Chapter 02 • Sahabat

20 4 5
                                    

Malam itu, bulan bersinar dengan terangnya, bintang-bintang di angkasa bertebaran, alhasil menciptakan suatu keindahan alam yang berhasil memanjakan mata.

Sari menghela napasnya sambil memperhatikan bulan dan bintang nun jauh di angkasa sana. Hari ini, dia merasa sangat lelah, dengan melihat sedikit pemandangan di langit membuat rasa lelahnya itu seolah sedikit terangkat, di tambah lagi angin sepoi-sepoi malam yang menyejukkan. Sari ingin berlama-lama merasakan kenikmatan itu.

"Gimana hari ini kerjaan, aman semua?"

"Aman bu bos," kata Sari main-main tanpa mengalihkan perhatiannya dari langit yang berkilauan ke arah sahabatnya Dea yang berbaring telentang tepat di sampingnya, di atas dipan yang terbuat dari anyaman bambu.

Saat itu, keduanya sedang berada di halaman rumah Dea. Mereka bertemu sesuai perjanjian yang telah dilakukan sebelumnya.

"Bagus, bagus. Kalau kerjamu bagus terus Sar, nanti setelah kuwarisi toko kelontong itu, kamu bakal kujadikan manajer."

Toko kelontong tempat Sari bekerja selama ini, adalah milik ibu Dea.

"Emangnya kamu tahu tugas manajer apa aja? Manajer itu banyak lho bagian-bagiannya. Kayak manajer pemasaran, manajer investasi, manajer pelatihan dan lainnya ... Aku jadi manajer apa nanti?"

Dea langsung bersungut-sungut, mana dia tahu hal-hal seperti itu. Tapi karena tidak mau keliatan bodoh di hadapan Sari, Dea bangun, lalu bersila menghadap Sari yang tengah memunggunginya.

"Manajer apa ajalah. Yang penting kamu jadi manajer. Aku kan bosnya jadi semauku lah kamu mau kujadikan manajer apaan."

"Yayaya, aku mau jadi manajer. Manajer apa aja. Masalah itu bisa kita bicarakan nanti. Sekarang kita bicarakan masalahku dulu," kata Sari serius, kini ikut-ikutan bersila. Maka jadilah dua sahabat itu saling berhadapan dengan lutut yang menempel pada satu sama lain.

"Emang masalah hidupmu apa sih sampai kamu gak fokus kerja? Kamu hamil?"

"Sembarangan!" Sari langsung menyentil bibir Dea sebagai hukuman karena telah berujar asal.

Sambil mengelus-elus bibirnya yang terasa sakit, Dea bertanya, "Ya lagian kamu pikir aku apa? Peramal, sampai bisa tahu masalahmu langsung tanpa di kasih tahu, gitu?"

"Tono tuh, nolak aku lagi," kata Sari, nada suaranya adalah campuran perasaan manja dan amarah. "Gimana dong?"

"Gitu doang kamu udah sedih? Aku lebih parah!" Dea berseru dengan dramatis yang mana langsung mendapat pelototan mata dari Sari.

"Becandamu kelewatan ya. Ini aku lagi patah hati lho, masa kamu malah mau ngadu nasib sih?"

Dea tertawa singkat tahu dirinya salah dan segera mengelus lengan Sari sembari meminta maaf. "Ya maaf. Sesuai namanya, aku cuma bercanda. Aku mau kamu ketawa gitu."

"Gak lucu."

"Iya deh ... aku turut sedih atas patah hati yang kamu alami. Ini udah yang keberapa kalinya kamu ditolak?"

"Sebenarnya Tono gak pernah spontan nolak sih, tapi dari gelagatnya jelas dia gak mau punya hubungan sama aku. Dan sikapnya itu sudah sembilan kali dia tunjukkan setiap kali aku menyatakan perasaanku sama dia."

"Ya ampun kasian banget sih kamu, Sar."

Sari mengakui hal tersebut, hidupnya memang patut dikasihani jika itu berkaitan tentang perasaannya pada Tono yang tak kunjung jelas muaranya akan kemana dan bagaimana. Dan setiap kali mengingatnya, Sari langsung jadi lesu seolah mahluk tak kasat menghisap seluruh energi ditubuhnya.

"Gimana kalau kamu lakuin saranku?"

"Saran apa? Dandan? Caper ke emaknya Tono? Atau masakin dia makanan yang enak, iya, gitu?!" tanya Sari setengah nyolot. Pasalnya, semua saran yang Dea berikan selalu gagal dan alih-alih membuat Tono jatuh hati padanya malah membuat Tono menatap Sari seolah Sari itu aneh.

Misteri Tali Pocong PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang