May your day be full of magic and may you not be too busy to see it.
—BradNamanya Merdya Aster, dia tinggal di sebelah rumahku. Anak itu pendiam, pintar, peraih juara umum di sekolah. Tak banyak informasi yang kudapatkan dari orang lain tentangnya, yang pasti, gadis itu tidak disukai oleh siapa pun di sekolah ini. Sejak dia berada di sini tak ada satu pun yang mau mendekat padanya hanya karena Merdy adalah sasaran empuk mereka—para perundung, Sofia Metwenn.
Setelah perkenalan tadi di taman dekat lab, aku dan Merdya berjalan beriringan masuk ke dalam kelas. Gadis itu, dengan berjalan pun masih sempat-sempatnya membaca novel. Tentu saja hal itu menjadi kejadian yang menyenangkan untuk Sofia yang tak sengaja berpapasan dengan kami.
Gadis berambut pirang itu menarik buku yang tengah dibaca Merdya dan melemparnya kembali ke luar jendela seperti tadi. Sofia melirik ke arahku sambil tertawa dan mengedipkan sebelah matanya. Apa itu? Sebuah rayuan?
Merdy membetulkan letak kacamata, dia berjalan mendekati jendela dan melihat buku itu jauh ada di bawah sana. Sedangkan jam istirahat sudah habis, dia tidak boleh telat masuk.
"Pergilah lebih dulu, Ali," kata Merdy, lalu membalikan badan dan berjalan menjauh.
Aku tak memahaminya, apakah buku yang dia baca begitu penting?
Karena Merdya terus berjalan, aku pun kembali melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam kelas.
Kelas musik pun dimulai.
***
Alasan yang kutahu setelahnya kenapa Sofia bersikap seperti itu pada Merdy, mungkin karena dia tak ingin gadis berambut merah ini mendapat giliran nyanyi. Peraturan pertama Chloe—guru musik yang sangat muda di sini—adalah ketika telat, maka dia takkan dapat giliran untuk bernyanyi di depan, dan mendapat nilai rata-rata. Karena Merdy yang sering telat, muncul rumor kalau gadis itu sengaja karena memiliki suara yang jelek.
Bisa-bisanya mereka berpikir seperti itu hanya karena sering melihat Merdy telat masuk kelas musik.
Aku mendapat giliran pertama karena awalan namaku berabjad huruf 'A'. Kadang hal ini bisa menjadi sesuatu yang patut disyukuri, dan tidak. Aku benci harus menjadi orang yang pertama bernyanyi di depan semua orang. Apa yang harus kulakukan?
"Ali, aku menunggu penampilanmu, tahu!" kata salah satu murid yang tak kukenal. "Kamu pandai bernyanyi, kan?"
Dari mana dia bisa berkata begitu?
"Aku tidak begitu bisa bernyanyi," jawabku, tersenyum. "Suaramu pasti lebih bagus."
Ah, dia terkesima. "Alister, kenapa kamu begitu baik?"
'Begitu baik'. Dia tidak bisa membedakan mana yang tengah berbohong dan mana yang tidak. Aku hanya tersenyum membalas perkataannya, lalu mendelik ke segala arah. Merdya ada di pojok belakang, menatap ke depan dengan tak bergairah. Gadis itu melihat ke arah piano dengan intens, apakah dia suka bermusik?
Akhirnya mulai, Chloe memanggil namaku untuk maju ke depan dan menyanyikan reff dari lagu—entah lagu apa, liriknya aneh sekali. Tapi ternyata aku tidak bernyanyi sendirian, dan karena Chloe baru tahu aku adalah murid baru, dia bertanya, apa kamu bisa bermusik?
Aku menganggukkan kepala. Akhirnya bala bantuan, aku tak perlu bernyanyi.
Sebenarnya, dulu aku pernah ikut les musik, setidaknya aku harus bisa menguasai satu alat musik. Dan alat musik itu adalah gitar. Suaraku juga tidak begitu bagus sebenarnya, walau nenekku sangat suka mendengarkan dengan seksama ketika aku bernyanyi.
Orang yang akan bernyanyi bersamaku bernama Alicia Key. Dia gadis yang biasa-biasa saja, tidak populer. Tapi justru bagus, menghindar dari hal yang tidak menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Akan Selalu Kembali Untuk Pulang [TERBIT]
Fiksi Remaja"Dunia itu luar biasa, Ali." Aku hanya tahu bahwa dunia itu membosankan, melelahkan, medan tempur terbesar umat manusia. Tapi, seorang anak perempuan yang aku temui di kelas baru, seolah bilang bahwa dunia tidak melulu begitu. Ada banyak hal menarik...