Bab 34. Hari Pernikahan

105 8 3
                                    

"Ha ... ha ... ha. Kamu nanya saya kayak begituan, terus saya nanya sama siapa? Saya an blum ada pengalaman," tutur Zaki di sela tawanya yang menyeruak.

Bukannya peramsalahan selesai, Ahmad malah tambah malu dan gugup. Jujur sih, untuk masalah halalin anak orang, Ahmad butuh mental baja.

Benar sih! Ahmad orangnya enjoy jika dengan wanita. Tapi, untuk Ayra? Ah rasanya gimana gitu? Dia beda!

****

Muhammad Zaki Khoirullah. Lelaki berjambang dua centimeter itu tengah memandang jendela pesawat di sampingnya.

Burung-burung berterbangan saling berkelompok, mewarnai suasana langit yang tiba-tiba mencekam, sepertinya akan turun hujan.

Sama seperti hati lelaki muda itu, mendung.
Rasa yang sudah lama ia simpan, kini mencuat begitu saja ke permukaan dinding-dinding besi yang telah dibangun oleh Zaki. Ia tak mau terjerat tipu daya syaitan. Ia tak mau menodau kemurnian gadis yang ia senangi, sungguh! Ah, semuanya terasa sulit. Antra Zaki, dan gadis itu, juga dengan dunia yang lebarnnya kini sudah menciut, seperti daun kelor.

"Ah, tidak mungkin! Dia kan, ada di kudus," pikirnya. Kala mengingat beberapa waktu lalu pertemuannya dengan seorang gadis di desa tetangga karena meminta bantuan air.

***

Suasana pesantren Darul Faruq sangat berbeda dari biasanya, para santri putra dan putri sama dengan tengah menyiapkan acara untuk menyambut kedatangan Gus Zaki dan Ahmad dari Jambi.

Sementara Ayra dan Ummi Fathimah tebgah menyiapkan makanan di ndalem. Ayra yang jarang sekali membantu umminya di dapur, kini entah mengapa mau membantu mengupas bawang putih dan memotongnya kecil-kecil, juga mengelap piring bersama dengan Sahla dan beberapa khodimah lain.

"Cie .. yang bentar lagi mau menikah!" gida Sahla.

"Ih, emang kamu enggak mau nikah juga?" elak Ayra tersenyum sinis.

Tak lama terdengar decitan ban mobil di area ndalem, sontak kemudian disusul dengan suara tabuhan rebanadan sholawat yang terdengar jelas di ndalem Kyai Aziz.

"Ummi ... Ummi ... Kak Zaki sudah datang," teria Faya, pada Ummi-nya, Bibi Farah.

Ummi Fathimah tersenyum, berbeda dengan Ayra yang kini entah mengapa jantungnya seakan jatuh di dasar perutnya. Kakinya sepertinya ingin lepas ladas saja, kepalanya menengok ke arah intu dan balkon atas.

Ia menoleh ke arah Umminya. Seakan paham dengan apa yang dipikirkan anaknya, Ummi Fathimah mengangguk pelan, dan seketika itu Ayra menarik pergelangan tangan Sahla untuk ke arah balko lntai ats, kamarnya.

Tampak dengan sangat jelas penyambutan kedatangan kakak sulungnya bersama calon imamnya. Mereka berdua disambut dengan sanngat meriah, senyum lebar terukir di wajah mungil gadis yang belum genap usia 18 tahun itu.

Rasa bahagia menyeruak begitu saja, di dalam hatinya. Apa ini yang dinamakan cinta?  Apa ini yang disebut rasa rindu? Oh bahagianya yang akan bertemu dengan calon kekasih halalnya.

Ayra sontak menarik badannya ke belakang, saat pandangan matanya tak sengaja bertemu tatap dengan Ahmad, calon imamnya. Rasanya pipinya seperti terbakar.

***
Ayra Pov-

Aku tidak tahu, kalau semua ini berjalan sangat cepat. Takdir Allah memang tidak ada yang bisa  menebak. Kini aku, Humayra Binti Kyai H. Abdul Aziz Dahlan tengah duduk cantik di depan meja rias yang baru tadai malam dibelikan olah Abah.

Seorng yang tak kukenal sejak dari tadi masih sibuk merias wajahku dengan berbagai jenis make-up. Kulihat pantulan wajah ku di cermin, orang itu membumbukan semua hal yang ada di dalam tas riasnya ke wajah ku, bahkan aku sudah tak mengenali lagi wajah yang terpantul dari cermin. 

Seseorang memasuki kamar, tanpa kusadari. Menyentuh elan pundak ku, "Ummi?"

"Ummi masih tidak menyangka kalau kamu sudah dewasa, sudah akan membina rumah tangga," ucap Ummi yang dduk di pinggiran ranjangku yang sudah dihias seindah mungkin. Bahkan di tengah ranjang sudah ada taburan bungah mawar yang dibentuk menjadi bentuk hati.

Aku mencium tangan Ummi. "Ummi, aku minta restunya yah. Doain supaya aku bisa jadi sitri yang Sholihah," ucapku.

Kulihat Ummi menghapus bekas air mata di wajahnya dengan cepat. "Ummi selalu mendoakan mu, Nak." Ummi, suaranya bahkan bergetar menyampaikan balasan atas ucapanku.

Jujur aku ingin ikut menangis, tapi Ummi jelas akan memarahiku jika hal itu terjadi karena wajahku sudah dirias untuk acara di hari ini.

Pandangan mataku dan Ummi beralih, saat ada seseorang yang membuak pintu kamar. Ummi beranjak  untuk keluar dari kamar, membiarkan kak Sarah masuk ke dalam kamar, memberikan waktu untuk dua anak perempuannya.

"Aduh adeknya, Mbak cantik banget sih," ucap Kak Sarah.

Buknnya malu atau senang, Ayra malah mendengus. 

Lagipula Kak Sarah ini memuji atau mengejek sih? Sudah jelas sekali bahwa dia yang lebih cantik dari ku," gerutu Ayra dalam hatinya.

"Ayo keluar, sudah siap, kan?" ajak Kak Sarah.

"Mau ke mana?"

"Hey kamu tak mau kan meewatkan detik-detik nama kamu diucap dalam akad pernikahan yang diucapkan calon suami mu itu, kan?" tanya Kka Sarah.

Masih tak paham dengan apa yang dibicarakan ka Sarah. "memang kita boleh ke aula, Kak?"

"Aduh, Dek. Siapa yang ngajak kamu ke sana? Orang di ruang tamu depan sudah dipasang layar sambungan acar di aula pesantren. Sudah ayo ke sana, Sahla sudah ada di sana, nanti keburu acaranya selelsai yang ada kamu menyesal seumur hidup." Kak Sarah segera menarik lengan ku, sebelum aku memahami ucapannya.

Dan benar saja, di ruang tamu depan sudah banyak orang yang berkumpul. Kebanyakan dari mereka adalah keluarga besar ndalem, atau tamu Ummi yang baru saja datang dan ikut nimbrung menonton acara di aula pesantren lewat layar sambungan yang memang sengaja dipasang, agar keluarga ndale yang perempuan juga ikut tahu jalannya acara tanpa ikut ke aula yang berada di pusat pesantren putra.

Di bagian paling depan layar berukuran dua meter persegi, menampilkan acara yang sedang berlangsung di aula. Aku didudukan bersama Sahla yang tampilannya tak jauh beda dengan aku, memakai gaun perniakhan, make-up tebal.

****

Ahmad Pov-

Sudah sejak dua minggu yang lalu, jantungnya ku tetap dalam keadaan yang sama. Masih berdetak, hanya saja tempo detaknya di luar nalar dunai kedokteran.

Nanti puku 09.00 WIB aku akan menyempurnakan separuuh dari agama ku. Setelah shalat tahajjud, aku mencoba menghafal kembali ijab qabul yang nanti akan kuucap.

Ah, sulit sekali! Bahkan lebih sulit dari pada menghafal nadhom Zubad karya  Ibn Ruslan. Nama lengkapnya ialah Syihab ad-Din, Abu al-Abbas, Ahmad bin Husain bin Ali bin Yusuf bin Ali bin Ruslan, ar-Ramli (nisbat pada kota Ramallah Palestina, kota dimana Ibn Ruslan dilahirkan), asy-Syafi’i (nisbat pada mazhab fikih yang dianutnya).

Ahmad merasa jadi manusia paling bodoh saat ini, kemana semua keahlian hasil belajarnya dair kota Kayro, Mesir? Benarkah cinta mampu membuat orang pintar menjadi bodoh?

Istri Kecil Ustadz Ahmad Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang