Bagian 3

560 36 0
                                    

Suara yang paling besar terdengar mengeluh dari kamarnya adalah Hanif. "Woi! Ini lampu kenapa mati?" Teriakannya terdengar sayup-sayup dari kamar Jibran.

"Aduh, kok bisa mati lampu?" Jibran mendengar Malik mengeluh dari tempatnya, sesaat kemudian ia menyalakan senter dari handphonenya dan diikuti oleh Jibran.

"Perasaan gue udah minta tolong Hanif deh buat ngisi token listrik, duh tu anak kayaknya lupa deh," gumam Malik kebingungan. "Maaf ya, Jib. Jadi mati lampu gini, kita keluar dulu deh," ajak Malik yang kemudian berjalan menuju pintu kamar dibantu penerangan dari senter handphonenya. Jibran yang juga bingung dengan apa yang baru saja terjadi akhirnya ikut mengekor Malik keluar kamar.

"Pulsa listrik belum diisi ya?" Rendra keluar dari kamarnya yang berada bersebrangan dengan kamar Jibran tepat saat Jibran dan Malik tiba di pintu kamar, pemuda itu juga tengah memegang handphone sebagai penerangan, kemudian terdengar juga pintu yang terbuka dari kamar lain yang berada di depan.

"Aduh, gue lagi nyetrika baju nih, kenapa mati lampu?" Terlihat figur Jaendra dari balik pencahayaan senter handphonenya yang berjalan dari arah kamarnya.

"Gak tau, gue kan udah minta tolong Hanif buat isi pulsanya," jawab Malik bersamaan dengan pintu kamar Hanif yang terbuka.

"Aduh guys, kenapa mati lampu nih?" keluh Hanif sambil membawa senter.

"Nif, lu belum isi pulsa listrik?" tanya Jaendra.

Seketika itu juga Hanif menepuk keningnya. "Aduh, maaf guys, gue lupa."

"Haduhh..." gerutu Jaendra.

Malik geleng-geleng kepala di tempatnya sambil menghela napas pendek.

"Lu tuh kebiasaan deh, Nif. Mulutnya aja paling cepet ngeluh, padahal salahnya sendiri gak ngisi pulsa listrik," omel Rendra dengan nada yang sebenarnya datar tapi cukup membuat Hanif kicep di tempat.

"Aduh-aduh, iya. Maaf guys. Gue kelupaan sumpah karena push rank. Gue isi deh sekarang," kilah Hanif yang kemudian langsung beranjak pergi ke luar rumah untuk mengisi token listrik.

Beberapa saat kemudian tepat sebelum listrik kembali menyala, terdengar suara Chandra dari dalam kamarnya. "Woy! Kenapa mati lampu nih? Aduhh kepanasan gu—Eh, udah nyala, gak jadi guys."

Setelah listrik akhirnya kembali menyala, Jaendra dan Rendra pun satu persatu kembali masuk ke kamar mereka. Sesaat kemudian Hanif masuk dari luar rumah, ia nyengir saat melihat Malik.

"Sorry, Lik. Kelupaan tadi." Hanif terkekeh pelan. "Maaf ya, Jib. Jadi mati lampu," ucap Hanif melihat pada Jibran sebelum ia akhirnya masuk kembali ke kamarnya. Jibran hanya balas tersenyum padanya.

"Maaf ya, Jib. Jadi mati lampu kayak tadi. Biasanya yang isi token listrik gue, tapi karena tadi lambat pulangnya, gue minta tolong Hanif buat ngisi. Eh, si bocah malah lupa," tutur Malik jadi merasa tidak enak dengan Jibran.

"Gapapa, Bang. Santai," ucap Jibran.

"Ya udah, lu istirahat gih, gue juga mau balik kamar nih," ujar Malik akhirnya.

"Iya, Bang."

Malik pun berjalan menuju kamarnya yang berada di sebelah pojok kiri bagian depan ruang tengah. Jibran pun berbalik badan untuk kembali ke kamarnya juga.

