05

129 20 3
                                    

Tubuh kecil yang tersiksa selama 9 tahun akhirnya menyerah juga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tubuh kecil yang tersiksa selama 9 tahun akhirnya menyerah juga. Tubuhnya terbaring kaku di tengah ruangan yang biasa dipakai untuk mengobrol dengannya. Semua mata tertuju padanya, semua orang datang karenanya, dan semua doa hanya untuknya.

'Abya Kalis Harsyalina' nama yang indah seperti orangnya. Tutur kata yang terucap dari mulutnya, hanyalah mengiyakan ucapan orang lain. Ia rela menjatuhkan harga dirinya demi menyenangkan orang yang ia sayangi. Bukan karena gampang terbuai oleh rayuan ataupun gampang di goda. Sikap tidak enakannyalah yang membuat dia jadi seperti ini.

Wajah yang memucat, tubuh yang membeku juga dinginnya tubuh itu. Hal seperti itu tak bisa menghilangkan wajah cantiknya juga kebaikannya di masa lampau.

Abya kamu menyerah?bukankah kamu harus menjaga anak satu-satunya yang kamu punya?kamu tak mau kan anak mu tersiksa lahir dan batinnya?kenapa menyerah?capek yah?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Abya kamu menyerah?bukankah kamu harus menjaga anak satu-satunya yang kamu punya?kamu tak mau kan anak mu tersiksa lahir dan batinnya?kenapa menyerah?capek yah?

Umur 9 tahun bukanlah hal yang gampang saat ditinggalkan sang ibunda. Waktu dimana masih membutuhkan bimbingan kemana arah hidup ini, kemana harus dia jalani. Apakah dia bisa menjalani kehidupan ini dengan baik, aku berdoa untuknya.

Jam 14. 17 WIB siang. Acara pemakaman selesai, tapi suasana masih ramai memenuhi rumah. Mengucapkan bela sungkawa dan turut bersedih juga.

"Saya turut berduka cita yah pak Akra, semoga amal dan ibadah beliau di terima di sisi yang maha kuasa."

"Amin ... terimakasih pak."

Semua orang menghampiri Akra untuk memberikan kata-kata yang akan di aminkan olehnya. Matanya sayu tapi tak ada air mata yang keluar. Tubuhnya berbalut kemeja hitam, celana hitam juga kaca mata hitam yang bergantung di kantung dada sebelah kirinya.

Akra melirik ke arah luar rumah dan mendapati gerimis serta langit yang terlihat menghitam karena matahari yang tertutup awan. Langit seperti tahu apa yang terjadi hari ini. Dunia kehilangan salah satu makhluk wanita pilihan yang harus mengurus anak di umur yang seharusnya ia lakukan untuk menghabiskan masa remajanya.

"Mah ... Swara takut," ucap pelan dari bibir anak yang baru ditinggalkan dunianya. Swara hanya berdiam diri dikamar setelah ikut memakamkan sang ibunda. Ia sudah mengerti apa itu kematian. Apa itu di tinggalkan, hanya saja ia tak tahu kedepannya ia akan bagaimana.

Tubuh kecil ini rapuh Abya, kenapa kamu meninggalkannya?tak ada yang bisa memberikannya kasih sayang sebanyak kamu.

Swara hanya diam di pojok kamar, tempat istimewa jika ia sedang ketakutan. Di hati Swara sekarang tersimpan rasa takut serta dendam. Tapi ia tak tahu rasa itu ada pada dirinya. Kelas 6 sd yang baru bisa belajar menghitung perkalian atau pembagian, mana tahu ia tentang dendam di hatinya ini.

Matanya hanya bisa menangis dan menangis, padahal dia tahu kalau menangispun tak akan merubah apapun.

Toktoktok
Pintu kamar Swara yang diketuk dari luar.

"Den ... ini mbok, apa boleh mbok masuk?" Ucap mbok lanjut membuka pintu kamar Swara perlahan. Bola matanya memutar mencari seseorang kesana ke sini. Akhirnya ia menemukan seseorang itu. Ia sedang menitupi dirinya dengan selimut.

"Mbok ... Swara mau ikut mamah," suara lemah dan bergetar dari tubuh yang kehilangan.

Mbok yang mendengar itu hanya bisa memeluk Swara dengan perlahan. Ia mengusap punggung Swara juga mencium puncuk rambut anak kecil ini. Mbok tak bisa berkata apa-apa, ia tahu apa yang dirasakan Swara. Pasti rasanya sangatlah sakit. Kedepannya Swara harus hidup bersama ayah tempramental.

Swara menangis di pelukan mbok. Mbok pun tak bisa bohong kalau dia tidak menangis. Dalam pelukan itu mereka berdua mengutarakan isi hatinya dengan air mata.

"Aden makan dulu ya ... aden belum makan dari pagi ," ujar mbok sambil melepas pelukan dan melihat wajah sendu Swara.

Balasan Swara hanyalah diam, hanya hening dari Swaralah yang mbok dapatkan.

"Sebentar ya den, mbok ambilin makanan," kata mbok sambil berjalan meninggalkan Swara di kamarnya.

______

Malam tiba, hanya suasana hening yang menghiasi isi rumah sekarang. Hampir 24 jam Swara di tinggalkan oleh Abya. Rumah yang memang dari awal hening ini, semakin hening setelah sang penakluk suasana hilang meninggalkan tempat berteduhnya juga.

Swara memberanikan diri untuk keluar kamar, ia melirik kesana kesini dan tak ada orang. Sepertinya mbok sudah di kamarnya dan pak Agus sudah berjaga di pos depan, tapi dimana Akra?

Swara berjalan ke dapur untuk menghantarkan piring yang masih berisi makanan yang terlihat tak tersentuh sama sekali. Langkah kecilnya terdengar di dalam kesunyian malam itu. Tapi ia tetap berfokus untuk tujuannya.

Tanpa sadar ia melihat sang ayah yang tertidur di sofa ruang tamu. Awalnya ia tak mau mendekati Akra, tapi ia mencoba melihat sang ayah lebih dekat. Ia melirik ke arah tangan Akra yang menjuntai ke lantai, di sana terlihat seperti sebuah foto yang terjatuh dari genggaman tangan Akra.

Swara mengambilnya dengan perlahan. Mata coklat kehitaman itu melihat foto mamahnya yang terbingkai dengan ukuran kecil. Ia lalu melirik ke arah Akra yang tertidur lelap, dengan baju yang belum ia ganti sejak tadi pagi. Balutan kemeja hitam dan celana hitam yang menyelimuti tubuhnya. Ia tidak menyangka, bahwa ayahnya ini juga merasakan kehilangan terhadap mamahnya yang terikat juga sebagai istrinya.

______

Mulai pagi ini Swara tak akan mendengar suara Abya saat membangunkannya dari tidur lelap. Malah sekarang tidurnyalah yang tidak lelap. Pagi ini Swara terbangun dengan cepat. Yang biasanya ia bangun jam 6 pun Swara merasakan bahwa itu terlalu pagi, tapi apa yang dilakukan Swara sekarang? Ia bangun di jam 3 pagi tanpa bisa tidur kembali. Ia hanya duduk di meja belajar dan mencoba untuk melanjutkaan pembelajaran yang tertinggal kemarin-kemarin.

Sekarang jam menunjukan pukul 6 pagi. Swara keluar dari kamar dengan pakaian dan perlengkapan yang sudah siap. Saat turun Swara bertemu mbok yang sedang melakukan bersih-bersih dengan lap berwarna merah di pundak kananya. Mbok yang melihat Swara sudah siap dengan pakaian sekolahnya ikut kaget.

"Aden tidak mau istirahat dulu 1 hari saja?" Tanya mbok.

Swara reflek menggelengkan kepalanya untuk membalas pertanyaan mbok. Swara berjalan ke meja makan, sebelum ke ruang makan matanya melirik ke ruang tamu untuk mengecek apakah ayahnya masih tertidur disana, ternyata tidak. Akra sudah tak tertidur di sana. Ia lanjut berlajan ke meja makan dan langsung duduk di kursi yang biasa ia duduki.

"Selesain dulu aja mbok bersih-bersihnya," celetuk Swara karena ia melihat mbok yang bingung harus mengurus rumah dulu atau Swara dulu.

"Iyah den ... maaf yah sebelumnya," jawab mbok.

Swara hanya lanjut berdiam diri dengan tatapan kososng ke depan. Sesekali matanya melirik jam tangan yang melekat pada pergelangan tangan kirinya.

'Jam berapa mamah kritis?' hal yang terlintas dalam benaknya kala itu.

SWARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang