Meeting you was a miracle.
—Laisy KalterPelajaran yang berlangsung tadi cukup membosankan. Aku sudah mempelajarinya tahun lalu. Tentu saja sistem belajar itu berbeda tiap sekolah, aku tidak masalah.
Sekarang bel sudah kembali berdenting menandakan bahwa waktu istirahat sudah tiba. Tepat ketika Pak Crist keluar dari kelas, beberapa anak datang ke mejaku. Mereka bertanya-tanya tentang, apakah aku dari keluarga aktris, apakah aku punya kakak, apakah aku pernah keliling dunia dan lainnya. Aku menjawab itu semua satu-persatu dengan senyum yang gemilang hingga pipiku pegal bukan main.
Akhirnya aku dapat pergi ketika salah satu murid datang dengan antusias, berteriak di depan pintu kelas: ada sandwich makaroni!
Dari yang kudengar, sandwich makaroni itu sangat populer dan cepat habis. Mereka yang mengerumuniku itu segera berbalik arah dan berlari menuju kantin. Beberapa juga sempat mengajakku, tapi aku menolak dengan alasan ingin ke kamar mandi.
Ketika kelas mulai sepi dan aku baru selesai membereskan buku-buku, aku menoleh ke arah gadis itu. Dia duduk dengan tenang sembari membaca buku yang cukup tebal. Kacamata bulatnya bertengger di hidung sedikit melorot, sorot matanya teduh, sesekali kedua sudut bibirnya tertarik tipis. Mungkin itulah alasan Merdya Aster dipanggil ‘Nerd’ oleh murid lain, hanya karena suka membaca buku dan tak banyak berbicara?
Apa dia tidak bosan hanya duduk dan tenggelam dalam cerita yang dikarang orang lain?
Apakah dia nyaman hanya diam dan bercengkerama dengan kepalanya sendiri?
Aku tidak peduli, lantas berjalan keluar ruangan sesaat sekonyong siswi dari kelas sebelah masuk ke dalam. Aku sengaja melambatkan langkah kaki dan sedikit melirik ke arah mereka dari sudut mata. Apakah para siswi itu teman-temannya? Tapi mereka semua tampil modis. Maksudku, seperti orang-orang yang duduk di takhta tertinggi dalam strata kepopuleran, sedang mendatangi Merdya Aster yang merupakan rakyat terbawah.
“Nerd dikerubungi sama gengnya Sofia lagi.”
“Tidak heran. Biarkan saja, kita tidak perlu ikut campur.”
“Alien itu mengganggu pemandangan.”
Terdengar lagi bisik-bisik tidak menyenangkan itu. Dan benar saja, di sini juga ada perundungan. Buku yang sedang dibaca gadis itu diambil oleh salah satu siswi yang datang tadi, lalu dilempar ke luar jendela.
Aku mengalihkan pandangan ke depan, kembali berjalan dengan normal. Beberapa yang mengerumuniku di kelas tadi datang kembali membawa satu sandwich makaroni untukku. Mereka sengaja membelikannya dan berkata bahwa aku wajib mencicipinya. Aku tersenyum, membalas senda-gurau mereka dan berjalan menuju lapangan indoor untuk menonton para gadis pemandu sorak berlatih.
Dunia itu luar biasa. Aku ingat kata-kata yang dilontarkannya semalam. Apakah ini yang dimaksud gadis itu sebagai, ‘dunia itu luar biasa’?
Aku menyunggingkan senyum. Aku ingin tahu apa maksud dari perkataannya. Luar biasa dari mana?
Hey, Merdya Aster. Dunia itu mengerikan.
***
Aku pikir butuh waktu berhari-hari untuk beradaptasi dan dikenal oleh orang lain, ternyata tidak. Di sini lebih mudah, apalagi karena aku datang dari luar kota, banyak cerita yang bisa kukatakan pada mereka. Aku juga dengar tentang geng Sofia, serta tentang Merdya Aster.
Gadis itu, sejak pertama kali masuk sekolah memang pendiam. Dia tidak banyak mengeluh atau berbicara, tidak banyak memberontak dan menjadi sasaran empuk senior yang haus perhatian. Lalu, gadis paling populer di sekolah ini adalah Melinda. Tidak ada yang tidak mau berteman dengannya—mungkin terkecuali Merdya. Gadis itu tidak tertarik. Dia hanya membaca buku. Kedengarannya siklus hidup Merdya Aster membosankan.
Geng Sofia itu diambil dari perundung utama di sekolah ini, seorang gadis berkulit kuning langsat yang tadi melempar buku milik Merdya. Sofia Metwenn. Dia seorang balerina dan penyanyi. Aku sebenarnya tidak begitu peduli, tapi entah kenapa aku mendengarkan. Sesekali mereka juga mengolok-olok gadis berambut keriting itu, membuatku bertanya dalam hati, apa Merdya Aster seburuk itu?
Ketika jam istirahat hampir selesai, aku pergi ke belakang sekolah untuk melihat kelinci yang katanya ada di sana. Benar saja, kelinci-kelinci mungil itu ada, dekat dengan lab biologi. Kelinci ini milik Nyonya Reto, kata ibuku beliau memang pencinta binatang. Namun, di sini selain kelinci, ada seseorang yang tengah duduk sambil membaca buku. Siapa lagi kalau bukan Merdya Aster?
Aku duduk di sebelahnya tanpa bilang. Karena di sini hanya ada satu tempat duduk, jadi tidak masalah.
Sepuluh menit berlalu, dan dia tidak berbicara sama sekali. Benar-benar sibuk dengan membaca, seolah kehadiranku ini tak ada. Aku jadi tersenyum dan sadar ternyata aku menunggunya untuk bersuara.
“Jika tidak nyaman, pergilah.”
Akhirnya dia bersuara setelah aku tersenyum seperti itu. Tapi dia tidak menatapku, masih fokus pada bukunya.
“Kenapa kamu diam saja?” tanyaku.
Merdya tidak menjawab, dia menutup buku dan membetulkan kacamata yang melorot di hidung.
Aku menyenderkan punggung pada penyangga kursi panjang yang kami duduki. “Apa kamu tidak marah?”
“Tidak ada gunanya.”
Aku menoleh ke arahnya. “Hidupmu terdengar membosankan.”
Satu sudut bibir gadis itu tertarik. “Kita hidup di dunia yang berbeda, kamu hanya tidak tahu itu.”
“Dunia yang kamu maksud sebagai, ‘dunia itu luar biasa?’”
Merdya menoleh ke arahku, dan barulah dapat kulihat mata coklat terangnya dari dekat. Mengkilap seperti kelereng.
“Dua-duanya luar biasa. Mungkin kamu hanya terfokus pada sisi gelapnya, sisi tidak menyenangkan, sisi yang melelahkan.” Dia tersenyum. “Tampaknya hidupmu jauh lebih membosankan daripada aku.”
“Aku tidak mengerti.” Apa maksudnya?
“Setiap kalimat ‘luar biasa’ yang dilontarkan seseorang itu memiliki makna yang variatif. Kamu bisa datang ke sirkus dan menyaksikan tupai masuk ke dalam kotak, lalu kotak itu dibelah dua oleh seseorang lantas berteriak: itu luar biasa! Namun, seseorang di sampingmu menangis, menyela perkataanmu yang bilang bahwa pertunjukan itu luar biasa. Baginya pertunjukan itu menakutkan, memprihatinkan, bukanlah sesuatu yang menyenangkan.”
Aku mendengarkan.
“Sama seperti kebebasan.” Merdya menunjukku menggunakan bukunya. “Hey, anak baru. Apa itu kebebasan menurutmu?”
Tidak tahu. Aku terdiam mendengarkan pertanyaannya. Apa itu kebebasan menurutku? Jauh dari ibu dan ayahku? Jauh dari tekanan mereka yang berusaha begitu keras untuk membuatku sempurna? Namun, benarkah itu kebebasan?
Senyumnya mengembang lebih lebar, dia menurunkan tangannya. “Makna kebebasan juga variatif. Bagi sebagian orang, mati adalah bentuk kebebasan karena hidupnya terlampau menyedihkan. Tapi bagi sebagian orang lainnya, mati adalah hal yang mesti dihindari, karena mereka tidak diberikan kesempatan. Siapa itu mereka? Mereka yang sakit, mereka yang memiliki tanggung jawab, mereka yang memiliki sesuatu yang berharga.”
Aku menelengkan kepala.
“Kebebasan itu tidak harus diakui orang lain. Kita bisa membuat kebebasan versi kita sendiri tanpa paksaan dan pengakuan orang lain,” katanya, lalu bangkit dari duduk bersamaan dengan bel berdenting, menandakan waktu istirahat sudah habis. “Karenanya, jangan pedulikan kalimat ‘dunia itu luar biasa’ yang kukatakan. Dunia itu luar biasa menurut pandanganku sendiri.”
“Aku hanya tertarik karena perkataanmu itu, karena bagiku dunia itu mengerikan.” Aku ikut bangkit dari duduk, lalu mengulurkan tangan. “Aku juga bukan si anak baru. Alister Buckley. Panggil aku Ali.”
Butuh waktu beberapa detik tanganku melayang di udara, sebelum akhirnya gadis itu membalas uluran tangan dan bilang, “Salam kenal, Ali. Aku Merdya Aster. Panggil aku Merdy.”
Aku tersenyum. “Merdy, mungkin kamu bisa membawaku ke duniamu. Dunia yang menurutmu luar biasa itu.”
“Jangan menyesal,” katanya, lalu tersenyum lebih lebar.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Akan Selalu Kembali Untuk Pulang [TERBIT]
Fiksi Remaja"Dunia itu luar biasa, Ali." Aku hanya tahu bahwa dunia itu membosankan, melelahkan, medan tempur terbesar umat manusia. Tapi, seorang anak perempuan yang aku temui di kelas baru, seolah bilang bahwa dunia tidak melulu begitu. Ada banyak hal menarik...