BAB 2

81 8 2
                                    

Update lagi kaaannn. Heheh.
Jangan lupa vote-nya ya teman-teman 🤩
Semoga suka ☺️
Tolong tandain kalo ada typo, ya. Terima kasih sayangku ❤️

***

Pondok kecil di bagian belakang rumah Nindy menjadi tempat pertemuan tiga sahabat dengan kesibukan yang berbeda itu. Saat sekolah dulu, mereka biasa berbagi cerita di tempat ini. Letaknya di pinggir sungai menjadikannya hanya bisa dikunjungi saat air sedang surut seperti sekarang. Biasanya, Hana dan Tantri juga mendapatkan hasil dari sungai jika ayah Nindy—yang menyukai kegiatan memancing itu—sedang berada di rumah, atau, mereka akan mendapatkan sesisir pisang manis yang dirawat dengan baik oleh ibunya Nindy.

Tidak jauh dari situ, seekor anjing peliharaan seolah menjaga sang tuan dari mara bahaya di sekitarnya.

"Ingat, nggak? Kita pernah ngapain aja di pondok ini?" Tantri bertanya.

"Emang kita pernah ngapain? Seingat aku, kegiatan kita di pondok ini cuma ngomongin orang." Nindy menyandarkan punggungnya pada dinding berbahan papan, tak lupa menggerakkan salah satu jempol kakinya yang sudah disejajarkan.

"Kenapa, ya?" tanya Hana tiba-tiba, membuat dua sahabatnya saling menatap untuk sejenak. Netranya menangkap lakara yang tengah melintasi salah satu sumber kehidupan manusia. Kemudian, dia melanjutkan. "Cari kerjaan itu susah."

"Namanya berusaha tidak ada yang mudah. Makanya, kalau sudah ada pekerjaan jangan disia-siakan. Harus bersyukur dan usahakan untuk menjalaninya dengan baik." Nindy berbicara tenang. "Omong-omong, aku punya informasi buat kamu." Kalimat selanjutnya yang ditujukan Nindy kepada Hana itu, seketika membuatnya bungkam.

"Niken sama Riga kerja di perusahaan yang sama."

Senyap mengisi ruang di antara mereka untuk sejenak. Sebelum anjing domestik peliharaan Nindy itu menyalak. Sang tuan segera menenangkan si peliharaan yang barangkali tengah mencari perhatian.

"Riga masih kerja di pabrik itu? PT. Apa, tuh, namanya? Elaeis Pasifik Utama, ya, kalo nggak salah." Tantri bertanya, atau lebih tepatnya hendak memastikan.

"Mungkin, iya. Nggak paham aku sama perusahaan-perusahaan gitu. Dari informasi yang aku dapat, Niken kerja di situ karena rekomendasi Riga."

"Valid, nggak, nih? Takutnya kalau cuma hoaks, kamu bakalan dituduh mencoreng nama baik mereka," kata Tantri, mencoba mengingatkan dengan menyebutkan beberapa contoh kasus yang pernah terjadi di negara mereka.

Selagi mendengarkan dua orang yang tengah sibuk menyampaikan argumen masing-masing, yang entah berdasarkan fakta atau tidak, Hana menghela napas dalam-dalam. Lalu, ia lepaskan secara perlahan. Tarikan napasnya menjelaskan betapa lelahnya wanita itu. Salahnya, yang memberi amanat kepada dua sahabatnya untuk selalu mengabarkan tentang Riga. Tetapi, meskipun begitu, Hana yakin dia akan baik-baik saja.

Selanjutnya, untuk mengalihkan topik yang sedang dibicarakan, Hana bertanya bagaimana pendapat mereka tentang keinginannya untuk mengikuti sebuah event, yang sebelumnya telah ia bicarakan bersama sang adik.

"Sist, menurut kalian, nih. Pekerjaan yang cocok untuk diriku yang lemah lembut dan selalu memikirkan perasaan orang lain ini, apa, ya?"

Seketika pertanyaan Hana mendapatkan lirikan malas dari orang di samping kanannya-yang masih betah mengunyah kudapan di hadapan mereka.

"Kerja, ya, kerja aja. Ngapain harus nanya pendapat orang. Mereka itu cuma sok tahu." Entah kenapa, Nindy selalu memberikan jawaban dengan nada dan raut wajah tidak suka. Bahkan sesekali, kalimat-kalimat yang dilontarkan wanita dengan gummy smile itu terdengar menusuk telinga dan hati.

Hana baru menyadarinya dua hari ini.

"Manusia hidup berkelompok. Kita saling membutuhkan dalam hal apa pun. Meskipun kita tidak memiliki pendapat yang sama, tapi suatu waktu kita perlu mendengarkan mereka. Toh, pada akhirnya keputusan tetap menjadi milik kita. Diri sendiri yang akan bertanggung jawab pada kehidupan yang dijalani."

"Makanya aku bilang begitu. Terlalu mendengarkan pendapat orang lain juga nggak baik buat keberlangsungan hidup. Kalau soal pekerjaan, cari tempat di mana kamu merasa nyaman dan tidak tertekan. Ya, kecuali, kalau kamu tertarik kerja di perusahaan. Artinya, kamu sudah siap bekerja di bawah tekanan." Nindy menjeda ucapannya. "Tekuni apa yang kamu minati. Menurut aku, sih, begitu."

Tantri mengangguk setuju. Kemudian, netranya menangkap beberapa kalimat pada telepon seluler yang menyala di pangkuannya. Sejenak, ia menimbang pesan dari seseorang itu. Lalu, beberapa menit kemudian ia berpamitan. Dia mengatakan bahwa seseorang tengah menunggunya di rumah.

"Tiba-tiba?" Ibarat penyelidik, Nindy bertanya sembari menatap gadis yang tengah menepuk-nepuk celananya. Agaknya, gadis itu sedang membersihkan debu-debu yang barangkali menempel pada setelan yang ia kenakan.

Anggukan Tantri menjadi jawaban atas pertanyaan itu. Kemudian, ia melambai pada dua orang yang selalu menjadi tempatnya berbagi cerita. Selepas punggung Tantri tak terlihat lagi, tidak ada kalimat apa pun yang keluar dari mulut sepasang sahabat itu. Sampai beberapa menit kemudian, Hana bertanya tentang kebenaran informasi yang disampaikan Nindy.

"Beneran Niken kerja di sana?"

"Jadi ceritanya, tuh, gini ... Waktu lagi nongkrong sama alumni kelas aku, Ada yang nanyain kabar kamu. Tapi aku lupa siapa. Terus ada yang bilang kalau Niken kerja di sana. Aku nggak tahu tujuan mereka ngomongin itu. Tapi ...” Nindy menyampingkan tubuhnya. “Mungkin, karena masa lalu kalian menarik untuk dibahas."

Apa yang membuat mereka tertarik pada hubungan yang pernah dia jalani? Tetapi, Hana berterima kepada mereka. Melalui cerita yang disampaikan oleh Nindy, dia jadi tahu bagaimana keadaan Riga.
Hana mengeluarkan ponselnya, lalu berbicara kepada Nindy. "Minta nomor Riga yang bisa dihubungi, dong."

"Nggak ada. Disimpan juga dia nggak nyimpan balik nomerku. Males, tahu." Dia kemudian mengambil smartphone di sudut pondok itu. Kemudian, membuka aplikasi hijau yang biasa mereka gunakan. "Aku coba cari di grup alumni, ya. Kayaknya, sih, ada."

Jika saja Nindy tahu bahwa Hana masih menyimpan dengan baik nomor ponsel Riga, dia tidak akan melakukan itu.

Semenjak kejadian beberapa tahun yang lalu, Riga benar-benar menutup seluruh akses interaksi di antara mereka. Bahkan sampai sekarang, nomor ponsel Hana masih berada dalam daftar hitam laki-laki itu.

“Nin?” Hana memanggil gadis yang tampak sibuk dengan ponselnya itu dengan ragu.

“Kenapa?” Nindy meletakkan kembali ponselnya di sudut ruang persegi tersebut. Tangannya mencomot kudapan yang tersisa. Sembari mengunyah, ia bersuara. “Oh, ya, Na. Nggak tahu ya kamu mau dengerin apa enggak, tapi, aku pengen cerita aja sih.” Dia menelan sisa-sisa kunyahan. “Waktu alumni kelas aku ngadain bukber, Riga kan ikut, tuh. Tumben-tumbenan banget, kan? Jadi, ada yang ngomong gini, ‘Gitu, dong, Ga. Kali-kali ikut nongkrong bareng kita. Kerja terus, nikah enggak.’. Terus, tau nggak Riga bilang apa?”

Jika itu tentang Riga, dia tidak akan peduli pada apa yang akan disampaikan. Sekalipun kabar tersebut berpotensi besar melukai palung hatinya, ia akan tetap mendengarkan. “Apa?”

Nindy membenarkan posisi duduknya. Netranya menatap lurus ke depan. Kepada Hana yang mungkin saja jantungnya tengah berdebar. Lalu, dia berkata, “Katanya, ‘mau bikin rumah dulu buat calon istri’.”

***

Jodoh JandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang