Distraksi - Part 1

154 2 0
                                        

Meskipun udah seminggu setelah kejadian sialan itu, semuanya masih tergambar nyata di kepalaku. Kenapa sih aku bisa sebodoh ini? Aku udah berantakin hubungan Bang Vito sama Kak Sinta, ngelempar Bang Vito ke posisi yang serba sulit, dan sekarang, aku sendiri terjebak di kubangan rasa bersalah seperti ini. Ugh... begonya Adit... bego... bego!

Aku berkali-kali membenturkan kepala ke meja. Benakku benar-benar kacau seperti rusuhnya medan perang di tengah badai. Bau spidol papan tulis yang menguap dan panasnya siang itu sama sekali enggak membantu, justru membuat dadaku terasa makin sumpek. Beberapa temanku mungkin melirik ke arahku, tapi peduli setan, lah! Toh ini jam istirahat, semua orang bebas buat ngelakuin apa aja.

Riangnya keceriaan dan canda tawa di luar sana berbanding terbalik dengan isi kepalaku saat ini. Sesekali aku mendengar derap langkah kaki di lorong depan kelas, seolah mengingatkanku kalau waktu bakal terus bergulir dan hidup harus tetap berjalan; seberapa pun beratnya, seberapa pun kacaunya.

"Kenapa sih cinta itu kudu ruwet kayak gini?" Aku bergumam pada diri sendiri sambil memegang kepala. Mataku terpaku pada papan tulis di depan kelas. Permukaannya yang putih bersih seakan mengejekku dengan kekosongannya.

Saking sibuknya dengan pikiran sendiri, aku mengabaikan pintu kelas yang tetiba terbuka. Aroma parfum floral bertebaran dengan lembut saat si pemilik berjalan semakin mendekat. Aku udah tahu siapa dia, dan...

"Aw... ada yang patah hati nih ceritanya." Dugaanku bener. Suara centil Irga yang khas itu menyapa telingaku sesaat setelah bokongnya mendarat di kursi sebelah.

"Gak patah hati juga, sih. Cuma heran aja, kenapa cinta di dunia nyata gak semanis film-film Disney," gumamku setengah berbisik. Pandanganku masih malas berpindah dari papan tulis yang sekosong pikiranku.

"Udah ah, gak usah pake acara galau-galau segala. Nih!" Irga menebar selusin jajanan dan cokelat di mejaku. Akhirnya pandanganku sukses terlepas dari papan sialan itu. Aku mendelik kaget melihat gunungan snack yang dia hamburkan di sana.

"Lu habis ngerampok kantin?"

"You're welcome," katanya sambil melentingkan jarinya ke udara. Tapi biar gimana pun juga, aku salut sama bocah tengil satu ini. Dia selalu tahu kalau setumpuk jajanan manis gak pernah gagal untuk balikin mood positifku.

Aku ambil sebatang cokelat dari tumpukan itu dengan rakus, seperti zombi yang baru panen otak manusia. Ledakan glukosa yang membanjiri mulutku sejenak membuatku lupa dengan keruwetan dan rasa galau ini.

"Jadi... siapa nih cowok yang berani-beraninya bikin bestie gue patah hati? Inget, lu masih utang cerita ke gue," bisiknya dengan semangat 45. Sepanjang pertemanan kami dari SD dulu, kami emang selalu saling berbagi. Bahkan bisa dibilang, kami sering kali overshare tentang masalah pribadi. Tapi untuk persoalan yang satu ini, aku masih ragu untuk cerita. Gak tahu, mungkin karena ini terlalu sensitif, bahkan untuk diriku sendiri.

"Kalaupun gue cerita juga lu gak bakal kenal," gumamku. "Gak tahu ya, Ga. Mungkin gue kudu cepet-cepet move on aja."

"Uh huh," sahutnya cepat. Pandangannya lengket ke arahku, seakan pengin ngorek cerita lebih jauh dan lebih detail lagi.

"Lu tahu kan, cowok mana pun bakal klepek-klepek sama lu," kata Irga di tengah decak kunyahannya. "Coba deh lu sekali-sekali ngaca. Lu tuh manisya kelewatan, pinternya gak ketulungan. Cuma cowok begok sih yang gak mau ngedeketin lu," celotehnya. "Atau straight," bisiknya sambil menyolek bahuku.

"Ini ceritanya lu coba ngehibur atau ngerayu gue, nih?" balasku yang dihadiahi toyoran sadisnya di kepalaku. Kami pun terkekeh geli. Lebih tepatnya geli ngelihat kelakuan masing-masing.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 20, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Adit SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang