Bab 4

2.2K 63 4
                                    

Pagi ini suasana dapur sibuk seperti biasanya. Bu Menik tampak fokus menyiapkan sarapan untuk para majikannya. Sementara Aruna menyiapkan kopi sebagai pendamping makanan berat dalam setiap menu sarapan di rumah ini.

Ketika Aruna sedang menunggu mesin kopi selesai melakukan tugasnya membuat secangkir kopi, samar-samar ia mendengar alunan musik piano yang perlahan mulai menggema di hampir seluruh penjuru rumah. Aruna sangat menyukai instrumen musik piano sejak kecil. Dia senang mendengar ada yang bermain piano sepagi ini, seolah permainan musik tersebut ditujukan khusus untuknya.

"Itu siapa yang lagi main biola?" tanya Aruna pada Bu Menik yang sedang menyiapkan baki berisi menu sarapan untuk Batara dan Nyonya Hafsah.

"Biji wijen!" ujar Bu Menik, bukannya menjawab pertanyaan Aruna.

Aruna meraih botol berisi biji wijen lalu menaburkannya secara perlahan di atas piring berisi makanan yang akan disantap oleh majikannya. Alunan dawai biola terus menggema di seluruh ruangan yang ada di rumah ini. Membuat suasana hati Aruna berada di titik paling baik. Dia tersenyum lebar mendengarnya.

Bu Menik heran melihat ekspresi wajah Aruna seperti orang yang baru saja memenangkan lotre. "Tunggu apa lagi? Bawa nampan ini keluar!" perintah Bu Menik karena Aruna malah bengong dengan tatapan menerawang.

Aruna tersadar lalu segera bergerak meraih nampan besar berisi menu sarapan untuk majikannya. "Sarapan ini untuk siapa? Lalu harus saya bawa ke mana?" tanya Aruna bingung.

"Ini sarapan untuk Tuan Batara. Kamu ikuti saja asal suara biola itu," jawab Bu Menik malas.

Dengan sedikit langkah tergesa dia membawa nampan besar tersebut keluar dapur. Bu Menik sampai menasehati gadis itu supaya hati-hati pada langkahnya. Sesampainya di ruang keluarga Aruna kebingungan mencari asal suara dawai biola yang terus mengalun menggema di dalam rumah besar ini. Setelah menoleh ke kanan dan ke kiri sambil menajamkan telinganya, Aruna menebak suara biola itu berasal dari sebuah ruangan yang berada di bawah tangga. Menuruti instingnya Aruna berjalan hati-hati menuju ruangan tersebut. Dia tersenyum senang karena tebakannya benar. Di dalam ruangan itu dia melihat Batara sedang bermain biola dengan khusyuk sampai memejamkan kedua matanya. Pakaiannya sudah rapi hendak berangkat ke kantor.

"Pagi, Tuan," sapa Aruna saat memasuki ruangan.

Batara membuka kedua matanya lalu menoleh ke arah pintu tanpa menghentikan permainan biolanya. Ia menunduk dengan senyum tipis seolah sedang membalas sapaan Aruna. Sambil terus bermain biola pandangannya tak putus menatap penampilan Aruna yang pagi ini memakai seragam asisten rumah tangga serba hitam dan celemek putih yang melingkar di pinggang. Dilihatnya Aruna yang meletakkan nampan berisi sarapan untuknya dengan hati-hati. Ada sesuatu di dalam diri Aruna yang menarik perhatian Batara sejak pertama kali melihat gadis itu.

Diam-diam Aruna mencuri pandang pada majikannya yang tengah memainkan biola. Sambil memindahkan piring dan cangkir dari nampan ke atas meja, pandangan Aruna hampir tak putus dari memandangi Batara yang kini sudah kembali fokus pada biolanya. Ada rasa kagum yang tumbuh dalam diri Aruna pada duda satu anak itu. Namun dia sadar tidak boleh membiarkan rasa kagum itu tumbuh subur menjadi rasa yang lain. Setelah menyelesaikan tugasnya Aruna keluar dari ruangan dan menutup pintu dengan hati-hati khawatir mengganggu konsentrasi majikannya.

Saat berada di depan pintu ruang musik yang tengah tertutup rapat Aruna memeluk nampan yang telah kosong sambil tersenyum lebar. Entah apa yang kini tengah ia bayangkan sampai-sampai harus tersenyum tersipu seperti itu.

Tepat pukul tujuh pagi Nyonya Hafsah dan Jingga mengantar Batara yang akan berangkat ke kantor hingga depan pintu rumah. Ketika hendak berpamitan pada Jingga, Batara berjongkok di depan putra kecilnya itu. Tak lama ia menggendong Jingga dengan penuh kasih sayang.

"Apakah Dad akan pulang larut malam ini? Aku mohon pulang cepat ya. Aku ingin mendengar permainan biola Dad lagi," ujar Jingga.

Batara tersenyum mendengar celotehan putrinya itu. "Ya, akan Dad usahakan pulang lebih awal hari ini," jawab Batara lembut sambil menyerahkan anak tampannya itu pada Aruna, yang dengan sigap maju selangkah melewati Nyonya Hafsah yang tengah berdiri di depannya untuk menerima Jingga dari tangan Batara.

Tanpa sengaja kulit tangan mereka bersentuhan. Batara tersenyum tipis sementara Aruna tertunduk karena malu. Dia mundur selangkah dan kembali berdiri di tempatnya semula sambil menggendong Jingga.

"Aku berangkat, Ma," pamit Batara pada mamanya.

"Ya, hati-hati!" balas Nyonya Hafsah santai sambil mengangkat tangannya hingga ujung jemarinya sejajar pundaknya.

Batara mengangguk. Namun pandangannya bukan ke arah Nyonya Hafsah melainkan melirik Aruna yang tengah tertunduk sopan sebagai penghormatan pada majikannya yang hendak keluar rumah. Batara berbalik badan dan menuruni tangga beranda depan menuju mobil yang sudah siap mengantarnya ke kantor.

Sementara itu Nyonya Hafsah melakukan hal yang sama, berbalik badan dan masuk rumah begitu saja, disusul oleh Bu Menik. Tanpa menunggu mobil yang membawa anak semata wayangnya itu benar-benar telah keluar rumah. Sedangkan Aruna yang sedang menggendong Jingga masih berdiri di beranda menunggu sampai mobil yang membawa Batara benar-benar telah hilang dari pandangan. Batara tidak tahu soal itu. Ia pikir semua orang rumahnya akan kembali masuk rumah setelah mobilnya melaju meninggalkan beranda depan.

Setelah mobil Batara menghilang dari pandangannya, barulah Aruna menyusul masuk rumah sembari membawa Jingga yang masih dalam gendongannya.

Rutinitas pagi Aruna berikutnya setelah Batara berangkat dan Jingga selesai sarapan adalah menyiapkan bathtub untuk berendam majikan perempuannya. Sambil berendam di bathtub, kali ini Aruna akan membantu Nyonya Hafsah keramas. Aktivitas itu bisa berlangsung selama kurang lebih satu jam. Atau sampai Nyonya Hafsah merasa puas berendam di dalam bathtub.

Sore harinya ketika Aruna sedang memijat tubuh Nyonya Hafsah supaya rileks dan tidak tegang karena bosan di rumah sepanjang hari, terdengar suara klakson mobil dari arah halaman rumah.

"Sepertinya Tuan Batara sudah pulang, Nyonya," ujar Aruna mengingatkan. "Saya belum menyiapkan bathtub, takutnya Tuan Batara ingin berendam," imbuhnya.

"Baiklah, kamu bersihkan bathtub di kamar mandinyadulu. Pijatnya dilanjutkan besok saja," jawab Nyonya Hafsah.

Aruna pergi dari hadapan Nyonya Hafsah. Dia menuju kamar mandi di kamar Batara untuk melakukan aktivitas yang tadi disampaikan pada Nyonya Hafsah. Dengan penuh semangat Aruna membersihkan bathtub yang kemungkinan besar akan digunakan oleh Batara. Aruna sampai masuk ke dalam bathtub untuk menggosok dinding bak bagian dalam bathtub untuk menghilangkan efek licin ketika dimasuki air dan sabun. Sesuai arahan Bu Menik padanya yang menyampaikan bahwa Batara tidak pernah menyukai jika dinding bathtub terasa licin karena lumut bukan karena sabun. Oleh karena itulah Aruna benar-benar memastikan bathtub yang sudah tidak digunakan selama beberapa hari itu tidak licin.

Di dalam kamar Batara sama sekali tidak menyadari bahwa ada Aruna yang sedang membersihkan bathtub di kamar mandi. Dengan santainya dia melucuti pakaian dan celana kantornya. Namun seperti ada medan magnet yang menarik pandangan Batara supaya menoleh ke arah pintu kamar mandi yang terbuka lebar. Di sana dia mendapati Aruna sedang berjongkok sambil menggosok pinggiran bathtub. Aruna saat itu tidak mengenakan stoking dan roknya berbentuk span pendek yang mengekspos ujung kaki hingga hampir seluruh pahanya.

"Wow!" ujar Batara kemudian tersenyum sambil menilik penampilan Aruna yang cukup menggoda itu. Tatapan Batara menelusuri hampir setiap inci lekuk tubuh Aruna. Tatapannya berhenti di kemeja yang dikenakan Aruna, dimana dua kancing teratasnya yang sengaja dibuka itu menampakkan belahan dada pemiliknya. Terlebih ketika itu posisi Aruna sedang berjongkok dan sedikit merunduk. Ketika tatapan mereka bertemu Batara lebih dulu tersenyum penuh arti pada Aruna. Membuat Aruna sampai tersipu ditatap seperti itu oleh majikan laki-lakinya.

Aruna bangkit berdiri dari duduk berjongkoknya. Saat dia mengembalikan kran shower ke posisinya semula, rok spannya sedikit terangkat sehingga menampilkan lekuk tubuh kulit paha mulus Aruna yang sayang untuk dilewatkan menurut Batara. Setelah selesai merapikan kran shower Aruna pamitan pada Batara saat mereka berpapasan di pintu kamar mandi. Batara kembali tersenyum penuh arti sambil terus menatap kepergian Aruna dari kamarnya.

~~~

^vee^


Lugunya Pengasuh AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang