Satu

29 3 3
                                    


Aku akan menemukan bahagiaku dengan caraku sendiri.

Mungkin bagi sebagian orang, menunggu adalah hal yang membosankan serta melelahkan.  Tapi lain halnya dengan wanita yang tengah duduk di salah satu sofa kafe bernuansa industrial di kota Makassar.

Ia tampak asyik dengan buku bacaannya meskipun telah menghabiskan waktu kurang lebih dua jam dalam ketidakpastian.

"Ada pesanan lain, kak?" tanya seorang pelayan kafe yang baru saja menyelesaikan pesanan pelanggan yang duduk tepat di sebelah meja gadis itu.

Naziha menurunkan buku yang sedang dibacanya, melirik sekilas ke arah meja yang ditempatinya, terdapat beberapa buku dan satu gelas minuman yang sudah kosong. "Em, Leci Tea sama Banana Roll, Kak," pesannya pada pelayan yang sedang tersenyum simpul padanya.

"Baik, kak," jawab pelayan penuh keramahan.

Setelah pelayan itu menjauh, kali ini suara dering telepon berhasil mengalihkan perhatian Naziha dari buku yang sedang dibacanya.

"Iya, tidak apa-apa Tante. Biar saya tunggu saja," jawabnya pada si penelepon sebelum percakapan itu berakhir.

Seolah tidak sedang dalam mode menunggu, lagi-lagi Naziha larut dalam buku bacaannya yang mungkin hanya tersisa beberapa bab lagi.

Satu jam lagi, pria itu belum muncul juga. Sepertinya aku bisa menamatkan buku ini. Pikir Cahaya. Ia masih saja tidak merasa keberatan dalam penantiannya.

Tepat sebelum Cahaya menyelesaikan bacaannya. Sorang pria perlahan mendekat ke arah meja gadis itu.

"Permisi, Naziha?" tanya pria itu dengan sedikit ragu-ragu.

Naziha hanya mengangguk sebagai jawaban. Sejak tadi, ia hanya sibuk membaca, seolah tidak ada yang perlu dipersiapkan sebelum bertemu pria di hadapannya. Kini, dia tidak tahu harus berbuat apa, yang bisa ia lakukan hanya menyodorkan piring kecil yang berisi beberapa potong banana roll, "tabe'," ujarnya pelan, nyaris tidak terdengar.

Untuk beberapa saat, sepertinya baik Naziha maupun Imran, tidak satupun yang berniat membuka percakapan. Mereka duduk berhadapan dengan mulut terkunci, seolah saling menunggu, siapa yang lebih berani mendahului.

Imran bukannya tidak berani memulai percakapan, bahkan sejak tadi pikirannya sibuk merangkai kalimat permintaan maaf untuk seorang wanita yang telah bersedia menungguinya selama kurang lebih tiga jam, kira-kira kalimat seperti apa yang pantas dan tidak melukai hatinya. Hitung-hitung sebagai imbalan atas kesabarannya.

Selama ini, gadis yang bersedia menunggunya hanya bertahan setidaknya satu setengah jam, sebelum akhirnya menyerah tanpa pernah bertatap muka.

Trik menghindari perjodohan ini sudah berhasil beberapa kali, dan harapan Imran kali ini akan berakhir sama, tapi ternyata di luar dugaan. Ada wanita yang bersedia menunggunya hingga tiga jam! Angka yang cukup membuat Imran bangga pada usaha ibunya yang telah berhasil menemukan wanita penyabar.

Bahkan yang lebih menakjubkan lagi, saat pertama kali bertemu Imran tidak menemukan satu pun jejak kekecewaan ataupun kemarahan di wajah wanita di hadapannya itu, malah terlihat sangat asyik dalam penantiannya.

Itulah alasan mengapa Imran sedikit ragu saat pertama menegur Naziha, takut-takut salah orang. Pikir Imran, wanita yang sedang menunggunya akan berada dalam kondisi bete, dongkol, muka kusut, dan sebagainya. Namun, yang dijumpainya malah sebaliknya.

"Saya minta maaf, sudah buatki menunggu lama," kata Imran dengan perasaan sungkan.

Naziha hanya menanggapinya dengan anggukan kecil dan seulas senyum tipis, setipis tisu yang nyaris tidak bisa ditangkap Imran. Jauh dari harapan pria itu.

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang