Beribu terima kasih kuucapkan kepada Yuda yang sudah menjadi pahlawan kesianganku hari ini. Adik Arta itu dengan sigap mengarang cerita—mengatakan kalau dialah yang memberi tahuku bahwa Arta punya alergi kacang-kacangan.
Me
[Thanks a lot, Da. Kapan-kapan gue traktir deh.]
Yuda
[Nih sekalian nomernya Arta 08xxxxxxxxx]Anda
[AAAAAAAA YUDA LO BAIK BANGET SUMPAH!!!]Yuda
[Ini gak gratis Vei. Entar gue kasih tau apa bayarannya.]Anda
[Oke siap]Saat aku dan Yuda sibuk bertukar pesan diam-diam, anak-anak yang lain sedang mendiskusikan film apa yang hendak kita streaming.
"Mau nonton apa nih jadinya?" tanyaku hendak memastikan.
Kami saling melempar pandangan satu sama lain. Akhirnya, kami memilih film horor dari Jepang yang direkomendasikan oleh Tomi.
Laki-laki kribo itu bilang, dia sudah lama ingin menonton film satu itu, tapi terlalu takut kalau harus menontonnya di malam hari. Dan berhubung hari masih terbilang pagi dan tatapan memohon Tomi tak sanggup kami tolak, kami pun sepakat untuk mengiyakan permintaannya.
"Judulnya apa tadi, Tom?" tanya Syndi saat semua anak laki-laki sudah duduk rapi di atas karpet.
"The Ring."
Film pun diputar. Kami para gadis yang duduk di sofa juga duduk antusias dengan bantal sofa di pelukan kami. Setiap jump scare di film itu masih saja mengejutkan meski ruang tamu full penerangan matahari.
Di pertengahan film, manik mataku teralihkan kepada sosok Arta yang duduk bersila di depanku. Laki-laki yang dulu memperkenalkan diri sebagai Dino itu tidak terlihat takut sedikitpun kala hantu bernama Sadako itu muncul sekalipun.
Dalam diam, aku mulai tidak fokus pada alur film. Pikiranku, tanpa bisa dicegah, mengajakku nostalgia lagi ke hari itu.
***
Laki-laki pemilik senyum menawan itu menerima telepon tanpa beranjak dari duduknya. Takut dikira menguping, aku pun menyibukkan diri dengan gawaiku juga.
"Mau batagor?" tawarku setelah dia selesai menelepon, "tapi udah gak anget sih."
Ia tersenyum. Ada semburat kelegaan di wajahnya. "Makasih, tapi aku ada alergi sama kacang."
"Ouh oke." Batagor Bang Tagor kumasukkan kembali ke dalam kresek hitam. "Ada kabar baik ya?" sambungku.
"Operasinya udah selesai. Adekku bilang, operasinya berjalan lancar."
"Syukurlah."
Dia menunduk lagi, terlihat gelisah.
Aku kembali bertanya, "Belum mau ke sana?"
"Hmm iya. Balik kalo Bunda udah sadar aja."
"Kalo gitu aku temenin. Aku juga belum mau pulang."
"Tapi bentar lagi malem."
"Gak papa. Aku naik bis kok. Bisnya baru dateng sekitar jam enam-an."
"Haltenya yang di depan situ? Tadi kayaknya liat halte sebelum nyampek sini."
Aku mengangguk sebagai jawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boy Who Forgot Me (ON GOING)
Ficção Adolescente"Pertemuan pertama itu namanya kebetulan. Pertemuan kedua itu sudah digariskan. Sedangkan pertemuan ketiga dan seterusnya, itu aku yang menciptakan. Sudah dengan izin Tuhan tentunya." -Raveina- Pertemuan pertama antara aku dan dia di bangku panjang...