"kenapa Solar lama ya?"
Duri memandang langit senja dengan sendu, menunggu kedatangan si bungsu dengan janji mereka tadi. Solar sudah berjanji akan membacakan cerita lama itu, lalu Duri dengan setia menunggu kembalinya Solar.
Namun, sudah petang Solar belum kunjung kembali juga. Membuat saudara kembar itu perlahan mulai khawatir dengan kondisi si bungsu.
"Dia akan baik-baik saja, lagian udah gede ini, kan?" ujar Halilintar cuek sambil menatap majalah yang ada di tangannya.
Gempa mengerutkan keningnya tak suka, sikap Halilintar akhir-akhir ini membuatnya agak kesal.
"Hali, dia adik kita. Meski sudah besar, apa salahnya khawatir?" balas Gempa sambil menarik majalahnya.
Terlihat raut wajah Halilintar yang tak tenang, tanda ia baru saja berbicara yang bertolak belakang dengan kenyataan. Gempa menyeringai kecil ketika melihatnya, dan dengan segera Halilintar memalingkan wajah untuk menutupi ekspresi miliknya.
"Hahaha dasar tsundere," ejek Blaze ketika melihat ekspresi wajahnya yang tak sesuai dengan ucapan.
"Berisik! Lebih baik kau pergi cari dia saja!"
"Ogah, tau sekolahnya aja gak."
Sementara Blaze dan Halilintar sibuk berdebat, mata Gempa beralih melihat layar TV yang menampilkan sebuah berita. Dikabarkan telah terjadi sebuah ledakan besar yang mengakibatkan puluhan remaja terluka parah, diduga karena bahan kimia yang ada di lab sains tersebut.
Terlihat kameraman sedang menyoroti para polisi yang hendak mencari tau penyebabnya lebih lanjut, lalu ada beberapa pemadam kebakaran yang membawa anak remaja tersebut ke dalam ambulans.
Di saat itu juga, manik emas itu membulat. Terlihat Solar yang tertangkap kamera dengan kondisi yang tak sadarkan diri.
"Solar ... Tidak ... Jangan lagi!"
Tanpa menghiraukan kembaran lain yang memandangnya, Gempa bergegas berlari keluar rumah. Tak peduli kemanapun itu, tidak tau ke mana arahnya ia pergi. Selama dirinya bisa menemukan saudaranya, itu bukanlah masalah.
"Tunggu! Jangan seenaknya pergi," cegah Halilintar sambil merentangkan kedua tangannya, menghalangi pintu keluar.
"Ada apa denganmu, Gem?" tanya Halilintar lagi, namun kali ini dengan nada yang lebih tenang.
Duri yang memahami kekhawatiran Gempa, menunjuk ke arah TV sambil menatap si sulung dengan ekspresi khawatir.
"Hali ... Solar ...."
Duri tidak tau harus berkata apa, ia baru saja melihatnya dan terkejut. Maksudnya, dia sudah sabar menunggu kedatangan sang adik. Tapi sekarang ia justru dihadapi oleh kenyataan, bahwa Solar dalam kondisi kritis.
Bahkan media mengatakan, bahwa anak berbaju putih abu itu mengalami gangguan pernapasan. Hal itu membuatnya teringat dengan kejadian lama, tragedi yang sama-sama membuat si bungsu sekarat.
"Baiklah, aku akan coba panggil temannya Solar. Kalian tetap di sini dan jangan kemanapun," ujar Halilintar menenangkan.
Gempa tak ada hentinya menatap TV dengan penuh kekhawatiran, namun ia tetap menganggukkan kepala, tanda dirinya setuju dengan ucapan si sulung.
.
.
.
"Solar!"
Sebuah ledakan besar terjadi, membuat markas tersebut hancur parah. Namun, berkat serangan tadi, musuh besar berhasil dikalahkan.
Tapi bagi keenam kembaran lainnya itu bukanlah sebuah kemenangan yang indah, apalagi ketika harus menyaksikan saudaranya sendiri terlempar keluar angkasa tanpa adanya alat pelindung apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABANG SOLAR?! [End]
FanfictionSolar yang merupakan anak terakhir dari tujuh bersaudara harus menjadi seorang Abang. Merawat keenam saudaranya dan memerhatikan mereka dengan baik. Tapi ... Apakah si bungsu ini bisa melakukannya? Apalagi dia belum pernah merawat siapapun. Semoga s...