Tiga

10 0 0
                                    

Badai bisa datang kapan saja.

Bahu Naziha melorot begitu melihat kendaraan roda dua berwarna hitam yang terparkir apik di parkiran rumahnya. Rasanya ingin putar balik, tapi ia sudah cukup lelah untuk hari ini.

Dengan berat hati, gadis itu memaksakan diri untuk tetap melangkah memasuki rumah mungilnya.

Jangan emosi, jangan emosi, jangan emosi ....

Naziha berusaha untuk menekan emosinya. Tidak biasanya ia seperti ini, hanya dengan sosok yang sedang selonjoran di sofa ruang tamu sambil bermain gawai lah ia sulit mengendalikan emosi.

"Eh, anak ayah yang cantik jelita sudah pulang!" ucap pria bertubuh gempal itu dengan ringan. Sok akrab.

Andai tidak memperhitungkan kedurhakaan, Naziha sudah memutar bola matanya, rasanya ia ingin muntah mendengar kalimat manis penuh racun itu.

Lagi-lagi dengan amat sangat berat hati, gadis itu tidak punya pilihan lain selain mendekat lalu mencium tangan pria penguji kesabarannya itu, enggan sekali rasanya menyebut kata 'ayah'.

Pria gempal yang berlabel 'ayah' tersebut tersenyum puas, merasa bak raja.

"Ibu mu mana? Dari tadi siang belum kelihatan."

Sungguh, Naziha sudah muak mendengar pertanyaan berulang itu. Setiap kali tidak mendapati sang mantan istri di rumah, ia selalu saja bertanya seperti itu.

Apa 'ayahnya' tidak pernah berpikir atau memang bebal? Seharusnya dia sudah tahu diri setelah puluhan kali berada dalam situasi yang sama.

Saat 'sang ayah' mengunjungi rumah mereka, sebisa mungkin ibunya menghindar, tak jarang sampai menginap di rumah kerabat atau sahabatnya. Naziha pun seperti itu, andai ia tahu bahwa di rumah sedang ada tamu tak diundang, tentu ia tak akan sudi untuk kembali ke rumah. Lebih baik ia menginap di luar. Tidur di hotel tentu lebih menjanjikan kenyamanan, meskipun tidak masuk dalam daftar pengeluaran.

Enggan menjawab pertanyaan 'ayahnya', Naziha hanya mengangkat bahu. Malas meladeni pria di hadapannya itu.

"Agar silaturahmi tidak putus, adakah seratus?" celetuk 'ayah' Naziha saat melihat anak gadisnya hendak berbalik badan meninggalkan ruang tamu.

Tanpa sadar, Naziha berhasil memutar bola matanya, enek mendengar kalimat yang baru saya menyentuh indera pendengarannya.

"Berubah na mo, dulu ndak ji!" lanjut 'ayahnya' sambil cengir kuda, tidak ada rasa bersalah sedikit pun yang tampak pada air mukanya.

Tak ingin berlama-lama, Naziha merogoh tas yang tersampir pada lengan kanannya, mengeluarkan gawai lalu mencari aplikasi perbankan seluler miliknya.

Tanpa pikir panjang, gadis itu mengetik beberapa digit angka yang lumayan banyak, berharap pria yang ada di hadapannya saat ini bisa menjauh dalam waktu yang lama, atau kalau bisa selamanya!

Naziha menyodorkan gawai dan memperlihatkan bukti transfer ke rekening pria itu tanpa merasa perlu basa-basi. Untuk, apa? Toh yang dibutuhkan pria itu memang hanya uang dan uang.

Gadis itu tak habis pikir, ada ya, orang seperti itu. Tidak punya malu, tidak merasa bertanggung jawab sama sekali, sangat santai seperti di pantai, seolah hidupnya akan kekal selamanya tanpa pertanggungjawaban di kehidupan selanjutnya. Ia teringat pernah mendengar ceramah tentang seorang ayah yang di akhirat nanti akan dimintai pertanggungjawaban atas anak istrinya. Ngeri.

"Kan, kalau begini enak. Tidak perlu lama-lama. Terima kasih, ya, cantik!" ujar pria beban keluarga itu sebelum beranjak dari duduknya, bahkan dia sempat mencolek pipi Naziha.

Dalam hati, Naziha berjanji akan mencuci pipinya dengan disinfektan. Takut tertular sikap tidak tahu malu sang ayah.

"Dadah anakku yang cantik dan baik hati!" Ayah Naziha berucap penuh keriangan sambil melambaikan tangan. Pria itu tampak sangat puas dengan hasil memeras putri kandungnya hari ini.

Naziha membanting pintu begitu sosok yang disebut ayah itu berlalu. Tak lama kemudian, perlahan, air matanya tak terbendung. Ia menangis di rumah tamu seorang diri, menangisi nasibnya yang punya ayah seperti itu.

Mungkin, jika ia lahir sebagai anak yatim, akan lebih baik baginya dan juga ibunya. Mereka tidak harus menanggung semua beban terus berhubungan dengan pria culas, tak tahu malu itu.

Sekelebat, bayangan sang ayah memukul ibu terlintas dalam benaknya. Suara tangis dan ringis ibunya, masih mengiang-ngiang di telinga Naziha meskipun telah bertahun-tahun lalu.

Syukurlah, lima tahun lalu, ibunya telah berhasil menggugat cerai pria benalu itu. Setidaknya, sang ibu bisa terbebas dari kelakuan ringan tangan ayahnya, meskipun belum bisa dikatakan terlepas sepenuhnya. Sebab pria itu masih sering berkunjung, meminta uang seenak jidatnya dengan dalih, mereka harus balas budi atas masa lalu, dimana Naziha dan ibunya pernah mendapatkan nafkah dari pria itu saat mereka masih berstatus sebagai keluarga yang tercatat di catatan sipil dan pengadilan agama. Sungguh tidak tahu malu.

Dengan langkah gontai, Naziha menaiki anak tangga menuju kamarnya. Ia butuh tidur untuk bisa kembali berpikir jernih.

Saat, kakinya sudah berada di anak tangga terakhir, ia menemukan Kak Azura yang baru saja dari lantai atas, memungut cucian yang telah kering.

"Naz, pulang maki. Masih ada Bapak di bawah?"

Naziha menggeleng lemah.

"Maaf, tadi pas mau kirim pesan kalau bapak ada di rumah, handphone-ku tiba-tiba mati, lowbat baru rusak casnya sudah na lempar Azka."

"Iye. Naz, ke kamar dulu," balas gadis itu dengan suara parau.

Azura, sang kakak, merasa sangat bersalah. Seharusnya, ia bisa melindungi sang adik dan ibunya, tapi lihatlah kini ia malah menjadi beban keluarga.
Setelah diceraikan enam bulan lalu, Azura kembali ke rumah ibunya. Mereka tinggal berempat. Azura, Naziha, ibunya, dan Azka anaknya yang baru berusia tiga tahun.

Perceraian orangtua dan kakak Naziha menjadi pelajaran besar bagi gadis itu, ditambah dengan kisah patah hatinya yang tak kalah pilu membuatnya enggan memikirkan perihal cinta, menikah dan berumahtangga.

Rasanya, ia sudah tidak sanggup lagi jika harus berurusan dengan masalah yang sama. Jatuh cinta, berpisah, menikah, bertengkar, bercerai, bertengkar lagi, berulang kali, sampai tua, sangat mengerikan.

Cinta dan menikah adalah dua hal yang dengan sungguh telah ia hapus dari kamus hidupnya. Keduanya tidak menjanjikan apapun.

Perihal masa tua yang mungkin saja akan dilewati dengan rasa kesepian, nelangsa, tidak bisa menjadi alasan untuk jatuh cinta dan menikah. Toh, tidak ada garansi kita akan menua bersama dalam keluarga yg harmonis penuh cinta.

Menua dalam kesendirian  mungkin melahirkan rasa kesepian, namun bisa saja lebih tenang.

Saat ini, ia hanya perlu bekerja, membahagiakan ibu, Azura dan Azka, menabung untuk masa tuanya nanti, dan mungkin saat sudah berusia kepala tiga, ka akan mulai mencari di mana panti jompo dengan fasilitas perawatan yang mumpuni. Selesai. Sesimpel itu. Tidak ada drama perebutan kewajiban merawat orangtua, dll.

Naziha terjaga saat dering gawainya memanggil-manggil untuk segera direspons.

"Halo, dengan siapa ini?" tanya Naziha tanpa mau repot-repot melihat nama yang tertera pada layar gawainya.

"Hai ...."

Mendengar suara dari si penelepon, mata Naziha seketika terbuka lebar, dengan jari yang sedikit gemetar, ia mematikan sambungan telepon tersebut. Ia merutuk setelah melihat nama yang tertera.

Rasa kantuk dan lelah yang tadinya ia rasakan, menguap tak bersisa.

Ya Rabb, ujian apalagi ini?

Naziha, mengusap wajahnya dengan perasaan gusar. Sungguh hari yang melelahkan dan penuh ujian.




Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang