7.1 Bintang

3 1 0
                                    

Di koridor rumah sakit, seseorang berlari ingin sesegera sampai ke ruangan yang dituju. Rambut cepaknya melompat rusuh setiap melangkah. Suara dua kaki bahkan terdengar heboh ketika berlari. Sore menjelang malam tak bisa dijeda, untuk itu dia terburu-buru.

Begitu sampai, napasnya melega. Tubuhnya meringan ketika membuka pintu. Walau tak ada keistimewaan, walau belum mengindahkan, dia tetap tersenyum menyongsong sosok wanita paruh baya yang terbaring tanpa sadar, tanpa mengetahui keberadaannya, entah sampai kapan. Tapi mungkin saja wanita itu menyadari di alam sana atas keberadaannya.

"Maaf, Bu, telat datang."

***

Semenjak Ryan bertingkah tak jelas bulan lalu, Lily tak pernah berani bertemu dengan lelaki itu. Seringkali Lily menolak secara tak langsung perintah Ryan untuk bertemu. Seringkali ia menghindar dari Ryan ketika melewati koridor kelasnya untuk bertemu dirinya. Berharap dengan usaha berjaga jarak itu tak menyebabkan Ryan histeris seperti bulan kemarin.

Malam itu, Lily begadang dengan kacamata yang masih menempel di wajah. Matanya fokus pada tulisan rapi, setiap kata seperti semut berbaris. Jari-jari menari di buku tugas teman-temannya walau sedikit gemetar kecapekan.

"Oke! Tugas Hendra selesai." Lily menyimpan buku tugas Hendra ke tumpukan buku yang sudah ia kerjakan. Buku bertumpuk itu berhasil mencapai puncak kepala Lily saking tingginya. Hari ini memang banyak tugas baginya dan mudah saja diselesaikan, asalkan punya waktu yang cukup. Karena itu juga ia merasa bahagia dengan menghindari Ryan yang hanya menambah beban saja.

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu dari luar kos-nya. Lily mengangkat alis sebab baru pertama kalinya ada orang kemari di malam hari, pukul sepuluh lewat. Tangannya terkepal erat, mencurigakan, sesaat kemudian Lily menyambar sapu di gantungan dekat kursi yang ia duduki. Maju selangkah-selangkah menuju pintu, tak melupakan ujung sapu tertantang paling depan.

"Buka pintunya!"

Lily terperanjat dari dalam karena teriakkan dari luar. Tapi sebersit rasa lega sebab yang mengetuk pintu bukan orang asing mencurigakan. "Lo tahu rumah gue dari mana?" tanya Lily tanpa membuka pintu.

"Buka pintunya!"

"Sori, Yan, gue gak bisa—"

"Buka pintunya!"

Lily berdecih mendengar paksaan itu. Ketika pintu sudah dibuka olehnya, terlihatlah manusia bagaikan iblis berdiri dengan mata menyorot tajam. Ada sebuah tanda tanya karena reaksi Ryan melihatnya biasa saja, tak ada teriakkan histeris seperti bulan kemarin. Ternyata dirinya salah memberi pendugaan.

"Buat apa ke sini? Udah malem ...."

Ryan membuka pintu lebar-lebar walau harus mendorong pelan pemilik kosannya, terpampang ’lah sebuah ruangan tanpa sekat milik Lily. "Ini kosan lo? Buluk amat ...."

Lily berdeham malas dan mulai duduk di kursi tempat buku teman-temannya bertumpuk. "Mau apa ke sini?"

"Mau minum," kata Ryan seenak jidat.

"Mau minuman apa?"

"Bebas."

"Gak ada minuman bebas," Lily menghela malas, "adanya air putih sama kopi. Gak ada yang lain. Pilih salah satu."

Ryan melirik gadis itu yang tadi mengamati pajangan di dinding. Dia melongo. "Kopi? Jangan-jangan lo pecandu kopi?"

Lily menggeleng tanpa membuang fokus pada buku tugas yang terbuka. “Lebih tepatnya pecinta kopi.”

"Cewek mana ada minum begituan. Gue juga nggak," ketus Ryan, sekadar mengucilkan bukan mengkhawatirkan. Ia sangat anti pada minuman ataupun makanan tak sehat. Bahkan dirinya tak pernah ikut-ikutan bila Rubay menawarinya sebatang rokok.

Lily Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang