Empat

15 0 0
                                    

Jangan dipaksakan, semua ada waktunya.


"Selamat, pagi!" Sapa Arif penuh keceriaan. Pagi ini, pria itu tampak bersemangat. Ibarat lampu seratus watt. Keberadaan Naziha membawa semangat baru bagi pria itu.

"Pagi!" balas Naziha sekadarnya. Ia merasa sungkan bila membalas sapaan itu hanya dengan sebuah senyum segaris.

Naziha lalu kembali fokus pada pekerjaan yang sudah menunggunya. Hari ini, cukup padat, ada beberapa laporan keuangan yang harus diaudit. Progres PABALU cukup signifikan akhir-akhir ini. Ada puluhan vendor yang mengajukan permohonan untuk bisa bergabung dalam program kerjasama, dan itu artinya, Naziha mendapatkan tambahan pekerjaan yang cukup signifikan juga. Syukur, ia mendapatkan asisten yang cukup cekatan, namanya Fitri. Kadang Naziha dan Fitri harus rela bekerja lembur untuk menyelesaikan tugas mereka.

Pekerjaan seorang akuntan susah-susah gampang. Susahnya yakni harus teliti dan telaten dan gampangnya, ya dia tidak harus memikirkan target, atau strategi, dan lain-lain untuk meningkatkan perusahaan. Dia hanya harus fokus dalam proses audit dan perencanaan keuangan perusahaan, pemasukan dan pengeluaran perusahaan juga jadi tugasnya.

Meskipun jadwalnya padat, tapi sebisa mungkin Naziha tidak ingin waktu istirahatnya terganggu. Semua harus sesuai dengan porsinya masing-masing.

Hidup hanya sekali, jadi semua harus dijalani dengan hati-hati tanpa mengorbankan diri. Meski, terkadang kita berada dalam kondisi paling bodoh, yakni saat membiarkan diri larut dalam kesalahan padahal sudah tahu itu salah, tapi tetap saja dilakukan. Saat kepala sudah memberikan alarm tanda bahaya, namun tetap saja hati tak mau mengalah, dengan pongah berkata semua akan baik-baik saja.

Naziha mengembuskan napas panjang. Entah mengapa, ingatan tentang si penelepon kemarin lalu tiba-tiba saja melintas.

'Astaga, move on!'
ia berusaha menyadarkan diri.

Suara ketukan mengalihkan perhatian Naziha dari lamunannya. Ada Arif di sana dengan senyum santunnya.

"Kue!" Pria itu meletakkan sepiring kue di samping laptop Naziha.

Gadis itu melirik piring di hadapannya, ada kue putu, kue lapis, apang, dan taripang. Tampak lezat. "Terima kasih," ucapnya dengan sungkan. Seharusnya dia yang baru berinisiatif membeli kue seperti ini, bukan sang atasan.

"Dimakan, ya, supaya bisa semangat kerja!" titah Arif dengan nada mengayomi.

Naziha tidak menjawab, ia hanya tersenyum tipis. Sikap ramah dan baik hati sang atasan membuat hati Naziha merasa sedikit terbebani. Ia cukup asing hal-hal yang seperti ini, selama ini ia hanya menerima perhatian dari ibu, kakak, dan alm. sahabatnya. Ada beberapa teman yang juga ingin menjalin kedekatan tapi Naziha selalu memasang batasan.

"Oii, melamun, eh?" Imran menepuk pelan ujung meja Naziha, usaha yang ampuh untuk membuyarkan lamunan gadis itu. Setelah bekerjasama beberapa waktu, Imran mulai mengakrabkan diri pada Naziha. Seolah lupa bahwa mereka sebelum sempat dijodohkan.

"Ada apa?" tanya Imran. Pria itu merasa ganjil saja melihat Naziha melamun saat jam kerja.  Biasanya gadis itu, selalu terlihat penuh konsentrasi, namun santai. Tidak mudah teralihkan atau terdistraksi oleh lingkungan sekitar.

"Ah? Tidak, tidak apa-apa!" ujar Naziha yang tampak ragu dengan dirinya sendiri.

Imran mengernyit keheranan sebelum berbalik dan berjalan menuju meja kerjanya.

Naziha melirik sekilas ke arah Imran yang tampak fokus pada layar komputernya.

Fokus, fokus, fokus ....

Risiko bekerja dengan ruang kerja yang digunakan secara bersama. Sulit untuk menghindari interaksi intens di antara para pegawai.  Mau bagaimana lagi, perusahannya masih dalam tahap rintisan, belum ada budget untuk membuatnya leluasa memiliki ruang kerja masing-masing.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang