Artha Dengan Versi yang Baru

17 3 0
                                    

Hai, selamat membaca.

Tandai typo!

****

Minggu baru telah dimulai. Hari ini SMA Pribumi baru saja selesai melangsungkan upacara rutinan setiap hari Senin. Semua murid berbondong-bondong memasuki kelas. Ada tiga hal yang paling menyebalkan ketika upacara. Pertama, kepanasan. Kedua, kedua kaki pegel, dan ketiga, gerah yang sangat luar biasa.

Seperti kelas XI IPA 2 sekarang, yang sudah ramai dengan teriakan beberapa siswa. Semua murid di kelas itu sibuk dengan masalahnya masing-masing. Salah satunya seperti Rendy dengan masalah tidurnya. Setelah memasuki kelas, cowok itu melempar topi OSIS-nya asal, membuka satu kancing bajunya, lalu merebahkan tubuhnya di lantai begitu saja. Di belakang kelas, dibawah kipas yang menempel ditembok, begitu nyaman dan sejuk.

Lalu ada Tasya yang sibuk dengan bedaknya. Karena efek kepanasan, bedaknya itu sedikit luntur, menyebabkan gadis itu misuh-misuh menyalahkan panas.

Kemudian ada Shanda—salah satu penghuni sebelas IPA dua— yang sedang ribut dengan teman piketnya. Lantaran kelas masih kotor namun waktu sudah menunjukkan pukul 08.00

"Woy, piket! Rendy!" Gadis itu menghampiri Rendy yang mungkin sudah berada dalam alam mimpi. Dia menyapu wajah Rendy dengan sapu. "Bangun!"

Sontak Rendy bangun lalu mengusap seluruh wajahnya. Hidungnya terasa gatal. "Gimana sih lo? Orang lagi tidur disapu!"

"Ya salah lo, piket makanya!"

"Yang piket bukan gue doang—"

"Riyan udah buang sampah, Desti nggak berangkat, Sholihin udah ngapus papan tulis, Eja nggak tau kemana. Gue nyapu, berarti lo harus ngepel. Cepet!" Shanda menyeret Rendy yang masih terduduk itu.

"Iya-iya." Meski terpaksa, cowok itu mengambil pel kemudian pergi keluar untuk mencucinya.

Tepat ketika Rendy samapi di depan pintu kelas, terdapat Anin dan Artha yang berjalan bersama. Hal itu mampu membuat Rendy kaget setengah mati. Matanya tidak salah lihat, kan?

Cowok itu mematung di tempat. Sementara Anin dan Artha berdiri di depannya. Artha menjentikkan jarinya di depan wajah Rendy. "Kedip."

"Nggak salah lihat gue...?"

"Mata lo nggak minus, kan? berarti nggak salah lihat." Artha melihat pel ditangan Rendy. "Udah sana... piket, kan, lo." Artha mendorong bahu Rendy pelan untuk segera pergi dari sana.

Setelah punggung Rendy sudah tidak terlihat, Anin mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Ini, utang gue udah lunas," kata Anin menyodorkan beberapa lembar uang.

"Ngasihnya pakai senyuman, baru gue terima," balas Artha.

"Terima aja, sih. Gue senyum apa nggak uangnya juga nggak nambah, nggak ngaruh."

Artha menggelengkan kepalanya. "Ngaruh. Ngaruh banget malah."

Anin mengangkat satu alisnya. "Ngaruh dimananya?"

"Di hati mungil gue," jawabnya tersenyum.

Tepat dugaannya, gadis itu salah tingkah sekarang. Pipinya sedikit memerah.

Anin menggelengkan kepalanya pelan, kemudian sedikit tersenyum. "Ini."

Artha menerima uang itu seraya memegang dadanya. "Aduh jantung gue..."

"Alay. Gombalan lo nggak mempan di gue." Anin menjulurkan lidahnya lalu memasuki kelas.

Masih ditempat yang sama, senyuman kecil tampak di bibir Artha. Cowok itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia menatap lembaran uang ditangannya. Sekilas senyum kecil Anin terlibat dalam ingatannya. Bodoh. Dia tidak boleh berlebihan menanggapi balasan Anin.  Cowok itu memukul kepalanya pelan lalu pergi dari sana menuju kelasnya.

JANUARTHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang