Usai sudah masa liburan yang lama ini, aku sudah tidak sabar ke Jatinangor buat ikut Prabu (ospek tingkat universitas). Kepada keluarga, aku bilang bahwa aku harus segera berangkat, maka malam itu kami mengadakan rapat kecil-kecilan membahas keberangkatanku.
Aku ingin berangkat naik bus sendiri dengan niat ingin berpetualang macam novel Edensor. Namun kedua orang tuaku melarang keras, khawatir aku tersesat, kena rampok, atau kena tipu calo bus (walau pada akhirnya setelah diantar pun, aku masih tetap kena tipu calo),
"Anak-anak Amerika udah keliling dunia sendiri lho, masa ke Bandung aja kudu diantar sih?" hasutku.
"Sayangnya kita nggak tinggal di Amerika" jawab Ibuk.
Di Indonesia, jangankan usia 19, usia 46 tahun pun masih dianggap bocah.
Ibuk dan Bapak ingin mengantarku pakai mobil, sekalian jalan-jalan ke Bandung. Memang enak sih pakai kalau mobil, tidak harus angat-angkat barang bawaan dari bus satu ke bus lain, juga tidak takut koper kena maling. Tapi aku menolaknya, selain karena kurang menantang, mobil yang dimaksud itu adalah mobil dinas Toyota Avanza pelat merah. Setelah debat-debat kecil, kami mencapai kesepakatan: aku boleh naik bus tapi harus sama Bapak. Begitulah asal muasal kisah yang kalian baca di bab satu.
Hari ketika aku berangkat dengan membawa koper, tas, dan oleh-oleh, Ibuk memberikan wejangan-wejangan klise,
"Kuliah yang rajin"
"Siap buk"
"Kalau kehabisan duit bilang, ntar Ibuk transfer"
"Nggih buk"
"Satu lagi yang paling penting..." katanya serius. Persoalan penting yang dimaksud Ibuk pasti tentang agama, sebelum dia ngomong, aku sambar saja,
"Oh santai aja buk, salat lima waktu nggak akan lupa!".
"Bukan".
Oh, mungkin dia lebih khawatir dengan minuman berakohol.
"Oh ya ya, aku juga nggak bakal minum-minum buk!".
"Ini lebih penting lagi!".
Kalau bukan salat sama mabuk, dosa apa yang membuat ibuku mengatakan bahwa itu hal paling penting?
"Terus apa buk?".
Ibu mendekat, sedikit berbisik ke arahku, aku bisa merasakan embusan napasnya yang hangat di telingaku,
"Jangan sekali-kali pacaran sama orang Sunda!".
Seperti yang sudah kita ketahui bahwa pernikahan Jawa-Sunda merupkan hal yang tabu dan konon siapa yang berani melanggar, pernikahannya bakal karam macam kapal Titanic.
Mendengar kalimat Ibuk, aku yang tadinya fokus mendengarkan, langsung pura-pura memeriksa barang-barang di koper. Hmm kurang apa aja ya? Gumamku.
"Ya?" Ibuk mengulangi pertanyaaannya sambil menatap mataku tajam, penuh ancaman.
"Ya... Ntar aku pikirin" Pandanganku terus berputar-putar pada koper.
Ibuk mencium gelagatku yang memang punya pikiran buat mencari cewek Sunda. Ya tidak harus Sunda sih, yang penting bisa dapat cewek. Masa 19 tahun hidup sendirian terus sih? Aku cuma butuh bahu buat bersandar di saat aku merasa kesepian.
"Ntar kalau udah nikah, baru nyesel!" Ibuk mulai serangan yang segera aku tangkis,
"Ah itu cuma mitos kali buk!".
Ibuk mengeluarkan serangan yang lebih kuat: dengan membawa nama orang tua.
"Orang tua dilawan! Kamu ini masih bocah, kok ngeyelan. Ibuk udah nemuin banyak contoh aslinya!".
Kemudian dia menjabarkan puluhan kenalannya yang gagal menikah karena beda suku. Aku kembali menyerang degan menyebutkan beberapa contoh pernihakan beda suku yang berhasil, tidak cuma itu, aku juga menyebutkan pernikahan beda ras, beda negara, dan bahkan beda agama.
"Selama cinta, itu bukan masalah" kataku.
Ibuk menggelengkan kepalanya, sudah menyerah dengan perilakuku yang tidak bisa diatur. Sejak dulu memang aku sudah berontak, disuruh daftar kedokteran, aku enggan, disuruh jadi pegawai, aku menolak, kini disuruh jangan pacaran sama orang Sunda, juga aku bantah. Memang benar kata orang, semakin dilarang, sesuatu itu akan semakin mengasyikkan.
Ibu pergi, malas berdebat denganku. Aku anggap itu sebagai kemenangan. Hei Ibuk, cinta itu emang buta, begitu yang aku pelajari dari novel-novel roman. Cinta tidak memandang usia, cinta tidak memandang harta, cinta tidak memandang suku Jawa atau Suku sunda yang namanya cinta ya cinta, sesimpel itu, sesederhana itu.
Setelah berpamitan, kami berjalan sekitar 300 meter dari rumah untuk naik bus jurusan Wonosobo. Aku tidak menoleh ke belakang sama sekali. Memang sudah lama aku ingin minggat dari desa ini, sudah lama aku ingin bebas.
Jalanan desa begitu syahdu sore itu, para petani memanggul rumput buat dijadikan pakan ternak mereka, anak-anak sekolah berduyun-duyun pulang sebelum Magrib tiba. Dari kejauhan aku melihat bus lalu lalang, terdengar suara mengaji di langit yang merah itu. Inilah pemandangan terakhirku di desa ini sebelum merantau ke tanah Sunda.
Bapak menyalakan rokok Djarum-nya, dari tadi dia diam sebagaimana biasanya. Kali ini dia memanggilku, lalu menamparku dengan satu kalimat,
"Perang Bubat terjadi sebab orang Jawa mau nikah sama orang Sunda".
Aku terdiam.
---
Meski berasal dari pedesaan yang sebagian masyarakatnya masih mempercayai kekuatan roh pohon Trembesi, keluargaku merupakan keluarga muslim yang taat. Mbah merupakan seorang guru ngaji yang mengajar ngaji di desa selama lebih dari 50 tahun. Tanpa bayaran.
Setelah khatam Quran, aku diwajibkan belajar kitab kuning. Kitab tipis yang ditulis menggunakan huruf Arab gundul dengan terjemahan bahasa Jawa. Dinamakan kitab kuning karena kitab itu dicetak menggunakan kertas berwarna kuning. Orang awam melihat kitab ini pasti menyangka transkrip alien planet Pluto. Sekarang aku sudah lupa bagaimana baca kitab itu karena tidak pernah dilatih dan mungkin karena sekarang aku lebih banyak maksiatnya.
Wajar saja keluargaku tidak percaya segala jenis mitos. Namun pengecualian untuk mitos pernikahan Jawa-Sunda ini, keluargaku memegang teguh mitos ini seperti memegah teguh pancasila. Pokoknya itu ultimatum utama keluargaku begitu aku merantau: Jangan. Pacaran. Sama. Orang. Sunda.
Aku penasaran, mengapa keluargaku begitu gatel melarangku pacaran dengan orang beda suku, terutama suku Sunda? Lalu aku mulai mempelajari sejarah, mengapa kedua suku ini saling bermusuhan sih. Ada beberapa versi, aku akan jelasin singkat saja sebab aku penulis buku komedi, bukan penulis buku sejarah Indonesia Kelas 5 B.
Versi pertama yang paling populer adalah karena Hayam Wuruk ingin menikahi Putri Pitaloka, namun ketika rombongan Putri Pitaloka sampai Jawa, Gajah Mada kepikiran "Wah bisa menuhin Sumpah Palapa gue nih", maka terjadilah 'perang' yang tidak adil antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda. Niatnya ingin nikah kok malah diserang.
Versi kedua mengatakan bahwa sebenarnya perang Bubat sama sekali tidak terjadi. Sebab kisah ini ditemukan di Kidung Sunda dan Carita Parahyangan yang ditulis dua abad setelah Perang Bubat terjadi. Banyak orang percaya kalau Kaum kolonial Belanda-lah yang mengangkat isu peperangan ini untuk memecahbelah suku. Masih ingat pelajaran SD: devide et impera?
Sudah lebih dari 75 tahun Indonesia merdeka tapi kita masih sibuk memikirkan pernikahan Jawa-Sunda.
