Bagian 11

410 32 0
                                    

Barangkali baru semeter Jibran melangkahkan kakinya melewati ambang pintu menuju ruang tengah ketika Hanif yang berada di depannya berbalik kearahnya lalu menyambar lengan Jibran dan menyeretnya ke dapur. Jibran sampai tak bisa mengatakan apa-apa sangking kagetnya diseret tiba-tiba oleh Hanif. Setelah mereka sampai di dapur, barulah Hanif melepaskan genggamannya pada lengan Jibran, pemuda itu lalu berbalik untuk menghadap ke arah Jibran, memandang pemuda itu dengan tatapan yang jelas sekali ada raut kepanikan disana.

"Itu temen lu seriusan makan babi?" tanya Hanif dengan suara yang berbisik.

Jibran sudah mengira Hanif akan menanyakan hal itu, maka ia hanya menggangguk perlahan. "Iya, Bang."

"Seriusan?! Beneran daging babi?" Suara Hanif kini seperti ingin berteriak namun tertahan, raut panik di wajahnya sudah tidak bisa ditutupi lagi.

Jibran kembali mengangguk, namun kini dengan agak ragu-ragu setelah melihat reaksi Hanif. Ia paham pasti Hanif kaget kalau Seno beneran makan babi, secara dalam Agama Islam hal itu dilarang. Sekalipun Seno non-muslim, Jibran mengerti bahwa pasti Hanif memiliki perasaan tidak enak jika harus melihat orang memakan makanan tersebut.

"Lu emang dari awal udah tau kalau dia bakalan bawa daging babi?"

"Enggak, Bang. Gue juga baru tau tadi."

Hanif tampak terperangah. "Wah, bisa dimarahin Rendra nih kita," celetuknya seraya mengusap surai rambutnya dengan kasar.

"Mereka ada pakai alat makan disini gak?" tanya Hanif kemudian.

Jibran menelan ludah mendengar pertanyaan itu lalu berujar pelan, "Ada, Bang... Tadi Seno minjem gelas buat dia pake minum."

Hanif kembali terlihat kaget mendengar perkataan Jibran. "Terus sekarang gelasnya dimana?"

"Masih ada di depan, Bang. Lagi dipake."

"Mereka ada pake yang lain lagi gak?"

"Gak ada, Bang."

"Duh, gimana ya? Itu nanti abis mereka pake kita cuci, eh—tapi gak bisa dicuci biasa lah. Duh ribet nih," cerocos Hanif terlihat bingung bercampur panik.

Mendengar celotehan Hanif, Jibran pula baru sadar, bagaimana nanti caranya mereka harus membersihkan gelas yang dipake Seno yang sudah terkontaminasi najis tersebut. Tentu najisnya bisa dibersihkan, tapi seperti yang diucapkan Hanif hal tersebut agak ribet dan Jibran sendiri tidak tau dengan jelas bagaimana cara mensucikannya.

"Ya udah deh, lu buang aja gelasnya kalau udah abis dipake," ujar Hanif tiba-tiba setelah sepersekian sekon terdiam karena berpikir.

"Eh, dibuang, Bang?" ulang Jibran memastikan perkataan Hanif.

"Iya, dibuang aja, cuman itu kan yang mereka pake? Ribet kalau mau disuciin, gue juga kayaknya gak mau deh kalau harus make gelas itu lagi sekalipun udah disuciin, kek jadi kepikiran. Terus kalau mau nanya ke Rendra perihal cara mensucikan najis, bisa kena omel kita," terang Hanif.

"O—oh oke, deh, Bang." Jibran akhirnya hanya bisa mengangguk dan menyetujui perkataan Hanif.

"Ya udah deh, lu balik gih ke depan. Tetap perhatiin ya mereka makan. Sama coba nanti disampein juga kalau kesini lebih baik jangan bawa makanan kayak babi dan sejenisnya yang haram gitu. Karena takutnya bisa mengontaminasi sekitar kayak alat makan itu," ujar Hanif dengan serius tapi terdengar hati-hati menyampaikannya. "Gue serahin ke lu ya buat nyampein, gue ke kamar dulu." Hanif menepuk pundak Jibran lalu beranjak pergi dari dapur. Jibran pun mengangguk paham akan perkataan Hanif, ia akhirnya beranjak pergi juga dari dapur untuk kembali ke ruang tamu dengan perasaan lebih tidak tenang dari sebelumnya.

Penghuni Kos PakdeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang