Orang Baik Senyumnya Jangan Hilang, ya?

8 0 0
                                    

Rasanya waktu semakin cepat berlalu. Sudah terhitung lima hari setelah kepergian Ibu Anin, dan lima hari juga Anin tidak masuk sekolah. Hari ini, dia berinisiatif untuk kembali pergi kerumahnya. Setiap hari Artha selalu ke rumah kekasihnya, namun dia hanya dihadapkan oleh pembantu rumah yang terus mengusirnya untuk pulang. Nomor Anin juga sangat sulit untuk dihubungi. Entah karena tidak ingin diganggu, atau dia menghindarinya?

Artha membuang pikiran itu jauh-jauh. Dia segera melajukan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata.

Dengan membawa sesuatu ditangan kirinya, Artha menatap rumah yang cukup megah namun terlihat sangat sepi itu. Jika lewat pintu depan, pastinya dirinya akan diusir kembali oleh pembantu itu. Maka dengan memanfaatkan kecerdasan di otaknya, Artha memanjat pohon mangga disebelah rumah Anin. Namun ketinggian pohon itu tak bisa menggapai jendela kamar Anin yang terlalu tinggi. Sekarang, otaknya kembali kehilangan akal. Cowok itu hanya mampu menatap jendela kamar gadisnya, berharap agar dia memperlihatkan wujudnya.

Sepertinya doa Artha terkabul. Kali ini semesta memihaknya. Anin tiba-tiba memunculkan kepalanya di jendela. Menatap hamparan perumahan disekitarnya dengan tatapan kosong. Artha bersorak gembira dalam hati. Dia merapikan rambutnya lalu berdehem sebentar.

"Sstt.. Anin..."

Sebuah kerutan muncul pada kening Anin. Merasa ada yang memanggil namanya, Anin mencari sumber suara itu. Telinganya pasti tidak salah dengar kan? Sampai matanya menemukan penampakan, seorang laki-laki yang masih mengenakan seragam bergelantungan di pohon mangga miliknya dengan senyum yang merekah. Laki-laki itu melambai padanya. Sedikit terkejut dengan tingkah laku orang yang belum lama menjadi kekasihnya itu.

"Halo?"

"Ngapain lo disitu?" Suara serak Anin menelisik gendang telinga Artha. Senang sekali rasanya mendengar suara merdu itu setelah beberapa hari dia tidak mendengarnya.

"Mau ketemu sama gadisku." Tanpa sadar bibir Anin terangkat tipis. Jantungnya berdegup cukup cepat. Pipinya memanas dengan sendirinya. Ahh sepertinya dia rindu pada segala perilaku kekasihnya. Artha tentu melihat itu, dia terkekeh pelan saat melihat wajah bersemu Anin.

Anin segera menetralkan ekspresinya. "Turun," titah Anin.

"Nggak mau, nanti nggak bisa lihat lo."

Anin berdecak kesal. Selama lima hari dia belum tenang, sekarang malah ditambah berisik karena ada Artha yang selalu mengganggunya. Masalahnya, tingkah Artha selalu mampu memporak-porandakan tatanan hati Anin. Tidak bagus untuk kesehatan jantungnya juga.

"Di sana banyak uletnya, nanti badan lo gatelen."

"Asal bisa liat lo terus, nggak papa kalau badan gue harus gatel-gatel." Artha kembali memamerkan senyum manisnya.

"Turun, pulang sana."

Artha menggelengkan kepalanya. "Lo yang turun ke sini, gue kangen. Kenapa lo nggak bisa dihubungi? Ada masalah apa? Lo nggak mau cerita sama pacar sendiri? Kapan berangkat sekolahnya?"

Bukan menjawab, Anin hanya berdiam diri didekat jendela sana. Menghiraukan berbagai pertanyaan yang kekasihnya ucapkan.

"Selama lima hari terakhir gue selalu ke rumah lo, tapi ujung-ujungnya gue mesti diusir sama pembantu sialan itu. Kenapa lo nggak mau nemuin gue? Gue punya salah, ya?" Artha memiringkan kepalanya menunggu jawaban Anin.

"Lo nggak ada salah."

"Ya makanya sini, turun dari kamar lo. Loncat," ucap Artha.

"Nggak mau, nanti tulang kaki gue patah. Sana, lo aja yang turun, pulang."

"Aaa gue nggak mau pulang sebelum ketemu sama lo," rengek Artha.

"Ini sudah ketemu, kan?"

"Mau adepan langsung. Kalau nggak, gue bakal disini terus."

JANUARTHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang