Bagian 12

394 27 0
                                    

Cahaya dari langit senja di luar sana bersinar menembus jendela kamar Jibran hingga tampak pantulannya pada ubin lantai. Jibran baru saja tiba dari kampus setelah serangkaian mata kuliah dan praktikum yang padat hari itu. Tepat setelah ia meletakkan tas ranselnya pada kursi di depan meja belajarnya, Jibran menepuk keningnya. Ia baru teringat bahwa dirinya lupa untuk singgah di fotokopi yang ada di depan lorong untuk membeli kertas yang akan digunakannya untuk menulis laporan. Persediaan kertas miliknya sudah menipis dan hanya tersisa beberapa lembar. Sebelumnya, saat masih di kampus Jibran sudah sempat teringat untuk membeli kertas, tapi ia justru malah lupa saat melewatinya tadi. Maka dengan langkah yang ogah-ogahan, tanpa berganti baju, Jibran terpaksa berjalan keluar dari kamarnya untuk pergi membeli kertas.

Jibran melewati ruang tengah yang kosong dan sunyi. Sepengetahuannya ada motor Rendra dan Chandra yang terpakir di halaman depan saat ia sampai dari kampus tadi, yang berarti keduanya sudah pulang juga, namun mungkin mereka sedang berada di kamar masing-masing. Jibran juga bisa mendengar suara guyuran air dari kamar mandi depan yang terletak di sebelah kamar Janu. Itu Hanif yang sedang mandi, ia tahu karena mereka sebelumnya berpapasan saat tadi Jibran baru sampai di kosan. Selain itu, kondisi rumah begitu tenang di penghujung hari itu. Langkah kaki Jibran terhenti saat ia sampai di pintu depan rumah, lalu dengan segera ia masukkan kunci ke dalam lubang pada pintu bersamaan dengan terdengarnya ketukan dari balik pintu diikuti dengan suara seseorang dari luar mengucapkan selamat sore.

Jibran menyingkap sedikit gorden jendela yang ada di samping pintu untuk mengintip siapa yang datang, terdengar dari suara tadi tentu bukan anak kosan. Dari balik jendela Jibran bisa melihat seorang pemuda setinggi dirinya tengah berdiri sambil terlihat memandang sekitar. Pemuda itu kembali mengangkat tangannya untuk mengetuk dan sesaat kemudian Jibran akhirnya memutuskan memutar kunci yang sudah menggantung disana dan membuka pintu berwarna coklat tua tersebut.

Sosok pemuda yang mengetuk pintu itu sepertinya agak terkesiap saat menyadari pintu akhirnya dibuka. Terlebih saat ia melihat Jibran yang sepertinya asing baginya. Namun, dengan cepat ia mengubah mimik wajahnya dan tersenyum ramah pada Jibran hingga nampak kedua lesung pipinya. Sebagaimana perkiraan Jibran, pemuda itu kurang lebih memiliki tinggi yang sama dengan Jibran, namun postur tubuh pemuda itu lebih tegap dan berisi, sehingga Jibran tetap terlihat kecil dibandingnya. Dilihat dari wajahnya, Jibran rasa pemuda itu lebih tua beberapa tahun darinya, bahkan Malik sekalipun. Pemuda itu mengenakan hoodie berwarna abu tua dan celana panjang berwarna abu muda. Di tangan kirinya tampak ia menenteng tas laptop berwarna hitam.

"Permisi, Jovinya ada?" tanya pemuda itu dengan sopan.

"Jovi?" Alis Jibran mengerut mendengar nama tersebut. "Gak ada yang namanya Jovi disini," ucapnya pelan.

Pemuda dihadapan Jibran lantas terlihat bingung mendengar perkataan Jibran, senyum di wajahnya agak memudar. "Eh, lu gak kenal Jovi?"

Jibran mulai melongo mendengar perkataan pemuda itu. Sepertinya orang tersebut salah alamat. "Enggak," Jibran menggeleng. "Hmm maaf, Bang. Lu gak salah tempat? Disini gak ada yang namanya Jovi."

Pemuda itu kemudian justru melihat Jibran dengan pandangan seperti menilai dan setelah beberapa saat ia kembali berujar, "Lu... baru ngekos disini ya? Gak kenal Jovian?"

Bibir Jibran terkatup sebentar mendengar pertanyaan itu sebelum akhirnya menjawab, "Iya, Bang. Gue emang baru ngekos disini. Tapi setau gue yang ngekos disini gak ada yang namanya Jovi atau Jovian," tutur Jibran lancar meskipun detik kemudian ia jadi agak ragu, apa mungkin memang sebelumnya ada orang yang ngekos disini bernama Jovi. "Disini... yang punya nama dari J, cuman Jaendra dan Janu." Jibran tidak tau mengapa ia mengatakan hal tersebut.

Sontak raut wajah pemuda di hadapan Jibran langsung berubah, seperti menyadari sesuatu, ia juga lantas menepuk dahinya. "Oh iya, astaga, maksud gue Janu. Lu kenal Janu?"

Penghuni Kos PakdeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang