Vieria terbangun ketika hari sudah sore dan tidak menemukan Aryan di kamar.
Vieria menemukan catatan yang ditulis Aryan kalau ia pergi berenang. Vieria pun pergi menyusulnya, karena ia sendiri bosan di kamar terus.
Di kolam renang, Vieria melihat Aryan yang sedang berenang. Suasana sudah agak sepi karena sudah sore. Namun, tetap saja masih ada beberapa wanita bule yang berbisik-bisik sambil melihat Aryan.
Jelas saja, tubuh sixpack Aryan dan wajah tampannya selalu mengundang magnet para wanita. Bahkan Vieria yang cantik saja bisa merasa minder jika bersama dengan Aryan.
Vieria duduk di pinggir kolam dan hanya memasukkan kakinya, sayang sekali ia sedang sakit. Padahal ia juga ingin berenang.
Aryan akhirnya menyadari kehadiran Vieria dan menyampirinya, "hey, you're finally wake up. Aku kesepian, nih."
Masa sih? Vieria melirik para wanita bule tadi yang langsung beranjak pergi begitu melihat Aryan menyampirinya. Rasanya ia ingin tertawa.
"Kenapa senyum-senyum begitu?," tanya Aryan.
"Nothing, mau makan enggak? Aku lapar."
"Sama," ucap Aryan langsung keluar dari kolam dengan tubuh basahnya membuat Vieria melongo. Padahal sudah berkali-kali melihatnya, tapi tetap saja Vieria kagum.
Aryan mengeringkan tubuhnya dengan handuk dan menuju ke Vieria, "aku mau mandi dulu di kamar."
"Aku tunggu disini saja."
Aryan pun mengangguk, "oke, tunggu disini ya. Jangan kemana-mana, aku cuma sebentar." Tak lupa Aryan mengacak-acak rambut Vieria.
"Aryan, aku bukan anak kecil. Please deh," ucap Vieria sebal. Aryan hanya tertawa.
...
Vieria yang sendirian kini berdiri menikmati pemandangan matahari terbenam. Di sebelahnya ada satu keluarga dengan anak-anaknya. Melihat itu, hari Vieria pedih.
Kenapa susah sekali untukku hamil dan punya anak? Dimana orang-orang sepertinya mudah sekali. Sekarang bahkan aku divonis akan susah hamil. Ini sungguh tidak adil. Kenapa aku harus pergi malam itu? Kenapa aku harus menyetir sendiri?
Bagaimana dengan Aryan? Bagaimana dengan impian kami? Bagaimana denganku?
Rasanya Vieria ingin berteriak, tapi tidak bisa. Yang bisa ia lakukan hanya menangis.
"Vieria," panggil Aryan. Vieria menoleh dan Aryan melihat air matanya.
"Vie, kenapa?," tanya Aryan kaget.
"..... cuma mikirin aku yang susah punya anak."
Aryan menarik nafas, sudah keberapa kalinya Aryan menghibur Vieria dengan berbagai kata-kata tentang hal ini. Harus bagaimana agar Vieria mengerti kalau dirinya tidak keberatan tanpa kehadiran anak, tapi Vieria yang bersikeras ingin anak, bahwa dirinya tidak sempurna sebelum menjadi seorang ibu.
"Vieria, sudahlah. Don't be like this would ya? Dokter hanya mengatakan kamu akan sulit hamil, bukan berarti tidak bisa. Kata dokter kemungkinan itu masih ada. Jangan mikir yang jelek-jelek terus, nanti malah kejadian, lho."
Maksud Aryan bercanda di kalimat terakhir, tapi malah membuat Vieria semakin menangis. "Kamu nggak ngerti," isaknya.
Damn! Aryan mengamati sekeliling memastikan tidak ada orang yang melihat istrinya menangis. Bisa gawat kalau orang-orang salah paham.
Aryan pun langsung memeluk Vieria, "it's okay, Vie. Kita akan punya anak suatu hari, percayalah."
Vieria balas memeluk. Aryan membiarkan Vieria menangis di dekapannya sampai tenang.
"Now what? Mataku merah dan sembab. Aku malu ke restoran," ucap Vieria.
Aryan memasangkan kacamata hitam ke Vieria, "nah, tidak ada yang akan menyadarinya."
Vieria tersenyum, "thanks."
Aryan pun menggandeng tangan Vieria membawanya menuju restoran, apapun masalah mereka yang penting makan dulu. Aryan sudah lapar berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aryan dan Vieria
ChickLitAryan tidak ingin Ravina pergi. Aryan pun menahan keinginan Ravina untuk resign dan perlahan-lahan hatinya mulai tertarik pada wanita itu. Mereka berdua mulai sering bersama di luar jam kerja, membicarakan berbagai hal, bergandengan tangan dan berci...