Suara derasnya hujan mengiringi langit hitam yang membentang di angkasa. Gemuruh petir menyambar tak jauh di mana seorang pendeta membacakan doa, membangkitkan rasa was-was para penziarah yang datang di sore itu.
Sang pendeta mempercepat pembacaan doa ketika salah satu muridnya membisikkan akan berita kedatangan badai. Tak selang berapa lama, gerombolan para orang suci itu beranjak pergi setelah mengucapkan pamit pada keluarga yang berduka.
Seorang bocah laki-laki menatap nanar tumpukan bunga di depannya. Bunga-bunga itu beragam jenisnya, dia dapat melihat rangkaian Anggrek hingga Tulip. Ibunya akan senang dengan bunga-bunga ini.
Bocah itu mengeratkan genggamannya pada rangkaian bunga Bakung dan Forget-Me-Nots yang ia bawa.
Rintikan air hujan menetes dari ujung payung di genggaman pelayannya, jatuh mendarat di samping sepatunya, mencipratkan butiran tanah basah pada kaos kaki hitam yang ia kenakan.
Suhu udara sore itu lebih dingin dari sejuk, namun Cale mendapati dirinya menggigil bukan karena hujan.
Tangan beku para penziarah menepuk bahu kecilnya dengan simpati, mereka mengatakan sesuatu padanya tapi Cale tidak bisa memfokuskan atensinya pada kata-kata mereka.
"Ron, dimana ayah?"
"...Tuan besar sudah memasuki mobil, tuan muda."
Benar, dia sudah tak bisa merasakan bayangan menjulang sang ayah di sampingnya. Matanya memanas.
Hembusan kuat angin hujan mendorong seorang bocah itu kebelakang, sebuah tangan kuat menahannya sebelum jatuh. "Tuan muda, sepertinya badai akan datang."
"Aku ingin bersama dengan ibu sedikit lebih lama," suara bocah itu lirih, hampir tak terdengar jika bukan karena jarak mereka yang dekat.
"Baiklah, tuan muda."
Bocah itu berjalan maju, mendekat kearah batu nisan yang menguraikan nama sang ibu. Ia meletakkan rangkaian bunga miliknya tepat di depan nisan.
"Ibu," bocah itu berbisik. "Aku memetik bunga-bunga ini untukmu tadi pagi. Mereka adalah bunga favoritmu, kan?"
Genggaman Ron pada payung goyah, nafasnya tercekat. Ya Tuhan.
"Biar aku saja, ayah," suara Beacrox menyadarkannya, remaja itu mengambil alih payung yang ia pegang.
"Terima kasih, nak."
Pria itu menarik nafas dalam-dalam sebelum berjongkok menemani tuan kecil di hadapannya. "Tuan muda?"
Wajah Cale sudah basah oleh air mata, namun suara yang keluar dari bocah itu tidak pernah ruat; kerap berbicara jelas, menceritakan tentang harinya pada sang ibu. Ia menatap naas pandangan kosong di mata bocah itu.
Perlahan, Ron membawa tuan kecilnya ke dalam pelukan. Pria itu dengan lembut membelai surai kembar Cale dengan sang ibu, mengusap-usap lingkaran kecil di punggung tabah anak itu.
"Tuan muda, tidak apa-apa. Jangan tahan air mata anda," ujarnya lembut.
Raungan memilukan hati Cale Henituse mengisi pemakaman kota Hujan di sore itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
To Build a Home [A TCF/LCF Fic]
FanfictionCale Henituse kehilangan keluarga sempurna miliknya ketika sang ibu meninggal. Harapan untuk memperbaiki ikatan ketegangan dengan ayahnya hilang begitu saja ketika sang ayah membawa pulang istri baru dan putra tirinya. Dengan ayahnya yang selalu en...