Lini memeluk tubuhnya dari udara dingin sore hari. Di sini ia berdiri, di sebuah koridor panjang yang kian menggelap karena senja yang perlahan hirap.
Sore itu Bandung diguyur oleh hujan badai yang sangat deras. Si gadis sangat ingin pulang, tetapi dia juga tak ingin bodoh dengan cara menembus badai itu dengan tangan kosong.
Seharusnya Lini telah berada di rumah sejak 3 jam yang lalu, hanya saja ia tak langsung pulang setelah selesai kelas. Si gadis sengaja menyibukkan dirinya di perpustakaan kampus untuk membaca buku dan novel, dan sekarang ia menyesal karena tak langsung pulang tadi siang.
"Aa mau anterin ibu ke Pangalengan, jadi nanti kamu pulang sendiri dulu aja, ya?"
Ia semakin kesal setelah mengingat ucapan terakhir dari sang kakak di telepon tadi siang. Hari ini ia pulang terlambat, selain itu ia pun harus menaiki angkutan umum di tengah-tengah hujan badai seperti ini.
"Terobos aja kali, ya? Tapi ahhh … basah pisan entar."
"Mending ke kantin dulu sama saya, kita neduh di sana sambil nunggu hujannya reda."
"Kang Aka?"
Raka tersenyum sembari ia sedikit membenarkan posisi ranselnya yang terkait di sebelah bahu lebarnya.
"Belum pulang?" tanya Lini berbasa-basi.
"Belum, saya abis ada UKM. Gimana? Mau, gak? Wedang bi Inah enak kalo dinikmatin pas lagi hujan kaya gini."
Si gadis terdiam sejenak seakan ia tengah mempertimbangkan ajakan tersebut. Namun, sepertinya Raka sangat tidak sabaran, ia menarik lengan si gadis tanpa mau menunggu jawaban darinya lebih dulu.
"Jangan banyak mikir, emangnya kamu mau diem di koridor sendiri?"
Lini sama sekali tidak melakukan penolakan, ia mengikuti langkah Raka dari belakang karena setelah dipikir-pikir memang sebaiknya ia ikut saja daripada melamun dan menatap tetesan air hujan sendirian.
"Bi, wedang jahe 2 sama kacang rebus nya 1 satu porsi, ya."
Setelah Raka memesankan pesanan mereka, ia pun menyusul Lini yang sudah lebih dulu memilih meja dan kursi.
"Kamu sendiri, kenapa belum pulang?" tanyanya seusai mereka duduk berhadapan.
"Keasikan baca buku di perpustakaan."
"Baca buku politik lagi?"
Lini menggeleng pelan sebelum ia mengatakan, "Aku gak tertarik sama politik, waktu itu cuma pencitraan aja asal ambil."
Raka terkekeh kecil mendengarnya. Gadis itu benar-benar acuh dan tak peduli, sehingga ia mampu mengatakan segala sesuatu tanpa beban terhadapnya.
"Maaf ya udah ganggu makan siang kamu tadi. Kamu jadi pergi, padahal makanan kamu belum abis."
"Gak papa, Kang. Santai aja."
"Ini wedang jahenya ya Téh, A." Percakapan mereka harus terhenti ketika ada seorang gadis yang mengantarkan wedang jahe juga kacang rebus yang telah dipesankan oleh Raka sebelumnya.
"Makasih ya, Néng," balas Raka dengan ramahnya sembari ia membantu menata minuman tersebut di atas meja. "Kamu anaknya bi Inah, ya? Saya baru liat."
"Iya, A. Aku anak bungsunya ibu," balasnya sembari ia memeluk nampan yang telah kosong di tangannya.
"Masih sekolah? Kelas berapa?"
"Baru kelas 11, A."
"Oh, gitu? Ya udah, semangat ya sekolahnya."
"Iya, A. Terima kasih."
Setelah putri bungsu dari ibu kantin itu pergi, Raka pun kembali berfokus kepada Lini.
"Ayo diminum," ajaknya sembari ia mengangkat gelas wedang jahe miliknya.
"Masih panas, Kang. Coba aja kalo Akang mau mulutnya kebakar."
Benar juga. Raka pun kembali meletakkan gelas berisi wedang jahe itu dan menautkan kesepuluh jarinya di hadapan wajahnya sembari ia memperhatikan wajah cantik si gadis dengan detail.
"Pitaloka Lini Kusumaputri."
Lini yang merasa nama lengkapnya disebut oleh seseorang yang berada di hadapannya kini pun menatap balik dengan tatapan yang sarat akan pertanyaan.
"Di antara 3 nama yang indah itu, kenapa nama Lini yang dipilih dan dijadiin panggilan sayang?"
Lini sejenak melarikan pandangannya dan menatap pada tetesan air hujan yang turun dari langit. Ia begitu betah memandanginya, tetesan demi tetesan yang menetes pada genangan air di permukaan tanah itu menciptakan beriak kecil namun tajam.
"Lini itu kuat, kata bapak. Mungkin itu memang sebuah kata yang sederhana, tapi do'a yang terkandung di dalamnya itu luar biasa hebatnya. Gak ada alasan yang harus dijelaskan jika itu tentang do'a dari orang tua, Kang."
Raka bersidekap dan mengangguk kecil, tetapi setelah itu perhatiannya kembali terenggut setelah ia melihat si gadis tersenyum untuk pertama kalinya. Itu sangat manis, Lini memiliki senyuman yang sangat manis, dan Raka sangat terpikat dengan satu hal yang manis itu.
Mengapa begitu mahal? Apa yang baru saja ia bayarkan sehingga ia baru mampu menikmati keindahan dari lengkungan itu?
Sepertinya ia akan menjadi seekor semut saat ini. Ya, seekor semut yang begitu terobsesi dengan gula. Mungkin ini memang berlebihan, tetapi … ayolah! Jangan menyepelekan, bagaimana ia tidak senang? Sikap dingin si gadis sempat menghilang meski hanya beberapa detik saja.
"Dari mana Akang tau nama lengkap aku?"
Raka kian menggeser wedang jahenya agar ia bisa melipat kedua tangannya di atas meja.
"Dari Ari," balasnya.
"Lagi? Kenapa a Ari ngomongin aku?"
"Dia bukan ngomongin, tapi ngejawab. Dia ngejawab apa yang saya tanyakan tentang kamu."
"Lah, terus kenapa Akang nanyain tentang aku sama a Ari?"
"Nanti ya malam. Saya mau mikirin dulu jawabannya apa."
UDAH YA LUNAS BUAT MINGGU INI!!! SAMPE KETEMU SENIN DEPAN SAMA ARKAIS!!! SEE U BABAIII!!!👋😗
KAMU SEDANG MEMBACA
ARKAIS
FanfictionJika berbicara tentang luka, bukankah seisi dunia pun tau jika luka adalah sosok yang sangat tidak menyenangkan? Tidak ada yang ingin memeluknya, seharusnya. Namun, bagaimana jika pada kenyataannya ada seseorang yang begitu menggenggam erat luka mas...