Seperti malam-malam sebelumnya, hiruk pikuk kota tidak pernah lupa dengan semangat cahayanya yang bersinar di setiap sudut. Kendaraan saling susul menyusul di hamparan aspal yang terbentang luas nan jauh, menciptakan kebisingan yang tak pernah hirap.
Jauh di atas pegunungan sana, terdapat seorang pemuda yang menepi dari polusi untuk sejenak. Ia menatap tempat tinggalnya yang begitu padat dari kejauhan, dan menyaksikan gemerlap cahaya yang selama ini menjadi tipu daya keindahan kota yang sesak.
"Rokoknya atuh, Kang."
"Oh iya sok, Kang, mangga."
Sejenak ia kembali menatap pada keramaian itu sebelum ia memejamkan matanya dengan helaan napas yang terdengar.
"Kangen gak, Kang?"
Mata yang terpejam itu kembali terbuka dan menatap seorang pemuda yang lain yang duduk di sampingnya dengan kepulan-kepulan asap rokok yang keluar dari mulutnya.
"Ah, jangan ditanya itu mah, Kang. Banget."
Seketika keduanya pun tertawa memecah keheningan di warung kopi yang kebetulan tengah sepi pada saat itu.
"Cari lagi aja, Kang. Biar ada yang nemenin lagi kalo ke sini."
Pemuda itu hanya membalasnya dengan senyum kecilnya. Setelah itu ia pun meneguk habis sisa kopi hitamnya dan beranjak dari duduknya.
"Kembaliannya ambil aja, Kang," ucapnya sembari ia meletakkan selembar uang di atas toples permen.
"Aduh, hatur nuhun. Tumben banget buru-buru kaya gitu. Kalem aja atuh, Kang, masih jam 7."
"Ah, iya, kebetulan saya ada rundingan sama menteri dari kerajaan semut, Kang," jawabnya asal sembari ia kembali memakai helm miliknya.
"Oh iya atuh sok lanjut, kadé di jalan na."
Waktu yang diperlukan untuk ia pulang ke rumah adalah sekitar 2 jam lamanya. Karena saat ini ia hanya pergi sendiri, jadi ia pun memutuskan untuk tidak terlalu malam berada di sana. Bukan apa-apa, hanya saja terlalu berbahaya jika sampai ia berkendara sendirian di tengah malam seperti itu, karena jalanan yang ia lewati benar-benar sepi dan gelap.
Waktu telah menunjukkan pukul 5 pagi. Seorang gadis terbangun dari tidurnya setelah ia mencium aroma nasi goreng kampung yang berasal dari dapur.
Dengan mata yang masih terasa berat, iapun bangkit dari posisi tidurnya dan pergi menghampiri dari mana aroma itu berasal.
"Udah bangun, Néng?" sapa sang ibu yang saat itu tengah sibuk berkutik dengan wajan tuanya.
"Nyium aroma masakan Ibu," balasnya sembari ia menuangkan segelas air putih yang hendak ia minum. "Ini kan masih jam 5, Bu. Kenapa Ibu bikin nasi goreng sepagi ini?"
"A Aden mau pergi pagi-pagi banget, mau ada observasi ke tempat yang jauh katanya." Si bungsu hanya menanggapinya dengan anggukan kecilnya. "Oh, iya. Néng masuk jam berapa hari ini?"
"Jam 9 pagi sih, Bu. Kenapa?"
"A Aden kan mau pergi, jadi gak pa-pa, kan, kalo misalnya kamu ikut pagian juga berangkatnya? Biar tetep ada yang anterin."
"Gak usah sama Aa juga Néng mah bisa atuh, Bu. Tinggal aja naik angkot, banyak di jalan gé."
Si gadis sedikit menyanggul rambut panjangnya dan kembali bangkit dari duduknya. Gelas yang telah ia pakai tadi pun tak lupa dicucinya karena ia tidak mau mengotori wadah sepagi ini setelah sang ibu baru saja selesai mencuci semuanya.
"Berangkat sama a Ari aja atuh, ya? Nanti biar Ibu yang ngomong sama a Ari nya."
Hening, si bungsu mengabaikan ibunya yang masih berada di dapur. Ia kembali masuk ke dalam kamar dan berniat untuk melanjutkan tidurnya meski hanya untuk 1 jam saja.
Sementara itu di lain tempat, terdapat seorang pemuda yang sengaja berkendara di pedesaan yang masih berkabut. Entah sejak pukul berapa ia pergi meninggalkan rumah, yang jelas ia sudah pergi di saat hari masih begitu gelap.
Perlahan demi perlahan mentari pun menampakkan dirinya, gantari Bumi Pasundan yang katanya terlahir ketika Tuhan sedang tersenyum.
Embun suci yang bersemayam di dedaunan pohon Albasia pun tak henti-hentinya menghujani paras tampannya, paras tampan berbibir indah yang tak pernah lagi tersenyum dengan luas seusai pamitnya si cinta pertama untuk selamanya.
Ibu nitip bapak sareng Rayi nya, Ka? Sing ridho kanu jadi milik. Urang teu bisa walakaya da mereun tos jadi milik Ibu, milik bapak, milik Raka, sareng milik Rayi ti Gusti Allah.
Kalimat itu adalah yang terakhir kali ia dengar dari bibir manis si cinta pertamanya di dunia, dan kalimat itu jugalah yang bisa membuatnya menangis sewaktu-waktu ketika ia perlu.
Raka adalah sosok yang kuat, tetapi ia juga sosok yang perindu, jadi karena alasan itulah ia pergi ke arah selatan kota Bandung se pagi ini. Ia hanya ingin bertemu dengan sang ibu meski hanya bisa menatap nisan dengan epitaf nya saja di sana untuk mengobati rasa rindu.
Perjalanannya yang cukup memakan waktu itu sama sekali tak sia-sia ia tempuh, dan kini ia telah sampai di sebuah pemakaman yang terletak di sebuah desa yang berada di Kabupaten Bandung, tepatnya di sebelah selatan Kota Kembang.
Dengan senyuman yang mengandung banyak kerinduan, ia mengucap salam dan mengecup singkat batu nisan yang berada di hadapannya.
Setangkai bunga mawar merah yang ia bawa dari kota pun diletakkannya di atas makam sang ibu.
"Raka bawa bunga ini dari kota, Bu, tapi Raka gak beli di toko bunga yang suka ibu kunjungin dulu, udah gak ada soalnya, sekarang tokonya udah dibeli sama China. Kalo ibu mau tau, sekarang toko bunganya udah berubah jadi restoran daging babi."
Raka menghela napas ringan sebelum ia terkekeh pelan setelah terlintas sesuatu di dalam pikirannya.
"Wanginya enak banget, Bu, suka kecium soalnya tiap kali Raka lewat sana. Kadang Raka mikir kaya pengen nyobain, tapi Raka suka langsung istighfar soalnya haram kan ya, Bu? Gak boleh. Yang boleh itu cuma kangen Ibu aja sama usilin Rayi, sama lupain Nilam juga."
Tebak-tebakan, ah. Menurut kalian, Nilam itu siapa? Bentar, jangan keluar dulu. Hari ini mau update 2 chapter, nih.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARKAIS
FanfictionJika berbicara tentang luka, bukankah seisi dunia pun tau jika luka adalah sosok yang sangat tidak menyenangkan? Tidak ada yang ingin memeluknya, seharusnya. Namun, bagaimana jika pada kenyataannya ada seseorang yang begitu menggenggam erat luka mas...