BAGIAN 6 : SURYA BAGASKARA

191 10 0
                                    

Surya Bagaskara.

Itu namaku. Biasanya ibu dan adik perempuan ku memanggilku Mas Bagas. Khusus hanya mereka berdua. Untuk yang lain, panggil saja Surya. Anak pertama dari dua bersaudara. Adikku seorang perempuan, sekarang sedang bekerja di sebuah rumah sakit sebagai perawat . Ibuku adalah seorang single parent. Ayah sudah meninggalkan keluarga kami sejak aku berusia 5 tahun. Ketika saat itu, Arimbi, adik perempuan ku, masih berusia 3 tahun. Alasannya karena merantau ke kota, tetapi sejak saat itu, ayah tidak pernah pulang.

Setelahnya, ibu memutuskan untuk pindah ke sebuah desa yang cukup jauh dari perkotaan. Bekerja sebagai penjual sayur untuk mencukupi kebutuhan ku dan adikku. Saat aku masih SD, aku memutuskan untuk membantu ibu. Berjualan beberapa jajanan ringan di sekolah, kepada teman sekelas, guru, dan siapapun yang ingin membeli dagangan ku.

Ketika memasuki SMA, terpaksa aku pindah dan tinggal bersama om ku di kota. Karena di desa ku tidak ada SMA yang dekat dari rumah, sehingga ibu memutuskan untuk mengirim ku ke kota tempat om ku tinggal. Untung saja, Om ku menerima kedatangan ku dengan sangat baik. Omong-omong saat itu, om ku belum menikah. Jadi, hanya ada aku dan om ku di sebuah rumah sederhana. Beliau merawat ku dengan sangat baik, seolah-olah aku adalah anaknya sendiri.

"Surya? Sudah makan belum? Ini om belikan nasi goreng"
"Surya butuh membeli perlengkapan sekolah?"
"Gimana sekolahnya hari ini?"
"Baju Surya kotor? Sini, biar om yang cuci. Kasian kamu kecapekan habis pulang sekolah"

Aku benar-benar dimanja habis-habisan, namun bukan berarti aku melupakan kewajiban ku untuk menuntut ilmu. Saat SMA, prestasi ku di bidang akademik cukup mengesankan. Beberapa kali aku mengikuti olimpiade matematika dan ekonomi. Om ku sangat bangga, bahkan menyarankan ku agar kuliah di jurusan ekonomi bisnis. Kemudian, saat aku menginjak kelas 3 SMA, om ku memutuskan untuk menikah dengan seorang wanita yang bekerja sebagai guru SD. Namanya Mulia Wati, atau biasa ku panggil Tante Wati. Yang juga tak kalah baiknya dengan Om ku.

"Nak Surya, sini sebentar. Om mau mengobrol sama kamu"

Sore hari yang cerah, saat aku sedang asyik membersihkan halaman depan rumah, Om ku memanggil dan mengajak berbincang di teras.

"Ada apa Om?"
"Kamu sudah besar, sudah mau tamat SMA. Kamu sudah ada pikiran mau lanjut kemana?"
"Oh begitu. Sepertinya, yang Om dulu katakan kepada Surya tidak buruk. Mungkin Surya akan mengambil jurusan Ekonomi"
"Haha! Jadi memang itu ya bidang keahlian mu? Tidak masalah, om akan tetap mendukung dan membiayai perkuliahan mu"

Sontak aku terkejut, aku tidak menyangka bahwa Om ku akan membiayai ku hingga kuliah. Namun, tentu saja terasa sedikit mengganjal di hati. Om ku mempunyai istri, bagaimana jika nanti mereka sudah punya anak? Aku yakin, akan kesulitan bagi mereka membagi keuangan untuk mengurus rumah tangga dan biaya kuliah yang tak bisa dibilang sedikit.

"Tapi, apa itu tidak merepotkan om?"
"Ah kamu ini kayak sama siapa aja. Kamu sudah om anggap seperti anak sendiri. Yang penting kamu tetap serius dan tekun menuntut ilmu, paham?"

Aku hanya mengangguk dan tersenyum kaku. Akhirnya kehidupan perkuliahan ku dimulai, tidak buruk, dan semua berjalan dengan lancar. Karena otakku yang memang cukup mumpuni di bidang akademik, aku berhasil mendapatkan beasiswa penuh hingga lulus. Betapa bahagianya saat aku menyampaikan kabar gembira ini kepada om ku. Ditambah lagi saat itu, putra pertama om ku, yang ku panggil Dek Satria, lahir ke dunia dengan sehat. Hari itu benar-benar hari paling membahagiakan di kehidupan ku. Bahkan aku juga menyampaikan nya pada ibu dan Arimbi yang ada di kampung.

Tak lama kemudian, Arimbi juga ikut menyusul ke kota. Namun ia memutuskan untuk tinggal di kontrakan daripada tinggal di rumah om ku. Saat kutanya kenapa, dia hanya mengatakan,

"Alah, Ndak usah. Arimbi ga mau ngerepotin Om Herman"

Arimbi adalah gadis yang kuat dan hebat, harus ku akui. Padahal om ku sudah menawarkan bantuan biaya, namun ia menolaknya. Justru Arimbi nekat mengambil kerja paruh waktu sebagai pelayan restoran untuk mencukupi kebutuhan nya. Walaupun begitu, Om Herman tetap memberikan uang saku tambahan untuk Arimbi.

"Ya ampun, Om! Arimbi tidak butuh, serius. Om bisa ambil uang ini buat keperluannya dek Satria saja"
'Gapapa, ambil saja. Gimanapun juga kamu ponakan saya, ini uang saku buat jajan, diterima ya?"

Mau tidak mau, Arimbi tetap menerima uang yang diberikan oleh Om Herman. Aku kagum dengan Om Herman. Walaupun beliau hanya bekerja sebagai seorang satpam di sebuah kantor, namun hidupnya selalu berkecukupan dan senantiasa bersyukur.

"Surya, kalau ditanya apa gaji om selama ini cukup atau tidak, tentu saja cukup. Yang penting selalu disyukuri, beramal, dan dipakai secukupnya. Om tidak pernah merasa kurang, om selalu menerima dengan ikhlas rejeki yang om dapat. Lagian, kalau kita nurutin nafsu dunia, ga bakal kelar kan? Haha!"

Kata-kata itulah yang pernah terucap dari om ku. Yang selalu kuingat hingga detik ini. Dimana sekarang, aku berhasil bekerja sebagai seorang sekertaris pribadi di salah satu perusahaan terkemuka milik pengusaha bernama Agung Pramudita. Tak ku sangka, saat itu status ku masih fresh graduate. Namun dengan pengalaman yang cukup banyak dan prestasi ku yang menjanjikan, sekali melamar, aku langsung dinyatakan lolos. Berkat itu pula, aku bisa membantu biaya kuliah adikku hingga dia lulus. Arimbi juga tak kalah pintar dan berambisi.

Aku benar-benar menikmati hari-hari ku bekerja sebagai sekertaris pribadi seorang Agung Pramudita. Dengan gaji yang bisa ku bilang cukup memuaskan, aku bisa mendapatkan kehidupan yang layak. Tak lupa juga sesekali mengirimkan sebagian hasil kerja ku kepada ibu yang ada di kampung. Aku juga sangat bersyukur, ibu masih di berikan kesehatan dan umur panjang sampai kedua anaknya sukses.

Semuanya berjalan dengan baik. Walaupun sesekali tetap saja aku merasa lelah dan jenuh. Namun hal itu tak mengurangi rasa semangat ku untuk terus bekerja keras. Hidupku berjalan dengan datar dan normal, sampai suatu ketika dia datang di hari itu. Secara tiba-tiba, tak terduga, dan mengejutkan. Kedatangan nya membawa hal yang baru pada hidup ku yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Tetapi aku masih bertanya-tanya kepada diriku sendiri.

'Apa perasaan ini salah?'
'Bolehkan aku menaruh rasa padanya?'
'Atau ini hanya ketertarikan sesaat saja?'

Sialnya, pertemuan singkat dan mengejutkan sore itu terus saja melekat di ingatan. Sejak hari itu, bayang-bayang wajahnya selalu menghampiri tidurku. Gila? Katakan saja seperti itu. Aku merasa jiwaku sudah terganggu semenjak aku memantapkan hatiku.

"Tuhan, sepertinya dia berhasil mencuri perhatian ku"

-Bagian 6 Finish-

Votes and comments are really appreciated!

Daddy Issues and YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang