Di kelas 1 SMA keyakinanku sudah bulat: aku tidak mau kuliah selain jurusan film. Hal itulah yang membuat teman-temanku iri, "Kamu enak udah punya jurusan yang dipingini".
Enak sih enak, tapi aku kan tolol matematika njing.
Tiap hari jadi samsak Bu Gati di mapel kimia yang lebih horor ketimbang setan. Jadi bulan-bulanan di pelajaran fisika yang selama tiga tahun sekolah, aku tidak tahu apa yang sedang aku pelajari. Kena bantai Bu Ning dengan soal matematika yang sulitnya seperti mencari keadilan di negeri ini.
Kata Paolo Coelho, kita harus pandai membaca pertanda yang diberikan alam semesta. Alam semesta menunjukkan pertandanya kepadaku saat aku kelas 1 SMA, melalui Bu Yuyun, guru mapel Bahasa Indonesia. Dia masuk kelasku dan bertanya,
"Di sini ada yang mau ikut lomba penulisan artikel populer? Hahaha".
Hahaha di belakang kalimat menandakan kalau dia sedang basa-basi. Karena biasanya yang mewakili lomba adalah anak kelas 11. Jarang ada anak kelas 10 yang menjadi perwakilan lomba, sebab mereka masih plonga-plongo sambil bilang "Permisi kak" setiap kali papasan sama kakak kelas.
Saat Bu Yuyun bertanya "Di sini ada yang mau ikut lomba penulisan esai ilmiah? Hahaha", kalian tahu apa jawabannya? Jawaban itu membuat Bu Yuyun menyesal telah berbasa-basi, sebab semua anak kelas serempak, berteriak, membentuk satu koor suara:
"JOHAN BISA BUU !!!"
Bu Yuyun kaget, matanya membelakak, mukanya seperti orang kena serangan jantung, badannya membeku. Hei kalian sedang bercanda kan?
Anak-anak kelas menunjukku hanya karena di saat kami mendapat tugas untuk membuat cerpen misalnya. Semua anak kelas mencari cerpen di internet, lalu disadurnya tanpa mengenal apa itu plagiasi. Sementara aku selalu membuat cerita sendiri dan membacakannya di depan kelas.
Aku selalu membuat tokoh yang dekat denganku. Misal di sekolahku ada guru matematika yang jarang masuk kelas, tapi rajin main pingpong. Aku akan membacakan sebuah cerita seperti ini,
"Di saat sekolah lain les matematika, kami les pingpong untuk mendapat nilai 9".
Grrrrr.
"Ranking satunya yang bisa mengalahkan pak anu dua set langsung".
Grrrr.
Alasan itulah yang membuat teman kelas menunjukku untuk mengikuti lomba menulis. Yang tidak mereka ketahui bahwa cerita lucu dan esai ilmiah itu adalah dua hal yang sama sekali berbeda.
Namun kelas kami memaksa. Bu Yuyun seperti tidak enak menolak permintaan masa, ia melunak. Yasudah sekali saja kasih kesempatan sama anak kelas 10. Beliau mendekat ke tempat dudukku untuk memastikan,
"Alwi, kamu beneran bisa nulis esai ilmiah kan?"
"Bisa bu!" jawabku penuh percaya diri. Padahal sumpah, aku tidak tahu caranya!
"Oke, buatlah esai ilmiah tentang minat baca di Indonesia. Kirimkan naskah kamu minimal 6.000 kata, deadline-nya Senin minggu depan!".
Bu Yuyun pergi, seisi kelas tepuk tangan karena aku anak kelas pertama yang ikut lomba mewakili sekolah. Mengetahui deadline yang hanya seminggu, kalian tahu apa yang aku lakukan begitu pulang sekolah?
Pasti langsung mulai drafting? Tidak.
Memulainya dengan riset, barangkali? Bukan.
Malam hari itu aku googling,
"Cara menulis esai ilmiah untuk pemula".
---
Sudah pasti itulah pertanda alam semesta: Aku mendapat juara 3 menulis esai ilmiah tingkat Provinsi Jawa Tengah. Hadiahnya dua juta, maka jadilah aku seorang sultan di sekolah. Aku tidak lagi makan nasi kremes (kremesnya doang) atau nasi soto (kuahnya doang) ketika jajan di kantin. Aku bisa pesan nasi ayam! Aku juga mampu beli jejanan-jajanan yang dijual di halaman luar sekolah tanpa harus mikir bujet di kantong.