Tenggelam dalam Dua Pilihan

199 1 2
                                    

Sore ini, suasana gym lebih sepi dari biasanya. Mungkin hujan deras sepanjang hari membuat semua orang lebih memilih untuk bermalas-malasan daripada memeras keringat di penghujung pekan. Tapi suasana seperti ini sempurna bagiku untuk menghabiskan Sabtu sore dengan alat-alat berat dan pikiran kusutku sendiri. Sudah seminggu ini, aku dibebani tanggung jawab pekerjaan dan dilema asmara karena kedekatan emosionalku dengan Adit yang semakin membara di tengah pertunanganku dengan Sinta yang sejauh ini terkesan baik-baik saja.

Dalam kesendirian di tengah badai kegamangan, badanku terasa lebih lelah, seperti memprotes setiap set dan rep dalam rutinitas olahraga ini. Lengan dan persendianku terasa lebih rentan, detak jantungku berdegup lebih kencang tak karuan, dan keringatku terkuras lebih deras.

Tanpa kusadari, gelombang frustrasi ini semakin merajai diri. Dumbbell di tanganku berulang kali kubanting dengan kasar, dan raungan kemarahan membuat tatapan setiap pasang mata di sasana gym itu tertuju padaku.

"Vito! Kalau gak niat latihan, pulang aja. Jangan bikin rusuh di sini!" Peringatan pedas itu menggelegar dari sudut ruangan diikuti langkah berat sang pemilik suara mendekatiku.

Dengan napas terengah dan keringat yang tak berniat untuk surut dari pelipisku, aku mendongak memperhatikan sosok Bang Iwan menjulang tegap di depanku. Raut emosi dari wajahnya perlahan berubah menjadi tatapan simpati khas seorang kakak kepada adiknya. Bang Iwan adalah pelatih senior di gym ini yang membimbingku sejak SMA. Kedekatan kami selama ini lebih dari sekedar trainer dan member, karena aku menganggapnya sebagai kakak yang tidak pernah aku miliki.

Dengan rona tulusnya, Bang Iwan menepuk bahuku. "Kamu kenapa, Vito? Ada masalah?"

Aku menarik napas dalam-dalam menimbang jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. "Gak tahu, Bang. Pikiranku kalut belakangan ini." Suaraku terdengar penuh keputusasaan. Aku bergulat dengan badai emosi yang datang silih berganti. Di satu sisi, aku ingin membagi beban ini dengan Bang Iwan. Tapi di sisi lain, terlepas dari kedekatan kami, aku tidak ingin curhatku jadi bumerang.

Akhirnya, aku menemukan cara untuk mengungkapkan kegelisahanku tanpa harus membuka setiap detailnya. "Selama ini aku pikir aku udah berhasil menata masa depan yang stabil," aku memulai, pandanganku terpaku di lantai seolah mencari jawaban di sana. "Tapi tiba tiba, semesta membuka pintu lain yang seolah menjanjikan sesuatu yang baru. Entahlah, janji akan kebahagiaan, mungkin?"

Bang Iwan berdehem mendengar kekalutanku. "Vito, denger nih ya," ujarnya membuka suara. "Hidup ini seperti catur. Setiap langkah pasti diikuti konsekuensi. Dan terkadang, kita dipaksa untuk ambil pilihan yang mungkin mengubah keseluruhan strategi kita selama ini. Yang paling penting, kita punya visi yang jelas. Dengan begitu, konsekuensi apa pun ke depannya bisa kita pelajari, amati, dan manipulasi."

Sambil berbicara, Bang Iwan membimbingku ke sudut gym yang lebih tenang. "Terkadang, kita harus belajar mendengar intuisi diri sendiri. Coba deh, tanya sama diri kamu sendiri: Apakah pintu yang terbuka itu beneran bakal bawa kebahagiaan atau justru kekacauan? Listen to your gut feeling."

Mengetahui kegalauanku, Bang Iwan memandangku dengan mata yang penuh pengertian. "Vito, kita ini udah seperti keluarga di sini. Kalau ada masalah, cerita aja. Gak perlu terus-terusan nanggung beban sendiri."

Aku tersenyum getir, setengah tidak siap untuk melepas beban yang menggelayut di benak ini. "Bang, gini, sebenarnya..." Belum sempat aku melanjutkan, Bang Iwan mengangkat tangannya memberi isyarat untuk berhenti.

"Tenang, Vito. Kalau kamu belum siap cerita, gak apa. Tapi inget, aku ada di sini untuk dengerin. Terkadang, curhat ke orang lain bisa jadi cara yang baik buat melepas beban di dada."

Aku mengangguk mengerti, menghargai empati Bang Iwan. Sejenak, suasana hening melingkupi kami. Hanya suara alat-alat fitness yang terus beroperasi dan derap langkah orang-orang yang tetap fokus pada latihan mereka.

Adit SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang