"Carellia Pramudita."
Plak! Sekali.
Plak! Dua kali.
Plak! Tiga kali.Tamparan keras itu menghantam kedua pipiku secara bergantian. Aku yakin pipiku sudah memerah. Bukan! Bukan karena merona seperti ketika aku bertemu dengannya. Namun memerah dengan rasa perih yang menyengat. Tapi tak usah khawatir, ini bukan pertama kalinya bagiku.
"Sudah berapa kali papah bilang? Jangan pulang terlambat! Kamu sengaja membuat papah naik darah?"
Aku menggeleng pelan. Aku berusaha sekuat tenaga tidak meneteskan air mata, sedikitpun. Rasanya tenggorokan ku seperti dicekik, hingga tak sanggup mengeluarkan kata-kata.
"Kamu tau ini jam berapa? Jam 7 malam! Sekolah mu sudah selesai sejak 3 jam yang lalu. Lalu kenapa kau baru pulang jam segini?"
Papah memutar tubuhku dengan kasar. Memaksa wajahku mendongak menatap matanya. Cengkraman kuat itu terasa seperti akan menghancurkan tulang rahangku.
"Dan apa apaan ini? Kau basah kuyup! Sudah tau musim penghujan, tapi tidak membawa payung. Papah sudah bilang, jangan merepotkan! Ibu mu sudah mati!"
Papah melepaskan cengkraman nya dari rahangku. Leganya, setidaknya untuk sementara.
"Maaf"
Hanya itu yang dapat terucap dari mulutku. Bukan kah sudah ku bilang? Cengkraman papah terasa seperti rahangmu akan terlepas saat itu juga. Papah ku sangat kuat, bukan? Tentu, dia papah yang hebat. Setidaknya itu dulu, sampai suatu peristiwa tragis menimpa ibu dan merenggut nyawanya.
"Dasar anak tidak berguna! Masuk ke kamar mu dan kunci pintu! Jangan harap ada makan malam untuk anak bandel seperti mu!"
Papah segera keluar dari rumah, membanting pintu dengan keras. Ini adalah hari-hari biasa bagiku. Papah adalah seorang pimpinan perusahaan. Aku tau, papah sangat sibuk. Biasanya papah akan berangkat pagi dan pulang tengah malam. Kalau sempat, papah akan pulang sore hari untuk sekedar mandi dan memakan masakan ibu. Tapi lagi-lagi, itu dulu. Semenjak ibu meninggal, terkadang papah pulang seminggu sekali bahkan sebulan sekali.
Sesuai perintah nya, aku berjalan menaiki anak tangga menuju kamar ku dengan lemas. Kamarku terletak di lantai dua. Terkadang melelahkan, tapi itung-itung untuk olahraga. Aku masuk dan mengunci pintu. Aku terduduk di lantai kamar ku, tak peduli dengan lantai yang ikut basah akibat tetesan air dari seragam.
"Where did my dad go?"
Aku selalu mengucapkan kalimat pertanyaan itu. Setiap kali papah memukulku, mencubit, menendang, dan masih banyak lagi. Aku merasa seperti disiksa oleh orang asing. Dia...bukan papah yang ku kenal. Bukan papah yang lembut, bukan papah yang perhatian, bukan papah yang penyayang, bukan papah yang dulu sering menceritakan dongeng penghantar tidur, dan bukan pula papah yang selalu terlihat khawatir jika aku jatuh sakit.
Dulu saat aku masih SD, awal mula semua penyiksaan ini dilakukan oleh papah. Ketika ibu meninggalkan ku dan papah hanya berdua di dunia ini. Sampai membuat papah terpuruk berhari-hari, mengunci diri di kamar, bahkan merokok tiada henti. Aku sempat ingin menenangkan papah, namun hanya caci maki yang ku terima.
"Pergi kamu anak sialan! Kamu pembawa sial! Kamu merenggut nyawa istriku!"
Itu pertama kalinya papah meninggikan suara nya di hadapanku. Pertama kalinya aku melihat papah begitu hancur, dengan mata merah yang berlinang air mata. Dan semenjak itu pula, raga itu memang papah ku, tetapi jiwanya seperti dirasuki oleh iblis.
"Apa salahku? Kenapa aku harus menanggung semua penderitaan ini? Kenapa ibu meninggalkan ku dengan papah?"
Tak ingin berlarut dalam kesedihan, aku memaksa tubuhku untuk bangun. Aku berusaha untuk mandi dan berganti pakaian dengan pakaian yang kering dan tebal agar hangat. Saat aku akan tertidur, suara ketukan pintu kamar terdengar kencang. Aku sempat ragu ingin membukanya, sampai sebuah suara terdengar.
"Non! Buka pintunya! Ini bibi Maria!"
Seketika aku menghembuskan nafas lega. Bibi kesayangan ku, bibi Maria. Dia sudah ku anggap seperti pengganti sosok ibu bagiku. Walaupun dia hanya bisa melihat dan menatap sedih ketika aku disiksa oleh papah. Aku tetap sayang. Dia akan melakukan apapun agar aku tetap bisa kuat dan tabah menghadapi segala cobaan hidup ini. Berkat bibi Maria pula, aku masih bisa menghirup udara segar dunia sampai sekarang.
Aku membuka pintu kamar dengan tergesa. Bibi Maria tersenyum melihatku. Jangan lupakan nampan berisi sepiring roti bakar dan segelas susu coklat hangat yang ia bawa.
"Bibi! Ayo masuk!"
"Baik, non"Aku menutup kembali pintu kamarku. Aku dan bibi duduk di sofa dengan nyaman. Berbincang, bersenda gurau, bahkan kami terkadang bergosip ria. Hanya hal sesederhana ini, aku bisa melupakan segala luka dan nyeri yang diberikan papah.
"Sudah malam, non. Bibi sebaiknya pamit dulu. Seperti biasa, kalau ada apa-apa segera turun dan ketuk pintu kamar bibi, ya?"
"Iya, bibi. Terimakasih atas roti dan susu hangatnya malam ini. Lia menjadi lebih sedikit tenang"Bibi Maria tersenyum dan mengelus pipiku sebentar. Setelah bibi keluar dari kamarku, aku segera merebahkan tubuhku di kasur. Ah rasanya seperti aku tidur diatas tumpukan kapas yang lembut. Dan seperti malam-malam sebelumnya, aku berdoa kepada Tuhan semoga senantiasa diberikan ketabahan dan kekuatan dalam menghadapi apapun yang akan terjadi. Tapi terkadang aku penasaran, apa rencana Tuhan untukku di esok hari?
-Bagian 2 Finish-
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddy Issues and You
عاطفية"Saya terlalu tua untuk kamu" "Walaupun saya masih muda, saya bisa mencintai selayaknya orang dewasa!" Sejauh apapun jarak diantara kita, aku akan tetap mengejar mu. Sesulit apapun rintangan yang harus ku hadapi. ❗ATTENTION! THIS STORY CONTAINS A QU...