Chapter 6 • Nia

6 1 0
                                    

Bersama Pak Heru dan dua orang anggota kepolisian lainnya, Dea mendatangi rumah tempat tinggal Bu Nia.

Sesuai perkiraan Sari, pihak kepolisian benar-benar melakukan tanya jawab ulang dengan Bu Nia karena telah ketahuan berbohong sesuai dengan pernyataan si pencuri kalung yang bernama Deni itu.

Saat tiba di rumah itu, pintu utama tertutup rapat dan butuh waktu beberapa saat sebelum pintu kemudian di buka oleh Bu Nia. Sementara itu, Dea memperhatikan halaman depan rumah yang dikelilingi oleh pagar bambu dan luasnya sangat sempit. Jika Bu Nia punya kendaraan motor, maka pasti hanya muat untuk satu buah saja sedangkan kendaraan lain, pasti tidak akan bisa masuk. Biasanya, jika Dea melewati rumah ini saat berjalan-jalan, halamannya akan bersih, tapi sekarang berbeda, halaman itu diliputi banyak dedaunan tanda bahwa Bu Nia belum sempat membersihkannya.

Jika tidak ingat bahwa Bu Nia telah berbohong pada pihak kepolisian tentang keberadaannya yang sebenarnya malam itu, maka Dea akan bersimpati dan berpikir bahwa karena terlalu sedih atas meninggalnya Ina, Bu Nia sampai tidak bisa menyapu halaman rumahnya sendiri seperti biasa, tapi tidak, sekarang Dea malah merasa geram.

Bu Nia muncul dengan mata bengkak, wajah kusam, rambut kusut, dan daster yang seolah tak pernah sekalipun di setrika sehingga lipatan-lipatannya terlihat jelas. Wanita yang lebih tua beberapa tahun daripada Emak Dea itu, menyuruh polisi masuk ke dalam rumahnya dan mereka duduk berhadapan di rumah tamu. Kecuali Dea dan seorang polisi lainnya, yang hanya berdiri di samping pintu masuk dan menyaksir semuanya dalam diam.

Dea memperhatikan rumah yang semasa hidup ditinggali oleh Ina itu. Rumah yang sangat sederhana. Beda jauh dengan rumah Dea yang sudah di cat dan di beri lantai putih mengkilat. Di rumah ini, tidak ada hal seperti itu, yang ada hanya dinding batu merah, lantai dari semen dan pasir bahkan atap rumah dari seng langsung terlihat. Tepat di samping pintu masuk, terdapat pintu ke kamar Ina, sedangkan disampingnya lagi ada kamar milik Nia, dan kemudian di bagian ujung terdapat pintu menuju ruangan lain yang Dea tebak adalah ruang makan dan dapur.

Rumah ini tidak hanya sederhana, tapi juga sangat kecil, Dea tidak bisa membayangkan sebuah pembunuhan keji telah menimpa penghuninya.

"Kami membawa kabar tentang pencuri kalung ibu," kata Pak Heru, tapi Bu Nia tidak kelihatan bersemangat mendengarnya, wanita itu malah sepertinya tidak peduli dan malah asyik melamun. "Kami sudah menemukan si pencuri bersama dengan kalung ibu, dan sudah memintainya keterangan, tapi menemukan masalah baru."

Barulah Bu Nia bereaksi. Dengan raut kelelahan, dia menatap Pak Heru dan bertanya, "Masalah apa?"

"Pencuri itu menyangkal telah membunuh Ina."

Lirikan mata Bu Nia menjadi begitu tajam dan untuk sesaat Dea dibuat merinding oleh tatapan itu.

"Terus yang membunuh anak saya siapa?!" Bu Nia menendang meja kayu di antara dirinya dan polisi sehingga suara berderit mengerikan terdengar.

"Kami masih menyelidiki hal tersebut dan untuk itulah kami datang kesini," kata Pak Heru yang tetap tenang. "Kami ingin menanyakan sesuatu pada ibu sehubungan dengan penyelidikan itu."

"Tanya apalagi?"

"Malam itu, menurut Deni, dia tidak menemui siapapun di rumah ini. Bahkan ibu pun dia tidak temui. Jadi pertanyaannya adalah, kemana bu Nia sebenarnya malam itu?"

Dea memicingkan mata dan menajamkan pendengarannya, penasaran jawaban apa yang Bu Nia berikan kali ini. Apakah dia akan mengakui kejahatannya seperti yang Dea duga, atau dia akan memberi jawaban lain?

"Kalian lebih percaya sama apa yang pencuri itu katakan daripada saya? Ibu Ina yang dibunuh?"

"Bukan begitu bu. Kami tidak mempercayai oranglain sembarangan. Harus ada pertimbangan dan bukti untuk setiap pernyataan siapapun sangat penting agar semuanya jadi lebih jelas dan Deni, dan dalam hal ini si pencuri telah membuktikan bahwa perkataannya benar."

"Bukti apa?"

"Deni, si pencuri itu sempat memecahkan vas bunga di samping ranjang Bu Nia yang pecahannya dia buang ke bawah ranjang kamar ibu. Untuk membuktikan hal tersebut, saya ingin meminta kepada ibu, untuk mengizinkan salah satu anggota kami memeriksa kamar Bu Nia."

Bu Nia kelihatan bingung, namun dia tidak bisa melakukan apapun selain mengangguk mengiyakan. "Silahkan."

Begitu dipersilahkan, Pak Heru langsung memberi kode pada bawahannya untuk mulai melakukan tugasnya. Kurang dari lima menit kemudian, anggota kepolisian itu sudah kembali ke ruang tamu dengan membawa pecahan pas bunga yang dia temukan persis di kolong kasur, persis sesuai pernyataan Deni.

Wajah Nia pucat pasi melihat tumpukan pecahan vas bunga itu. Sedikitpun dia tidak pernah menyadari vas bunga kecil pemberian sepupunya bertahun-tahun silam yang memiliki lukisan bunga berwarna biru di kedua sisinya telah hilang. Kini, tanpa perlu ia mencarinya dia telah menemukan benda itu, tapi dalam keadaan yang sudah tak berbentuk. Apabila ia lebih jeli maka hal ini tak akan terjadi. Mungkin pecahan vas bunga itu bisa ia singkirkan dan penyidikan polisi ini bisa dihindarinya.

"Jadi, bisa tolong jelaskan pada kami kemana sebenarnya Bu Nia malam itu?"

Bu Nia terdiam, tanpa diberitahu, semua orang disana langsung tahu wanita itu tengah khawatir setelah kembali mendengar pertanyaan Pak Heru. Wajahnya semakin pucat saja. Ketika tiba-tiba saja dia menjambak rambutnya sendiri seolah frustasi dan menangis, semua orang dibuat terkejut.

"Maaf, maafkan saya..." begitu kata Bu Nia. "Saya salah, malam itu... saya memang tidak ada di rumah."

"Kemana ibu pergi?"

Tangisan Bu Nia semakin kencang dan Dea berpikir bahwa sebentar lagi semuanya akan terkuak.

"Saya ke rumah Harto."

Alis Dea menukik tajam mendengarnya, tak menyangka dan tak terima Bu Nia akan mengatakan hal itu. Begitu juga yang lain, kecuali Pak Heru yang berusaha untuk tetap tenang dan melanjutkan sesi tersebut.

"Ibu ngapain ke rumah Harto?"

Bu Nia berusaha mengontrol emosinya agar bisa menjawab pertanyaan Pak Heru dengan lebih jelas, tapi air matanya tidak mau berhenti mengalir keluar dari sumbernya dan hal itu membuatnya suara jadi serak.

"Saya memang sering ke rumah Harto karena kami..." Bu Nia terlihat berat hati melanjutkan katanya, tapi tahu tak ad gunanya lagi menyembunyikan apapun, dia pun melanjutkan. "Kami berpacaran."

••••
Kaget gak?
Kagetlah, masa enggak😭

TO BE CONTINUED....

Misteri Tali Pocong PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang