seiring langkah tak santai milik sang kakak. Netranya fokus pada lilitan handuk yang membelit tubuh molek sang adik.

"Lena!" Amisha setengah berteriak pada mahasiswi yang sudah berusia dua puluh satu tahun itu.

Sekali lagi mata Amisha menyapu pandang mulai dari rambut basah yang dibiarkan terurai sebahu dan handuk tipis yang membalut dada sampai paha putih milik adiknya. "Kalo Mas Deva liat, gimana?" Netra Amisha membola, memberi peringatan keras pada gadis di depannya.

"Tapi," tanggap Lena santai, "dia buktinya nggak liat, kan?" Gadis itu melanjutkan langkah santainya ke ruang tengah lalu berbelok ke kanan, arah kamar yang sudah ditempatinya hampir tiga setengah tahun selama di sini. Gadis itu tak menanggapi serius kalimat sang kakak tadi.

Perempuan berusia tiga puluh satu tahun yang mendengar jawaban adik kandungnya itu merasa kesal. Apalagi Lena tak menghiraukan omelan Amisha dengan benar. Sesekali mulut ibu rumah tangga tersebut berdecak sebal sambil memasukkan ceker ayam mentah ke dalam panci yang telah mendidih sejak empat menit lalu.

"Pagi, Sayang." Dua tangan besar tiba-tiba melingkar di pinggang Amisha dengan lembut. Pangkal kepala perempuan itu dikecup berkali-kali oleh sang pria; Deva.

Tak membutuhkan waktu lama, kepala milik Deva muncul dari arah bahu kanan Amisha dengan mata menyipit. "Lho, pagi-pagi kok mukanya jutek?" Laki-laki itu berputar empat puluh lima derajat ke samping, menatap lekat-lekat sebuah ekspresi tak asing milik perempuan yang sudah dinikahinya hampir tujuh tahun.

"Hm. Mas bikin kesel kamu, ya?" Tebaknya sambil menjawil ujung hidung Amisha gemas.

Kontan Amisha menggeleng, "Nggak, kok, Mas," jawabnya melengkungkan senyum tipis.

Pria itu membalas senyum hangat istrinya dengan sesekali mengacak manja anak rambut Amisha yang dikuncir kuda dengan asal. "Syukurlah," imbuh pemilik mata indah dengan manik cokelat muda itu.

Sekali lagi Deva mengecup singkat pipi Amisha sebelum tungkainya meninggalkan dapur yang mulai mengepul. Asap-asap gorengan itu berasal dari ebi furai kesukaan Elia, putri mereka yang masih tidur nyenyak dibalut sejuknya udara Jakarta karena hujan deras.

"Aku bangunin Elia aja, ya?" Deva memutar setengah tubuhnya sebelum benar-benar menghilang dari pandangan Amisha.

Perempuan itu menatap suaminya singkat, "Iya, Mas."

Kemudian Amisha tenggelam dalam kegiatan masak-memasak agar seluruh anggota keluarganya lekas menyantap sarapan pagi ini.

Deva merupakan sosok ayah dan suami yang hangat bagi keluarga kecil mereka. Terlebih bagi Amisha, perempuan pemilik hidung mancung tipis dengan rambut lurus sepinggang itu, pria ini seperti malaikat dalam hidupnya. Datang kala hati lelah karena telah lama mendamba sosok pria setelah kepergian sang ayah.

Sang PenggodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang