BAB 2 "Di Dunia, Uang adalah Masalah"

9 2 0
                                    

...

"Emak Bapak gue sebenarnya saling sayang, cuma gara-gara masalah duit, semuanya jadi runyam."

...

"tabārakallażī biyadihil-mulku wa huwa 'alā kulli syai'ing qadīr"

"allażī khalaqal-mauta wal-ḥayāta liyabluwakum ayyukum aḥsanu 'amalā, wa huwal-'azīzul-gafụr"

"allażī khalaqa sab'a samāwātin ṭibāqā, mā tarā fī khalqir-raḥmāni min tafāwut, farji'il-baṣara hal tarā min fuṭụr"

"ṡummarji'il-baṣara karrataini yangqalib ilaikal-baṣaru khāsi'aw wa huwa ḥasīr"

wa laqad zayyannas-samā'ad-dun-yā bimaṣābīḥa wa ja'alnāhā rujụmal lisy-syayāṭīni wa a'tadnā lahum 'ażābas-sa'īr

wa lillażīna kafarụ birabbihim 'ażābu jahannam, wa bi'sal-maṣīr

Ramai. Suasana biasa yang selalu bisa ditemui di pelataran masjid panti. Kebisingan anak-anak bermain satu sama lain, bersamaan dengan itu lantunan ayat-ayat suci juga ikut terdengar dari dalam masjid. Kombinasi luar biasa yang mungkin akan jarang terlihat karena terkikis peradaban modern. Namun, abi dan umi pendiri resmi panti tidak akan membiarkan itu terjadi di lingkungannya. Jaman boleh bertambah kuat dibidang teknologi, tetapi nilai agama sudah lebih maju dibanding itu, bahkan sejak dulu, begitu prinsip mereka.

"Al Qur'an itu ibarat catatan kehidupan satu bumi, rangkuman dari awal mula bumi terbentuk sampai bumi hancur, jadi kalo ada yang bilang orang beragama yang suka baca Quran itu ketinggalan jaman, itu salah, dunianya aja yang udah melenceng belok dari aturan Qur'an," tutur abi pada anak semata wayangnya. Miqdam, si anak abi, memberi respon dengan tepuk tangan kecil tak bersuara, mulutnya menganga kecil seperti mengucapkan kata "woahh", persis seperti anak kecil yang baru saja mendapati fakta baru menakjubkan.

"Islam ternyata se-teliti itu ya Bi, Miqdam selalu heran kalo denger fakta-fakta Islam kayakkk mind blowing, benerr masuk otak nyambung gitu," lelaki 23 tahun dengan kaos polos abu-abu itu menanggapi antusias, kedua kakinya yang terlapisi sarung hitam tiba-tiba bangun dari posisi bersila. Membenarkan sedikit posisi kopiahnya yang sebenarnya sudah pas, lalu malah berujung sedikit miring.

"Ehh mau kemana ?" Abi yang duduk dihadapan putra pecicilannya sukses mengabaikan respon kekanakan Miqdam terhadap isi pembicaraannya tentang Al Qur'an tadi, lebih memilih fokus dengan tingkah bocah tengil di depannya.

"Mau nyamperin Prabandari, itu kayaknya udah selese ngaji ehehe," tangan Miqdam mengarah pada sosok bermukena hitam di barisan belakang.

"Yaudah dadahh Abi, Assalamu'alaikum Miqdam main dulu bentarr," baru saja mata abi mengikuti arah tunjuk Miqdam, si anak sudah dulu lari meninggalkan dirinya juga karpet masjid yang mereka berdua duduki sebelumnya dalam keadaan sedikit tersingkap dan kusut akibat pergerakan brutal Miqdam.

"Waalaikumsalam,"

Ya. Seperti itulah Miqdam, anak semata wayang abi umi, yang paling disayangi. Walaupun tingkahnya suka membuat heran tapi masalah adab dan sopan santun sangat melekat baik dalam dirinya. Ya walaupun kadang hilang jika sedang bersama Prabandari. Teman masa kecilnya sampai saat ini.

"KOK BURU BURU AMAT NENG?!?"

"ASTAGFIRULLAH YAALLAHHH!!" menengok ke samping langsung dihadapkan dengan wajah tengil Miqdam membuat Prabandari tersenyum getir. Antara ingin maklum dengan tingkah sahabat, atau ingin berhenti untuk sabar dan sekali-kali memukul orang di depannya saat ini.

"Gue abis ngaji, jangan bikin gue emosi," pengunjung tetap di masjid panti ini salah satunya Prabandari, hanya sekedar menumpang membaca Al Qur'an atau sholat berjamaah. Biar pahalanya banyak katanya, walaupun sebenarnya memang sudah kebiasaan belajar mengaji sedari kecil di sini. Berguru dengan abi, awal mula persahabatan mereka juga diawali dengan belajar mengaji itu.

"Widihh rajin amat, udah sampe mana target lu ?" entah si laki-laki yang suka sekali memperpanjang topik obrolan, atau entah hal ini terjadi secara ketidaksengajaan, yang pasti mereka berdua saling suka bertukar cerita satu sama lain.

"Tadi cuma baca Al Mulk rutin kayak biasa tiap malem sama Al Kahfi kan malem Jumat, belum lanjut buat yang target khatam," posisi keduanya saat ini tengah terhalangi oleh pintu setengah badan di serambi masjid. Dengan Miqdam yang masih berada di dalam dan Prabandari yang sudah di luar siap mengenakan sandal dan berjalan pulang.

"Owhh pantes agak lama ga kaya biasanya, terus kenapa kayak buru-buru gitu, biasanya juga maen dulu sama gue keliling kampung,"

"Gue keluar dari tempat kerja yang lama, besok mau nyoba nyari loker lagi makanya mau pulang cepet biar bisa bangun pagi,"

Miqdam akhirnya membuka satu-satunya pintu penghalang di antara mereka, keluar ikut memakai sandalnya sendiri, lalu jalan mendahului Prabandari, yang ditinggal hanya menatap heran teman anehnya.

"Ayoo jalan weh, katanya mau pulang," belum terlalu jauh jarak mereka, Miqdam menoleh mengajak Prabandari yang langsung ikut menyusulnya. Sebenarnya Miqdam menyadari raut muka temannya, ditambah fakta yang baru dia dengar menambah keyakinan dirinya, jikalau teman kecilnya ini sedang dalam kondisi kurang baik.

Matryoshka & Al Mulk

"Di rumah kenapa lagi ?" Setelah hening yang cukup lama, akhirnya Miqdam buka suara.

"Gapapa sih, cuma gue bingung-" jawaban itu terlontar tanpa wajah menoleh kepada si pelontar pertanyaan. Seakan ragu ingin melanjutkan untuk bercerita pada teman disampingnya atau tidak.

Melihat raut keraguan itu Miqdam berucap "naik ke tempat toren biasa yok, nontonin bintang sama kota sebentar,"

Dan di sinilah mereka berdua berada, duduk bersebelahan di samping toren orange panti. Tempat toren panti memang didesain pas dengan ukuran toren, tetapi masih terdapat sedikit ruang untuk mereka berdua duduk mengabiskan waktu. Kata abi, untuk antisipasi jikalau harus ada perbaikan toren, jadi mempermudah tukang untuk melakukan perbaikan, jalan utama untuk sampai di tempat setinggi kurang lebih 6 meter hanya berupa tangga besi yang menyatu dengan pondasi penyangga. Prabandari sempat protes karena dirinya masih menggunakan mukena, tetapi perempuan cerdik itu selalu mempunyai jalan keluar. Protesnya hanya untuk mencerca teman tengilnya yang selalu mempunyai rencana aneh disaat kurang tepat, tanpa memperhitungkan kondisi.

"Lanjutt dah, Lo boleh cerita apa aja di sini,"

"Duh gimana ya, lo tau kan bapak ibu gue suka ga akur gara-gara duit, bapak lagi seret kerjaannya belum ada panggilan lagi, terus ibu gue ngutang kesana kesini, dan bapak gue gasuka kalo ibu kebanyakan ngutanggg, mana adek mau lulus SMK uang sekolahnya belom lunas dan sekarang gue dikeluarin dari tempat kerja yang gajinya ga seberapa itu," frustasi, emosi pikiran yang selalu disimpan sendiri itu akhirnya terjelaskan, keluar penuh keluhan.

"Guee tauu ngeluh begini gaada hasil, gaada perubahan berarti, rasanya kayak buang buang waktu, mending langsung dipikirin gimana jalan keluarnya, tapi dari kemaren gue mikir buntu muluu, bingung mau gimana,"

"Lo gausah jawab apa apa gapapa deh, maaf banget itu sorryy lagi gabisa dijejelin motivasi motivasi,"

Miqdam merespon dengan tarikan di ujung bibir tipisnya, "Lo  tau ga kalo idup itu punya adab, tapi bukan adab yang kebanyakan orang paham, bukan adab sesama manusia, makhluk, hewan, tapi bener bener adab kita buat idup," lanjutnya tanpa melihat perempuan di sampingnya, mata mereka masing-masing menatap kompak pada pemandangan yang tersaji dari tempat mereka berada saat ini.

Tidak ada suara setelahnya, beberapa menit berlalu merasa tak akan mendapat balasan, Miqdam menoleh ke samping. Satu-satunya teman duduk Miqdam itu tampak menunduk berfikir, kentara dengan kerutan tipis di dahinya. Menyerah untuk berfikir jauh, karena jujur saja otaknya saat ini sangat buntu untuk memikirkan hal-hal rumit.

"Apa?" Tanyanya setelah itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Matryoshka & Al Mulk Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang