Kedua tangan Jimin saling meremat di perjalanan menuju ruang khusus dimana orang nomor satu negara sedang menunggunya. Begitu mendapat kabar dari Taehyung, Jimin mencoba kembali mengingat apa yang sudah ia lakukan. Seingatnya, ia melakukan pekerjaan dengan baik. Tidak menyinggung apapun. Hanya diselingi gurauan belaka. Dan itu pun jenis gurauan umum.
Lalu? Kenapa presiden ingin menemui nya?
Beberapa menit tadi Jimin sampai terkejut ketika keluar dari mobil Van nya. Di hadapannya berjejer barisan pengawal khusus presiden sudah menunggunya. Lima orang total berbaris rapi dengan setelan pakaian lengkap, bertubuh tinggi besar, berwajah datar.
Seorang pengawal dengan wajah tegas, berlesung pipi, bermata sipit menghampiri Jimin.
"Park Jimin ssi?"
Jimin mengangguk dua kali sebagai respon. Dirinya menjaga jarak awas akan setiap pergerakan. Di kelilingi orang orang bertubuh besar dan menyeramkan begini, bagaimana Jimin tidak jadi was was??
"Mari ikut kami, bapak Presiden sudah menunggu."
Jimin tampak menimang sejenak. Kepalanya masih penuh dengan misi menggali memori acara tadi. Apa ia sudah membuat presiden marah tanpa ia sadari? Apa presiden akan menghukumnya? Atau memberi dia sanksi? Penjara seumur hidup? Am I in trouble?
"Mari, Park Jimin ssi," ajak seorang pengawal paling depan tadi sekali lagi. Tangannya sudah terulur menunjukkan jalan menuju pak presiden.
Jimin menelan ludah gugup. Yeah, I am in trouble.
...
Jimin sampai di depan dua buah daun pintu besar. Menggunakan kayu jati dengan ukiran ornamen yang klasik dan unik. Untuk orang nomor satu, tentu sekedar pintu pun tidak bisa sama dengan orang orang pada umumnya.
Jimin langsung menyadari bahwa pertemuan ini berbentuk privat. Hanya dia dan sang presiden saja. Jimin menarik nafas.
"Silahkan, Presiden sudah menunggu anda di dalam," kata seorang ajudan yang sedari tadi memimpin jalan. Ia membukakan satu daun pintu untuk Jimin masuk. Jimin tersenyum kecil lalu menatap sekali lagi pada pintu di depannya.
Lalu, sekelibat ucapan Taehyung sebelum menutup telpon muncul. "Pokoknya kau harus ingat ibu negara kita!"
Ambigu. Aneh.
Jimin kemudian tersadar dari lamunan singkatnya. Ia segera masuk ke dalam sesuai petunjuk dari ajudan yang sabar menghadapi dirinya yang sengaja mengulur-ulur waktu. Karena, demi tuhan!! Jimin tidak siap berhadapan berdua saja dengan pak presiden.
Jimin melangkah perlahan ke dalam. Dari depan pintu, berjarak kurang lebih tiga meter. Tampak figur tubuh tinggi besar presiden membelakangi Jimin. Memamerkan punggungnya yang besar dan kokoh. Presiden sendiri tengah sibuk berbicara dengan seseorang di sebrang sana menggunakan telpon pintar.
Jungkook berbalik dan mendapati sang diva sudah datang. Tampak berdiri canggung dan kikuk. Jungkook gatal ingin menggoda, namun tau ini belum saatnya. Mereka bahkan belum berkenalan secara resmi. Hanya sekedar mengetahui nama dan gelar masing-masing.
"Tunggu sebentar," ucap Jungkook tanpa suara dan dimengerti langsung oleh Jimin. Jimin mengangguk sekali sebagai jawaban.
Sekian menit kemudian Jungkook tampak selesai dengan apapun entah urusannya perihal negara. Pria matang itu mengantongi ponsel pintar nya dan berjalan menuju sofa yang disediakan.
"Silahkan duduk," ucap Jungkook mempersilahkan Jimin menempati sofa tunggal di hadapannya.
Jimin menipiskan bibirnya sedikit sebelum menempati tempat duduk yang disediakan. Sebuah kebiasaan Jimin yang mulai sekarang menjadi favorit Jungkook. Selain indah, Jimin juga terlihat manis dengan hal kecil itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desire.
FanfictionJimin seorang penyanyi papan atas dengan julukan aset negara. Ia tidak menyangka bahwa, penampilannya di depan orang nomor 1 negara menjadi titik balik dalam karir juga kehidupannya, ketika sang presiden, Jeon Jungkook, menyatakan rasa tertarik pada...