06. Pesan Pertama

10 3 0
                                    

Malam itu Raka tengah mengerjakan tugasnya di ruang tengah. Dengan pencahayaan yang tak terlalu terang, ia duduk menyendiri di kursi tua dengan segala fokusnya.

Keadaan rumah begitu sepi karena sang ayah tengah bermain papan catur di poskamling pada saat itu. Seharusnya ada sang adik di sini, tetapi entahlah, Raka pun tidak mengetahui keberadaannya di mana sekarang.

Dulu sebelum ibunya meninggal, ruang tengah itu akan terasa hangat karena mereka selalu berkumpul di sana setiap malam untuk menonton televisi. Namun, setelah sang ibu tiada, Raka pun begitu menyadari jika ia bersama ayah dan juga adiknya itu sama sekali tidak pernah lagi melakukan hal yang sama. Kini semuanya lebih sibuk pada kegiatannya masing-masing.

'kriet'

Raka sama sekali tidak menoleh pada pintu tua yang tiba-tiba terbuka. Ia yakin, jika itu bukan ayahnya maka itu adalah adiknya yang pulang.

Ia berniat untuk tidak peduli, tapi setelah ia sedikit menangkap jika itu adalah sepasang kaki yang masih memakai seragam sekolah, Raka pun mengangkat pandangannya.

"Baru pul-"

Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, ia sudah lebih dulu terkejut dengan apa yang baru saja ia liat.

"Ayi?"

Buru-buru iapun bangkit dari duduknya dan menghampiri si bungsu yang tengah menurunkan pandangannya.

"Kunaon? Ha?" Raka menyentuh bahu adiknya itu dan mencoba untuk mengangkat wajahnya yang tertunduk.

"Ku saha ieu?"

Rayi menyingkirkan tangan si sulung yang menyentuhnya dan berlalu tanpa bersuara. Raka yang melihat itupun tak ingin tinggal diam, ia membuntuti sang adik dari belakang hingga ke dalam kamarnya.

"Ayi,"

"Naon sih, A?! Kaya sendirinya gak pernah berantem aja," ketus Rayi pada akhirnya setelah ia muak dengan kakaknya tersebut. Mendengar sang adik sedikit meninggikan suaranya terhadapnya, Raka pun mulai tersulut emosi.

"Tapi da aing mah teu nepi babak belur jiga sia! Meunang teu éta téh?"

Rayi membalikkan tubuhnya dengan kesal. Tanpa sedikitpun ingin membalas ucapan dari sang kakak yang mulai emosi terhadapnya, Rayi melepaskan seragam sekolahnya dengan penuh amarah di dalam hatinya.

Raka masih berada di sana dan bersandar pada pintu kamar si bungsu. Dengan kedua tangan yang ia lipat di dada, tatapannya masih terus tertancap pada adiknya yang pulang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Entah pertengkaran hebat apa yang telah dilaluinya sehingga ia harus pulang dalam kondisi seperti itu.

"Jangan nunjukin itu ke si bapak! Makin dihajar kamu yang ada." Raka kemudian berlalu dari sana dan kembali ke ruang tengah untuk menyambung tugasnya. "Sok berantem, tapi jangan kalah! Sekiranya bakal kalah, jangan berantem! Malu-maluin."

Setelah itu Raka pun mengemasi alat tulisnya. Entahlah, semangat belajarnya seketika hilang setelah ia mendapati adiknya pulang dalam keadaan seperti itu.

Ia menyimpan alat tulisnya ke kamar dan mengambilkan obat merah setelahnya untuk mengobati adiknya tersebut.

"Sini! Obatin dulu lukanya," ucapnya sembari ia mendudukkan dirinya di samping si bungsu. Namun, sayangnya hal itu malah ditolak oleh si bungsu, dan itu berhasil membuatnya semakin kesal saja rasanya.

"Mau diobatin sama si bapak aja?"

Mendengar itu Rayi pun menciut, tentu saja ia tidak mau. Sang ayah begitu galak, jadi ia tidak ingin jika sampai ayahnya mengetahui hal ini. Yang ada mungkin lukanya akan dibuat lebih parah, bukan diobati jika sampai ayahnya tau.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ARKAISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang