1. Peran Seorang Relawan

13 1 0
                                    

Dengan perahu motor kecil akhirnya aku dan sembilan relawan lainnya sampai disini, disalah satu sudut kota Medan yang menjadi salah satu tempatku memperkokoh jati diri.

Desa Belawan istimewa, pemukimannya diatas air yang berada tepat dipinggiran garis pantai laut, selemparan batu dengan alat-alat berat reklamasi.

Kami menginap disalah satu rumah panggung kosong milik warga untuk relawan perempuan, sedangkan relawan laki-laki tidur di mushalla.

Pagi yang dingin aku bersama relawan lainnya menuju rumah belajar menyiapkan keperluan. Anak-anak telah ramai datang maka tepat pukul delapan mulailah kami mengajar menggambar dan mewarnai. Walau tanpa seragam, ketebatasan ruangan dan peralatan seadanya namun antusias diwajah mereka membuatku semakin semangat memberitahu berbagai macam warna.

Desa Balwan cukup sulit diakses masyarakat luar begitu pula sebaliknya. Hal inilah yang membuat akses pendidikan masih tertinggal disini. Namun aku bersama relawan lainnya berangkat dan terbentuk dari jiwa aktivis mengambil peran mahasiwa menjadi jembatan keterbatasan tersebut.

Ketika jam belajar sudah selesai kami pulang. Beberapa anak-anak mengikuti sambil bertanya banyak hal kepada kami. Dengan senang hati aku dan relawan lainnya menjawab segala keingintahuan mereka. Berjalan dijembatan kayu panjang melihat aktivitas alat-alat berat diseberang, para nelayan melempar-tarik jala, anak-anak yang berenang dipinggiran pemukiman. Sangat menyenangkan berdiskusi ria dibawah kilauan senja yang menawan.
Sesampainya didepan rumah, ada beberapa ibu-ibu yang berdiri disana.

”Sore bu. Ada yang bisa dibantu?” Tanya  Laila memulai.

”Nah, sudah balek. Ini ada makanan untuk anak-anak kami yang baik.” Kata salah satu ibu yang menggunakan sarung batik. Di ikuti dengan kedua ibu-ibu lainnya yang memberikan rantangan, wajah kami berbinar menerimanya banyak makanan yang diberikan nasi, sayur, ikan sambal, bahkan bermacam kue.

Nikmat serasa kami dan mereka adalah keluarga. Setelah makan malam, briefing, kamipun bersiap-siap beristirahat.

"Banjir, banjir, banjir!"

Menjelang tengah malam kami terbangun dikagetkan dengan teriakan ramai dari luar. Dengan panik kami para relawan berhambur keluar. Diluar kakiku langsung diterpa oleh air laut yang tiba-tiba pasang. Sebelum air semakin tinggi kami semua bergegas naik dan menumpang ke pemukiman warga yang panggungnya lebih tinggi.

"Tidak apa-apa ya, jangan panik. Yuk silahkan tidur"

Kami ditenangkan tidur beramai-ramai diruang tamu, tapi aku tetap diselimuti rasa takut dan akhirnya bisa tidur pukul dua pagi.

Paginya, kami menuju rumah belajar. Namun alangkah terkejutnya ketika rumah belajar kampung Belwan roboh sebelah akibat banjir semalam. Disana juga sudah berdatangan anak-anak yang berlari menghampiri kami.

"kak engga bisa menggambar lagi ya?"

"kak, sekolahnya rusak. Kita engga bisa belajar lagi"

"Tidak apa-apa ya, sabar ya.." Kami menenangkan anak-anak yang bersedih.
Beberapa warga yang lewat berhenti, para relawan laki-laki menghampiri mereka berdiskusi. "oi, turunlah dari perahu, sekolah anak-anak kita roboh mari dirikan kembali."Kata salah satu bapak-bapak mengajak nelayan yang hendak berangkat.

Melihat, mengajak, berdiskusi maka ramailah kini warga yang turut memperbaiki rumah belajar. Mereka turun membawa perkakas dan mulai gotong royong meninggalkan garapan laut demi kenyamanan anak-anak mengemban ilmu. Aku bersama relawan perempuan lainnya membuat minum dan menyajikan makanan dirumah bu Ida tempat kami mengungsi semalam.

Setelah itu, dijembatan kayu panjang kami kumpulkan anak-anak duduk bersama. "Jadi, kak Ara ada sebuah cerita nih, ada yang mau denger?" Kataku memulai.

"Mau kak!!" Jawab mereka antusias.

"Oke, tapi kak Ara engga sendiri nih, kakak ditemani oleh.. "Aku mengambil sesuatu dari ransel, "Taraa.." Semua anak-anak bersorak gembira saat tangan kiriku terdapat boneka tangan.

"Jadi, kak Ara bersama Foyo bakal cerita tentang betapa indahnya saling menghormati."Akupun mulai bercerita diselingi canda.

Tak hanya anak-anak dan para relawan, ibu-ibu juga turut duduk dijembatan bahkan warga dan relawan laki-laki yang bekerja ikut mendengarkan dan menyahut dari bawah. Senyum keceriaan riangnya tawa mereka menghangatkan suasana. Rasanya sungguh bahagia, menenangkan.

Rumah belajar telah berdiri kembali bahkan panggungnya lebih tinggi dan kokoh. Aku merasa senang dan sedih, senang karena rumah belajar nyaman tegak kembali dan sedih karena abdi tunai sudah selesai disini. Sorenya aku bersama sembilan relawan lainnya pamit pergi.

Kami balas melambai saat anak-anak dan warga mengantar kami sampai jembatan ucapan terimakasih mereka sederhana namun mampu menghangatkan hatiku bersama siulet diantara ketenangan senja yang kami kejar menggunakan perahu motor ini.

Kebaikan, ketulusan serta betapa besarnya jiwa menuntut ilmu mereka membuatku serasa beegitu berguna. Aku berjanji, menjadi relawan tak akan usai sampai disini. Aku berjanji, aku akan terus mengabdikan diri.

Komuniasku, terimakasih telah mengenalkanku kepada tempat berkesan yang tak akan kulupakan.
Wahai relawan, kau istimewa bersama kenangan didalamnya.

Halo teman-teman 😃

[Cerpen] KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang