Be who you really are. As long as you love yourself nobody’s opinion matters.
—Karen SalmansohnSarapan pagi ini sendirian dengan sereal granola dan buah mangga. Brian berangkat lebih dulu karena panggilan pekerjaan. Well, dia juga seorang workaholic. Hari ini pula adalah hari pertamaku masuk sekolah dengan status ‘anak pindahan’. Mungkin sekolah di Brig berbeda jauh dengan sekolah di kotaku dulu. Mungkin juga di sini tidak sesak dengan kompetisi kepintaran, olimpiade-olimpiade, dan juga lingkar pertemanan yang mesti sesuai dengan strata kepopuleran.
Aku menghela napas. Apakah harus kulakukan seperti biasanya? Menjadi orang yang ceria dan terbuka, menempati posisi tertinggi sebagai seorang murid dengan kepintaran di atas rata-rata. Sebenarnya aku lelah untuk bersikap begitu, apakah perlu aku menjadi anak yang nakal dan membangkang? Tapi bagaimana jika ibuku tahu hal itu—lalu aku kembali ke kotaku dulu padahal di Brig belum berjalan dua tahun?
Itu akan menjadi neraka.
Dari jendela ruang makan ini terlihat ada bis sekolah berhenti di depan rumah jamur. Lalu ada dua orang keluar dari sana rumah itu—salah satunya memakai seragam yang sama sepertiku, dan yang satu lagi memakai seragam anak TK. Mungkin itu adiknya? Dia pun masuk ke dalam bis sembari melambai-lambai. Anak yang memakai seragam sepertiku itu membalikkan badan, itu dia. Seseorang yang kulihat saat malam tadi. Apakah dia kakak kelas? Adik kelas? Teman sekelas? Akan bahaya jika dia tahu aku pandai berbohong, atau sikapku berbeda jauh dari yang terlihat saat di sekolah.
Aku menghela napas, menyimpan bekas makanku di atas wastafel dan memakai tas. Hari-hariku di Brig harus menyenangkan. Sekolah baru itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan sekolahku dulu.
Semoga saja, anak perempuan yang mendongeng malam itu bukanlah teman sekelas.
***
Aku turun dari mobil yang dikemudikan oleh sopir Buckley itu tepat di depan gerbang sekolah. Ketika turun dari sana, dapat dirasakan banyak pasang mata menyorot padaku. Beberapa berbisik-bisik, beberapa hanya diam, dan beberapa menatap kagum. Ini salah satu hal yang harus selalu dilakukan setiap berangkat ataupun pulang sekolah: pergi ke sekolah dengan menggunakan mobil yang dikendarai sopir pribadi. Aku tidak menyukainya, teramat sangat. Tapi ini bukan keputusanku, ibu yang meminta sopir untuk ikut ke Birg dan mengawasi keseharian anak tengahnya di sini.
“Saya jemput tepat ketika bel pulang sekolah berdering,” kata Ben, sopir keluarga Buckley, tepat ketika aku baru saja keluar dari mobil.
Aku tidak menjawab, dan dia pun segera pergi.
Ah, lihatlah. Gedung bertingkat tiga di hadapanku ini—sebuah medan tempur yang memuakkan. Aku harap tak terjadi hal yang tidak mengenakkan, mari menjalani hari dengan baik-baik saja.
Bel sekolah pun berdenting, menandakan bahwa pelajaran akan segera dimulai. Murid-murid seketika berlarian masuk. Aku melihat sesosok wanita paruh baya di sebelah pintu masuk sekolah. Saat murid-murid melewatinya, mereka membungkuk dan menyapanya. Aku pun mendekat ke arahnya dan dia tersenyum dengan ramah. Wanita paruh baya ini adalah Nyonya Reto. Kepala sekolah sekaligus salah satu kolega ibu.
“Willkommen in der Schweiz, Ali.” Nyonya Reto mengatakan selamat datang di Switzerland untukku. Aku pun tersenyum dan mengucapkan terima kasih, lalu kami mulai masuk ke dalam area sekolah. Beliau memberikan tur singkat untukku, sebelum akhirnya sampai di depan kelas baru.
Ini dia, kelas baruku selama dua tahun ke depan. Rasanya gugup.
“Kamu tidak perlu takut apa pun, jika ada masalah bisa segera sampaikan padaku ya, Ali.” Nyonya Reto mengetuk pintu yang tertutup di hadapanku ini dua kali. “Aku sangat senang kamu ada di Brig, mengingatkanku pada cucuku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Akan Selalu Kembali Untuk Pulang [TERBIT]
Teen Fiction"Dunia itu luar biasa, Ali." Aku hanya tahu bahwa dunia itu membosankan, melelahkan, medan tempur terbesar umat manusia. Tapi, seorang anak perempuan yang aku temui di kelas baru, seolah bilang bahwa dunia tidak melulu begitu. Ada banyak hal menarik...