Lah Kok Sumedang?

19 1 1
                                    

Aku tidak akan pernah lupa hari pertamaku di Jatinangor, Bapak yang mengantarku. Sore itu merah. Kami berdiri menunggu bus di pinggir jalan desa, nun di Temanggung sana. Aku menggendong ransel, kedua tanganku menenteng koper berisi pakaian, sementara Bapak membawa tas selempang, tangan kirinya membawa satu kardus berisi suplai makanan yang dimasukkan Ibuk seolah sebentar lagi dunia akan kiamat.

Bus datang, seorang kondektur membantuku mengangkat koper. Kami duduk bersebelahan di kursi ke empat dari depan, aku duduk dekat jendela.

"Rute perjalanan kita gimana pak?" tanyaku.

"Setelah sampai Wonosobo, kita akan naik bus ke Purwokerto, dari Purwokerto naik bus lagi ke Bandung. Kita turun Cileunyi".

"Kenapa nggak langsung dari Wonosobo ke Bandung?" Karena aneh, kenapa kami harus menyicil bus yang harganya jauh lebih mahal ketika bisa langsung dengan harga yang lebih murah?

Mendengar pertanyaan itu, Bapak terdiam, menolak bertatap mata denganku.

"Biar ndak terlalu pagi sampai di Jatinangor".

Matanya berkedip lebih cepat daripada biasanya. Aku kenal Bapak dan ketika matanya berkedip lebih cepat, itu artinya dia sedang menyembunyikan sesuatu.

Apa yang sedang dia sembunyikan dariku?

---

Sampailah kami di Terminal Purwokerto pukul 9 malam setelah naik bus bobrok dengan tempat duduk sekeras menhir Toraja. Bokongku kapalan meski hanya satu setengah jam duduk di sana.

Semakin malam, bukannya menghilang, calo tiket bus semakin menggila di terminal itu. Mereka kalau menaikkan harga tidak tahu tata krama, harga tiket yang cuma 20 ribu bisa dipatok sampai 100 ribu.

Seorang pria paruh baya mendekati kami, ia mengenakan jaket kulit, topi Under Armour kw 100, terselip sebatang Gudang Garam kretek di mulutnya. Pria itu berusaha akrab kepada kami, di situlah aku tahu bahwa dia seorang calo. Untung aku tidak sendiri, Bapak ada di sampingku. Dia sudah bolak-balik Temanggung-Bandung ratusan kali, aku percaya dia tidak akan terkecoh oleh si calo.

Dimulailah pertarungan sengit antara calo dan Bapak. Wajah Bapak cool, seolah mengatakan,

"Jangan main-main, aku ndak akan kena tipu rayuanmu, calo tengik!".

Beberapa saat kemudian, kami naik bus jurusan Bandung. Aku lihat Bapak mengeluarkan tiga lembar uang warna merah bergambar Sukarno-Hatta. Oh, mungkin 300 ribu merupakan tarif normal untuk jurusan itu. Awalnya aku santai saja, namun pikiran tentang berapa harga sebenarnya mengganggu pikiranku, di perjalanan aku searching di Google,

"Berapa harga bus Purwokerto-Bandung" Di situ tertulis: 75 ribu.

Kampret. Kami kena tipu!

"Memang harga BBM sedang naik" kata Bapak mencari pembenaran saat aku tunjukkan tarif asli yang ada di Google, aku pura-pura percaya saja.

Sampailah kami di terminal bayangan Cileunyi sekitar pukul 7. Jika kami naik bus tanpa nyicil, kami akan sampai pukul 4 subuh. Kami menempuh perjalanan yang lebih lama sekaligus lebih mahal, kena calo pula! Namun di sana aku menemukan jawaban di balik mata Bapak yang berkedip lebih cepat dari biasanya saat ia berkata "Biar ndak kepagian sampai Jatinangor".

Bahwa, sebenarnya Bapak hanya ingin lebih lama denganku.

---

Bayangan Kota Bandung tidak bisa lepas dari pikiranku. Riuhnya Lapangan Gasibu di Minggu pagi, semarak anak mudanya yang kreatif, dan keseluruhan kotanya yang sejuk. Aku terbayang setiap hari akan menyusuri wilayah-wilayah ikonik Bandung: Dipatiukur, Dago, Cihampelas, Surapati... Aduh, mengetiknya saja sudah membuatku merasa jadi barudak Bandung pisan euy.

Kuliah di UnpadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang