"Have I gone mad?" asked The Mad Hatter.
"I'm afraid so, you're entirely bonkers.
But I'll tell you a secret, all the
best people are," Alice answered.
-Alice In WonderlandBenar saja, tempat istimewa itu berada jauh di dalam hutan, padahal hari sudah petang.
Aku dibawa oleh Merdy melewati rumah kami, masuk menuju hutan, melewati jembatan kayu yang di bawahnya terdapat sungai, pohon pinus menjulang tinggi, semak belukar, padang ilalang, lembah, dan danau. Aku tidak kelelahan sama sekali. Apa yang dijelaskan tadi mungkin terkesan seperti perjalanan jauh menuruni lembah, menyebrangi lautan, mendaki gunung-tidak. Tidak sejauh itu, tetapi tetap jauh.
Di seperjalanan aku tidak banyak berbicara, tapi Merdy bersenandung. Dia tampak menikmati perjalanan ini. Sesekali mengambil ranting kering yang patah dan berjalan seperti seseorang berkebutuhan khusus, meloncat ketika ada batu, berlari ketika ada tupai untuk mengejarnya.
Entahlah, sosoknya begitu ... berbeda.
Dia bukan seperti Merdya Aster yang terlihat di sekolah. Sosoknya di sini tampak begitu bebas. Apalagi saat kami melewati padang ilalang kekuningan itu, dia berlarian di sana dan berputar-putar sembari tertawa. Sedangkan matahari sore menerangi kami, angin dari The Matterhorn bertiup kencang. Rambut ikal merahnya melayang, mata cokelatnya menyala terang, tawanya terdengar riang. Merdy bahkan memanggil namaku yang termenung melihatnya begitu senang-lalu meraih tanganku, digenggamnya lalu diajak berlari.
Merdy bertanya, bukankah ini sisi dunia yang belum kamu lihat?
Aku tidak menjawab, karena apa yang ditanyakannya itu benar.
Apakah dunia memang begitu mempesona seperti ini?
Ataukah mungkin itu karena Merdy?
Baru hari ini kami berbicara, tetapi dia sudah mengejutkanku dengan banyak hal.
Kami berjalan sampai ke danau. Di seberang danau itu terlihat ada jalan setapak yang dihiasi batu berbagai macam warna. Merdy mengangkat tangan kanannya, mengeluarkan jari telunjuk untuk menunjuk ke sana. Itu duniaku, tempat istimewaku, katanya, lalu mendekat ke arah perahu kecil yang tersimpan di sisi danau.
Dia menarik perahu itu, naik ke atasnya. Aku terdiam melihat Merdy siap mendayung. Sadar bahwa aku tidak bergerak dan hanya memperhatikan, senyumnya terukir lagi lalu menyuruhku untuk naik.
Sore itu, untuk kali pertama bagiku menaiki perahu kecil yang mengkhawatirkan. Kayunya sudah berlumut, rapuh, tapi masih kuat membawa kami sampai ujung sana. Aku juga mencoba untuk mendayung, entahlah. Rasanya menyenangkan.
Ketika sampai, aku mengikuti Merdy di belakang yang berjalan menuju rumah yang berada di balik tribun pohon berdaun lebat. Banyak sekali tupai di sini, burung, aku juga mendengar suara kucing yang mengeong dengan samar-dan semakin jelas saat aku masuk ke dalam.
Karena banyak pohon pinus, matahari sore masuk melalui celah-celah antarbatang pohonnya. Dan tepat di depanku, ada sebuah rumah kecil dari kayu dengan atap bata, berjendela bulat dan berpagar cokelat. Pagar itu ditumbuhi tanaman merambat yang sudah berbunga. Di depan rumahnya terdapat banyak sekali sayuran yang dirawat dengan baik-di sisi kirinya terdapat sungai kecil yang disinggahi para itik. Banyak kucing yang mengeong ketika Merdy datang, di atapnya pula banyak burung bertengger cantik. Tupai, rusa-apakah ini kebun binatang?
Mataku membola ketika aku melihat ke arah kanan, ada kebun kecil yang ditanami banyak bunga.
"Selamat datang, Ali." Suara Merdy terdengar, membuat fokusku kembali lagi padanya. "Selamat datang di duniaku, di tempat istimewaku."
Aku terdiam.
"Rumah ternyamanku," katanya lagi, dengan senyum hangat sembari menggendong kucing liar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Akan Selalu Kembali Untuk Pulang [TERBIT]
Ficção Adolescente"Dunia itu luar biasa, Ali." Aku hanya tahu bahwa dunia itu membosankan, melelahkan, medan tempur terbesar umat manusia. Tapi, seorang anak perempuan yang aku temui di kelas baru, seolah bilang bahwa dunia tidak melulu begitu. Ada banyak hal menarik...