Siang itu Lini nampak tengah menyibukkan dirinya di perpustakaan kampus. Sengaja, ia hanya sedang ingin berpura-pura menjadi si kutu buku yang pintar saja, padahal kenyataannya ia lari ke tempat ini adalah untuk sekedar berteduh sembari menunggu jam mata kuliah selanjutnya.
Sedari tadi tidak ada yang benar-benar serius ia lakukan. Ia hanya membuka lembaran demi lembaran buku tanpa membacanya dan hanya memperhatikan sampul-sampulnya saja dengan penuh rasa bosan.
"Heran banget, kok ada ya orang-orang yang suka ngabisin waktunya di perpustakaan? Aku aja baru bentar udah bosen banget," monolognya yang sayangnya berhasil didengar oleh seseorang di sana.
"Itu namanya kebiasaan."
Lini membalikkan tubuhnya setelah ia mendengar suara itu di belakangnya. Setelah ia bertemu pandang dengan orang tersebut, Lini pun sedikit menyandarkan tubuhnya ke rak buku yang ada di belakangnya.
"Sama kaya kamu yang biasa ngabisin waktu di kamar seharian."
"Ih, sok tau banget," cibir Lini dengan suara pelannya. Namun, sayangnya suaranya itu masih dapat didengar oleh Raka.
"Ari yang bilang," imbuhnya sembari ia kembali menaruh buku yang sempat ia baca.
"Kenapa a Ari ngomongin aku?" sewot si gadis.
"Bukan ngomongin, tapi ngejawab. Dia ngejawab apa yang saya tanyakan tentang kamu."
"Lah, terus kenapa Akang nanyain tentang aku sama a Ari?"
Raka tersenyum teduh dan sedikit membenarkan posisi ranselnya yang terkait di sebelah bahunya. "Nanti saya jawab, sekarang saya mau ke kantin. Mau ikut?"
"Enggak, saya mau di sini aja. Baca buku." Lini mengambil salah satu buku tentang politik dan berpura-pura membacanya di hadapan Raka.
"Kamu tau, gak, siapa nama menteri pendidikan saat ini?"
Dengan acuhnya Lini menjawab, "Yang pasti bukan bapak saya."
Raka sedikit terkekeh mendengarnya. Lini terlihat seperti tidak tertarik berbicara dengannya. Tetapi tidak mengapa, justru ia menyukai seorang gadis seperti nya, seorang gadis yang cuek.
"Bapak Mohammad Nuh, tolong ingat itu, ya. Malu, dong, kamu mahasiswa tapi tidak tahu siapa nama menteri pendidikannya." Lini hanya menatap sekilas kepada Raka sebelum ia kembali berfokus pada bukunya.
"Politik itu dianjurkan, bahkan sifatnya bisa berubah menjadi wajib. Tapi kamu tau, gak, apa yang diharamkan?"
Kali ini si gadis menanggapinya dengan sedikit decakan sebal, bahkan ia pun memberikan tatapan nyalangnya terhadap Raka.
"Gak tau, saya bukan anak FISIPOL. Yang haram mah makan daging babi, sama gangguin orang yang lagi baca buku."
Lagi-lagi Raka dibuat tersenyum dengan jawaban cuek dari Lini, lalu setelah itu iapun sedikit mendekat dan mengambil sebuah buku yang katanya tengah 'dibaca' oleh gadis tersebut.
"Hebat ya kamu, bisa baca buku yang kebalik," ujarnya yang membuat Lini sedikit memalingkan wajahnya karena malu. Bisa-bisanya ia sama sekali tidak menyadari jika sedari tadi buku yang dipegangnya itu berada di posisi yang terbalik.
"Ya udah, sih. Ngapain masih di sini? Tadi katanya mau ke kantin," ketus si gadis sembari ia merebut kembali buku politik itu dari tangan Raka.
"Saya nungguin kamu ikut," balasnya.
"Saya gak mau ikut, kok. Silakan saja Akang pergi sendiri."
"Tapi saya dengar di kantin ada menu baru hari ini. Yakin gak mau nyobain?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ARKAIS
FanfictionJika berbicara tentang luka, bukankah seisi dunia pun tau jika luka adalah sosok yang sangat tidak menyenangkan? Tidak ada yang ingin memeluknya, seharusnya. Namun, bagaimana jika pada kenyataannya ada seseorang yang begitu menggenggam erat luka mas...