Sekitar 10 menit usai Jibran masuk kembali ke kamarnya, terdengar bunyi notifikasi dari handphonenya. Jibran mengambil benda persegi panjang yang kini tergeletak di atas tempat tidur itu lalu mengeceknya. Rupanya Malik barusan meng-invite dirinya ke grup para penghuni Kos Pakde. Namun, selang beberapa detik kemudian Malik meng-invitenya lagi ke sebuah grup. Jibran mengecek grup kedua itu, kemudian dia sadar bahwa grup yang kedua itu hanya berisikan para penghuni kos tanpa ada Pakde disitu. Sementara grup yang pertama sepertinya memang grup yang dikhususkan sebagai tempat berkomunikasi antara Pakde dan para penghuni kosnya.

Jibran kemudian teringat bahwa ia harus mengirimkan bukti pembayaran kos kepada Pakde, maka cepat-cepat ia screenshoot bukti transfer dari aplikasi m-banking miliknya, lalu membuka kontak Pakde yang terdapat pada daftar anggota grup kosan. Sebelum itu, Jibran menyempatkan untuk mellihat foto profil WhatsApp Pakde.

Pakde menggunakan foto profil yang sepertinya dipotret di sebuah studio foto. Ada tiga orang dalam foto itu, seorang gadis berhijab yang mungkin seusia Jibran berdiri di tengah, kemudian seorang wanita dengan hijab panjang yang mengingatkan Jibran pada tantenya berdiri di sebelah kiri gadis itu, sementara di sebelah kanannya ada seorang pria yang diyakini Jibran sebagai Pakde berdiri tegap di tempatnya. Melalui foto itu saja, Jibran sudah bisa paham bahwa pakde adalah orang yang patut untuk disegani.

Pria yang mungkin berusia 40-an akhir itu tersenyum ramah ke arah kamera, Pakde mengenakan setelan baju koko dan juga sarung serta kopiah hitam. Wajahnya yang dihiasi senyum tipis terlihat penuh wibawa. Jibran yang baru melihat Pakde lewat foto saja sudah merasa segan dengan beliau. Baginya Pakde terlihat sekali sebagai sosok yang memiliki karisma yang kuat serta orang yang berilmu tinggi. Terlebih setelah banyak mendengar khususnya hari ini dari para penghuni kos tentang sosok Pakde, Jibran yakin Pakde bukan orang sembarangan.

Setelah cukup melihat foto profil Pakde, Jibran pun akhirnya mengirimkan bukti pembayaran kosnya ke room chat antara dirinya dan Pakde yang tentunya sudah ia awali dengan perkenalan diri secara singkat terlebih dahulu. Chat itu terkirim dan centang dua, tapi belum dibaca. Jibran pun meletakkan kembali handphonenya di samping tubuhnya, kemudian ia merebahkan diri diatas diatas tempat tidur. Dipandanginya plafon kamar yang berwarna putih. Jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul jam 9 lewat. Rasa kantuk belum menghampiri Jibran, ia masih punya tumpukan laporan yang baru selesai setengah di meja belajar. Namun Jibran memilih untuk meluruskan badannya sejenak terlebih dahulu. Hari ini terasa cukup panjang baginya.

Kegiatan yang dilaluinya seharian itu berputar kembali dalam benaknya. Mulai dari masuk kuliah di pagi hari, kemudian bersiap dari siang untuk pindah ke kosan baru. Bertemu dengan para penghuni kos yang lain, sholat berjamaah di masjid, makan bersama. Sampai akhirnya tadi dia menandatangani kontrak sewa kos. Ada banyak hal baru yang dilakukan Jibran hari ini, salah satunya adalah banyak bertemu dan berinteraksi dengan orang baru. Meskipun ia sudah 3 kali pindah kosan, apa yang terjadi di kosan ini belum pernah ia alami saat ia ngekos di dua tempat sebelumnya, padahal ini baru hari pertamanya disini.

Jibran termenung, dalam hati ia sangat berharap bahwa kos ini adalah tempatnya terakhir ngekos sampai nanti dia lulus kuliah, sungguh dia sudah capek kalau harus pindah-pindah kosan lagi. Terlebih teguran maminya terakhir kali ketika ia ingin pindah kos sudah cukup menjadi lampu merah baginya untuk tidak pindah-pindah kosan lagi. Jibran hanya bisa berharap semoga dia baik-baik saja di Kosan Pakde ini. Bagaimanapun Jibran tidak bisa menutupi perasaannya bahwa kos ini terasa berbeda dari lainnya.

—————

Penghuni Kos PakdeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang