As is a tale, so is life; not how long it is, but how good it is, is what matters.
—SenecaHujan gemericik mengguyur kawasan Brig di Switzerland menjadi fenomena aneh di mana orang-orang hanya tahu di sana jarang sekali hujan----banyaknya musim dingin bersalju. Tapi itu tidak masalah, kawasan cantik ini akan menjadi tempat tinggalku selama dua tahun bersama Kakak. Tempat singgah baru, lingkungan baru, sekolah baru, orang-orang yang baru. Lebih tepatnya: medan tempur baru.
Di kotaku dulu terlalu problematik, banyak urusan politik, penuh sesak dengan kertas-kertas ujian dan uang. Ketika lelah yang dilihat saat keluar dari medan tempur itu hanya gedung-gedung pencakar langit, para workaholic, mobil-mobil, klakson, asap, dan pembicaraan tidak menyenangkan para preman jalan mengenai kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan. Namun, di Brig, lihatlah The Matterhorn berdiri dengan cantik. Hijau kebiruan. Orang-orang di Brig juga tidak terlalu sibuk, bukan kota yang masuk nominasi sebagai kota padat penduduk. Jarang sekali ada mobil yang melintas, kebanyakan orang-orang berjalan kaki. Rumah-rumah di sini pun sangat estetik, melihatnya membuatku menghela napas dengan panjang.
Tentu saja, Brian Buckley, kakakku itu salah paham.
"Jangan mengeluh, ini keputusanmu."
Aku menoleh ke arah Brian yang mengatakan itu, lalu menyunggingkan senyum. "Apa manusia di dunia ini yang bernapas di dekatmu selalu kamu anggap sebagai 'orang yang mengeluh'?"
"Aku tahu kamu tidak menyukai ini, Ali."
"Aku bersyukur bisa pergi ke Brig, jauh dari ayah dan ibu."
Mobil yang kami kendarai seketika berhenti, dari kaca spion dapat terlihat Brian membuang pandangan dan mengepalkan tangannya erat. Siapa yang tidak muak? Aku yakin tekanan yang diberikan ayah dan ibu padanya juga begitu berat. Bukankah pilihan yang menyenangkan menjauh dari mereka yang menyakitimu?
Agak aneh, menyebutnya sebagai mereka yang menyakitimu padahal mereka adalah orang tua kami.
"Turun. Kita sudah sampai." Brian mematikan mesin mobil yang menderu, dan keluar sembari memayungi diri dengan tangan, berlari menuju seseorang yang tengah duduk di dekat rumah besar di sebelah mobil kami ini. Rumah minimalis dari kayu bertingkat dua. Halamannya cukup luas untuk parkir satu mobil dengan alas rumput yang dipangkas tapi. Ada kotak surat kecil di sebelah pintu berwarna merah. Pintu dan jendelanya tampak mengkilap, seperti dari kayu yang dipoles setiap detik dengan minyak. Dindingnya bercat putih. Di atas pintu kayu itu terdapat tulisan 'Rumah Buckley'. Sudah dipastikan, inilah rumah yang akan kami tinggali selama dua tahun ke depan. Rumah paling ujung, dekat dengan hutan, dan dekat dengan rumah dengan bata merah----tidak, lebih layak disebut sebagai, rumah jamur?
Rumah itu seperti jamur raksasa yang pernah kulihat dari ilustrasi iklan fantasi di web. Atapnya cembung berwarna merah, lengkap dengan cerobong asap perapian. Rumahnya kuno sekaligus estetik. Rumputnya dipangkas rapi, terdapat jalan berbatu menuju pintu utama. Rumah jamur itu benar-benar besar, aku penasaran dengan furnitur apa saja yang ada di dalamnya. Lebih menarik lagi, di sebelah rumah jamur yang besar itu terdapat rumah pohon. Dekat sekali dengan dinding rumahku.
Melihatnya membuat senyumku merekah. Lantas aku turun dari mobil dan membuka payung, ikut masuk ke dalam rumah baru itu bersama Brian yang baru saja selesai berbincang dengan pemilik rumah di seberang rumah kami.
***
Seperti yang diduga, malam hari di Birg sangat tenang. Biasanya di rumahku dulu ramai dengan perdebatan, kata-kata kasar, minimal ada piring pecah dua. Lalu adikku menangis, ibuku yang sibuk itu pun meneriakinya, lalu aku berdiri bagai pahlawan menghalau amukan ibu, sayangnya terkena tamparan beliau yang tak sengaja melayang.
Malam ini dan dua tahun ke depan aku tidak akan melewati malam melelahkan itu lagi.
Dengan kaos putih tebal bermotif Trolls dan celana panjang olahraga kebesaran favorit, aku duduk di balkon yang dekat dengan rumah pohon di sebelahku ini sembari membawa secangkir cokelat panas. Tempat ini sangat bagus untuk melihat bintang dan aurora.
"Suatu hari, ada seorang anak laki-laki bertopi coklat tinggal di gubuk tua di hutan. Dia hidup sederhana bersama orang tua dan satu adiknya yang masih kecil."
Aku mengerutkan dahi. Terdengar samar suara seorang perempuan dari sini. Mungkinkah, seseorang dari rumah pohon di hadapanku? Apa dia sedang, mendongeng?
"Setiap hari ibu dan ayahnya pergi bertani serta berburu, sang anak bertopi coklat pun diberi tugas untuk menjaga adiknya. Setiap kali ibu dan ayahnya pulang bekerja, mereka selalu membawa ubi dan jagung, serta susu sapi dan beberapa daging burung."
Aku ikut mendengarkan sembari melirik ke arah rumah pohon dengan lampu yang menyala terang itu. "Namun, suatu hari, anak bertopi coklat ini muak dengan pekerjaannya. Dia bosan, lantas pergi keluar meninggalkan adiknya yang sedang tidur. Dia pergi ke kota, melihat kehidupan di kota yang jelas berbeda jauh dengan kehidupannya di hutan. Bahkan anak bertopi coklat itu pergi ke pelabuhan, melihat banyak perahu besar yang sedang berlayar.
Dia pun kembali sore hari. Ibu dan ayah yang mau memarahinya itu tidak jadi karena si anak bertopi coklat berteriak, mengatakan bahwa dia ingin menjadi seorang pedagang. Dia ingin menjelajahi dunia, pergi jauh dari rumahnya."
"Dunia luar itu memang menyenangkan ya, Kak."
Terdengar suara anak kecil dan suara tawa.
"Dunia itu luar biasa."
Aku tersenyum. Apanya yang luar biasa?
"Orang tuanya tidak memberikan izin, tapi sang anak bertopi coklat itu memaksa. Lantas ketika umurnya menginjak usia tujuh belas tahun, dia pergi tanpa sepengetahuan orang tuanya. Pergi sendirian, menaiki kapal dan mendarat di negeri orang. Negeri yang asing untuknya.
Lantas dia mulai mencari pekerjaan, mencari kesenangan. Dia berhasil, tapi merasa kurang. Maka sang anak bertopi coklat itu menjelajah lagi ke negeri yang lebih jauh. Hingga akhirnya dia melupakan rumahnya, adiknya, kedua orang tuanya."
"Itu jahat!"
Dia tertawa. "Setiap manusia pasti memiliki sisi jahat."
"Tetap saja salah! Lalu apa yang terjadi? Ayo lanjutkan, Kak!"
"Kemiskinan pun menimpa. Hidupnya jadi sebatang kara. Akhirnya dengan uang yang tersisa dia pun kembali pulang ke kampung halaman. Tetapi ketika sampai, keluarganya sudah tak ada di sana."
"Mereka ke mana?"
"Mereka sudah meninggal. Karena sakit. Sang anak bertopi coklat itu pun menyesal karena pergi tanpa pamit dan meninggalkan mereka. Mulai hari itu, dia tidak akan pergi jauh lagi tanpa berpamitan pada orang-orang terdekatnya. Selesai."
"Bukan ending yang bagus. Pokoknya mau aku, atau Kakak, kita tidak boleh pergi tanpa pamit. Mengerti, ya?"
Butuh waktu lama untuk dia membalas, cokelat panas di cangkir ini pun sudah habis. Ternyata menyenangkan mendengar seseorang mendongeng di malam hari yang dingin ini. Rasanya ingin tambah lagi, makanya aku bangun dari duduk.
Namun, ketika aku bangun, jendela geser dari rumah pohon itu tiba-tiba terbuka.
"Bisa saja aku tidak bisa menepatinya," katanya, tepat sekali ketika jendela itu terbuka dan----aku melihatnya.
Melihat mata cokelat terang seperti kelereng yang menggelinding dan masuk ke dalam kolong meja----tidak. Seperti mata kucing, bulat dan ekspresif.
Kami beradu pandang.
"Eum, hai?" sapaku, refleks, juga begitu kaku seperti kanebo kering.
Jendela pun kembali ditutup dengan kencang, sapaanku tidak dibalas, dan terdengar suara grasah-grusuh dari sana sebelum dua orang turun dari rumah pohon itu dan masuk ke dalam rumah jamur.
Aku membatu di tempat. Barusan apa yang terjadi? Sungguh mengejutkan banyak kejadian baru dalam satu waktu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Akan Selalu Kembali Untuk Pulang [TERBIT]
Fiksi Remaja"Dunia itu luar biasa, Ali." Aku hanya tahu bahwa dunia itu membosankan, melelahkan, medan tempur terbesar umat manusia. Tapi, seorang anak perempuan yang aku temui di kelas baru, seolah bilang bahwa dunia tidak melulu begitu. Ada banyak hal menarik...