Bab 15. Kembali ke Semarang

60 9 0
                                    

Zahid mengusap wajahnya yang basah oleh air hujan, ia tak memakai kopiah ataupun baju koko yang sering digunakan untuk mengajar. Kali ini ia terlihat santai dengan kaus putih dan sarung, ia menatap Laila yang tengah kebingung.

"Ngapain kamu hujan-hujanan?" tanya Zahid, pertemuan dua orang ini kenapa selalu akward? Keduanya saling gugup.

"Saya nemenin--" ucapan Laila terpotong   oleh kedatangan Ayra.

"Mbak Laila, ngapain disini? Kami nyariin loh dari tadi, jadi main nggak?"  Dan benar saja, kini Ayra, Sahla, Sarah, dan Fayah datang menghampiri Laila dengan wajah lelah.

Menengok ke belakang, ketiga gadis muda itu mendapati Zahid.

"Kak Zahid juga hujan-hujanan?" tanya Sarah.

"Tadi kakak disuruh Abah buat bersihin pekarangan rumah," ucap Zahid santai.

Kini pandangan matanya tertuju pada  baju adik-adiknya yang sudah basah kuyup akibat air hujan yang cukup deras.

"Sudah sore, kalian  udahan aja hujan-hujannya ya!! Entar sakit, besok pagi sekolah loh." Zahid menasehati.

Akhirnya mereka menyudahi acara bermainnya, dan segera masuk ke dalem begitu pula dengan Layla.

***

Setelah selesai membersihkan badannya, kini Laila hanya tinggal mengeringkan rambutnya.  Pintu kamarnya terbuka,   seseorang dengan kepala yang muncul dari balik pintu, menyapa Laila dengan senyum.

"Mbak Laila kesini!" seru seorang itu, dia masih setia berada di balik pintu. Merasa tidak ada hak memasuki kamar Khodimah lain.

"Ada apa Ning?" Meski begitu, Laila tanpa berpikir dua kali, segera menghampiri seorang yang ia kenal.

"Ini buat Mbak Laila," ucap Ayra, sembari menyodorkan wedang jahe dan roti brownies  ke arah Laila. Laila tidak langsung menerima.

"Eh, nggak perlu Ning!" Laila merasa sungkan sendiri, sebenarnya tidak baik jika menolak rezeki. Apalagi jika itu dari keluarga ndalem, yang mana makanan mereka adalah barokah bagi banyak orang, dan sering menjadi bahan rebutan kaum santri.

"Dari Kak Zahid. Kayaknya dia nggak mau kalau mbak Laila sakit karena hujan-hujanan tadi," ucap Ayra polos, membuat Laila tertegun. Setelah menerima pemberian itu, Ayra pamit pulang.

Laila  menaruhnya di meja belajar, lalu memandanginya.

"Itu browniesnya bagi-bagi dong!" Rohma, kawan Laila.

Gadis gempal itu sudah mencomot brownis milik Laila tanpa menunggu jawaban si pemilik.

Ah, dia sudah terbiasa dengan seperti ini. Kebanyakan kawannya sering berprilaku seperti ini, mereka selalu meremehkan Laila karena ia tak pernah membalas, membantah perlakuan kawannya. Bagi Laila buat apa membalas, ketika ia membalas, lalu apa bedanya dirinya dengan mereka?

Lagipula tidak membalas perlakuan mereka pun ia tak akan rugi, Laila lebih suka diam, ia tak mau waktunya habis hanya karena sesuatu yang tidak berfaedah.

Laila tersenyum, karena kawannya itu tidak mengambil wedang jahenya. Ia tersenyum mengingat akan kejadian tadi siang saat hujan-hujan.

Namun, air matanya segera menyerobot untuk keluar.  Perlahan-lahan ia menunduk dalam, derasnya hujan pada air mata Laila sudah memupuk di pipinya.

"Ya Allah jika  ia bukan jodohku, kenapa kau tambahkan rasa cintaku padanya? Ya robb berdosakah hambamu ini?

Aku hanya ingin mengaguminya, aku tak mau menolak  perintah Abah untuk menikahi dengan pilihannya hanya karena nafsu birahiku yang fana ini," isak Laila, perempuan itu mengingat bahwa minggu depan ia harus pulang ke rumah untuk acara khitbah, itu sunnah nabi untuk melihat wajah dan telapak tangan wanita yang akan dinikahi agar saat acara mereka tidak merasa menyesal atau dirugikan.

Istri Kecil Ustadz Ahmad Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang