“Aku ingin pertunangan kita dibatalkan,” ucap Hira pelan dan tenang.
Bertolak belakang dengan cuaca hari ini yang cukup nyaman, ucapan dari gadis itu bagai petir di siang hari yang cerah. Tak terduga.
Bagas, lelaki yang baru menyandang gelar tunangan Hira sehari lalu itu pun melebarkan pupil matanya. Indera pendengarannya masih berfungsi dengan normal untuk bisa menangkap kalimat yang diucapkan Hira, pun dengan indera penglihatannya yang menangkap ketenangan luar biasa dari lawan bicaranya. Seolah apa yang dikatakannya itu bukan hal besar.
“Maksudmu apa, Ra?” tanya Bagas. Hira yang ia kenal tidak akan mengambil keputusan gegabah seperti ini. Mungkin saja Hira sedang bercanda atau kalimatnya memiliki makna lain.
“Seperti yang kukatakan. Aku ingin pertunangan kita batal.”
Bagas mendengkus. Rupanya gadis itu tidak sedang bercanda ataupun memiliki maksud lain.
“Jangan mengada-ada, Ra. Baru kemarin kita bertunangan, dan hari ini kamu ingin membatalkannya?” ucap Bagas marah, meski begitu ia berusaha menekan suaranya. Mereka tengah berada di sebuah café. Ada banyak pengunjung lain yang mungkin akan memperhatikan mereka jika Bagas mengangkat suara.
Hira mengangguk pasti.
Bagas memejamkan mata dan mengatur napas sebagaimana ia berusaha mengatur emosinya yang campur aduk. Sulit baginya untuk memutuskan bertunangan dengan Hira. Lalu… setelah semuanya terjadi, gadis itu minta batal? Yang benar saja!
“Ada apa? Kenapa tiba-tiba?” tanya Bagas menatap Hira. Sementara Hira masih enggan menatap mata Bagas. Mata bulat gadis itu memilih menatap area taman café yang penuh dengan tanaman.
Hira menarik napas panjang, “Aku… nggak bisa jadi ibunya Alif.” Suara gadis itu tercekat sesaat, tapi Bagas tak menyadarinya. “Aku nggak bisa mengganti posisi Ibu Alif,” imbuh Hira.
Bagas terdiam sejenak. Lelaki itu mengetatkan rahangnya.
“Sejak awal kamu tahu aku punya Alif,” tukas Bagas terdengar dingin.
“Ya. Tapi aku nggak bisa-“
“Saat memutuskan untuk menikahimu. Aku nggak pernah minta kamu menggantikan posisi ibu Alif. Selamanya Ibu Alif hanya dia,” ucap Bagas penuh penekanan.
Hira tak menjawab sedikitpun. Mulut gadis itu tertutup rapat.
“Kamu sengaja melakukan ini, Ra? Kenapa sekarang? Kenapa bukan sebelum pertunangan kita? Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Bagaimana dengan orang tua kita? Kamu ingin mempermalukan mereka?” cecar Bagas tak bisa menutupi rasa penasarannya. Ternyata Ia tak mengenal Hira dengan cukup baik.
“Aku bisa bilang sendiri pada orang tua kita kalau Mas Bagas nggak bisa,” ucap Hira. Tak menjawab satu pun pertanyaan Bagas. Dari jawaban Hira pun Bagas paham bahwa keputusan Hira terlihat sudah bulat. Gadis itu bahkan berani menatap Bagas.
“Baik kalau itu maumu,” jawab Bagas mantap. Meskipun tidak tahu alasan pasti Hira, yang jelas gadis itu sudah memutuskan, tak mungkin Bagas mengemis pada gadis yang tak sudi menikahinya.
“Aku saja yang bilang pada orang tua kita. Toh sejak awal namaku sudah tercoreng, tak masalah kalau itu terjadi sekali lagi. Namamu bisa tetap bersih, bahkan setelah memutuskan pertunangan kita tanpa alasan,” ucap Bagas dingin. Lelaki itu kemudian beranjak dari tempat duduknya. Mengambil langkah mantap meninggalkan Hira. Lelaki itu terus berjalan, tak menoleh lagi ke belakang.
Bagas tidak tahu bahwa sepeninggalnya, air mata Hira mengalir. Sudah cukup lama gadis itu menahan sesak di dadanya. Alasannya tidak menjawab Bagas di kalimat terakhirnya adalah karena suaranya begitu tercekat, hingga tak bisa keluar. Bahkan jika HIra memaksanya untuk mengatakan sesuatu, ia terlalu takut, justru tangis yang akan keluar. Sekalipun bukan keinginannya untuk mempermalukan Bagas atas permintaan konyolnya ini.
Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, menangis tersedu. Hira ingin menghabiskan tangisnya di sini. Sekalipun menjadi tontonan bagi pengunjung yang lain. Paling tidak, saat pulang nanti… ia tak akan menangis lagi.
Setelah selesai menangis, Hira baru mendongakkan kepala. Namun betapa terkejutnya saat tahu bahwa ternyata di depannya ada seorang lelaki yang tengah memperhatikannya, entah sejak kapan. Hira bahkan tak sadar kehadiran lelaki itu.
“Cuma alasan itu yang bisa kamu pakai?” tanya lelaki itu. “Tidak bisa menggantikan posisi Ibu Alif,” lelaki itu mengulangi kalimat Hira. “Maksudmu… posisinya di hati Bagas?”
Lelaki itu mengangsurkan tisu pada Hira. Gadis itu tak menolak kebaikan hati sang lelaki.
“Bukan urusanmu,” ucap Hira. Ia merasa kesal saat mengetahui fakta bahwa lelaki di hadapannya itu kini tahu tentang rahasia yang bahkan Bagas saja tidak tahu.
Gadis itu menghapus air matanya. Entah bagaimana tampangnya sekarang. Hira tak peduli, paling tidak, ia sudah puas menangis.
“Mau menggunakan jasaku?” tanya lelaki itu terlihat tak peduli dengan mata sembab Hira dan beberapa pengunjung yang mulai tertarik melirik ke arah mereka.
Hira mendengkus. “Aku nggak berniat bangun rumah,” jawab Hira enggan. Bagaimana bisa lelaki itu malah mempromosikan jasanya pada saat seperti ini? Benar-benar tak habis pikir.
“Kalau bangun rumah tangga?” tanya lelaki itu lagi.
Hira menghela napas. “Ini bukan saatnya bercanda,” jawab Hira, gadis itu beranjak dari kursinya. “Aku akan sangat menghargai kalau kamu tidak mengadukan hal ini pada siapa pun,” ucap Hira.
Lelaki itu mengendikkan bahu. “Aku bukan pengadu.”
“Syukurlah.”
“Aku juga tidak bercanda. Tawaranku ke kamu… tidak bercanda.” Ucapan lelaki itu mengurungkan langkah Hira untuk meninggalkan meja.
“Sekalipun tidak bercanda, ini bukan saat yang tepat.”
“Justru ini saat yang tepat.”
Hira mengerutkan dahi, menatap lelaki itu penuh tanya.
Lelaki itu tersenyum. Ia berdiri dan mencondongkan tubuh ke arah Hira membuat Hira melakukan sebaliknya dengan memundurkan tubuhnya untuk menghidar.
“Gunakan jasaku. Aku bisa membuatkan alasan yang lebih bagus untukmu.”
Meski tak berniat mendengarkan omong kosong lelaki di depannya ini, tapi Hira tetap menjawab. “Tidak, terima kasih.”
“Dengan alasan payah yang kamu gunakan tadi. Aku yakin mereka tidak akan berhenti mengejarmu. Gunakan jasaku. Aku jamin mereka akan berhenti dan hidupmu akan jauh lebih tenang.”
Hira mendengkus. “Lebih tenang? Dengan kebohongan?” Menyembunyikan fakta tentang alasannya meminta pertunangan batal saja sudah cukup menyiksa, apalagi harus menambah kebohongan.
“Tidak. Terima kasih. Aku bisa mengurusnya sendiri. Kakak nggak perlu ikut campur,” imbuh Hira terdengar tegas.
“Aku tidak bilang itu kebohongan dan aku memang ingin ikut campur,” ucap lelaki itu tegas. Meski terbiasa melihat wajah tegas lelaki itu. Namun kali ini terlihat berbeda.
Hira baru saja membuka mulutnya. Namun lelaki itu kembali melanjutkan kalimat yang tidak terduga.
“Menikah saja denganku, Hira. Aku serius. Omong kosongku tadi hanya alasan. Aku… sungguh ingin menikahimu.” Lelaki itu berkata dengan tatapan dalam membuat Hira ternganga.
Apa benar lelaki di hadapannya ini serius? Gadis itu benar-benar tidak percaya. Hira… tidak sedang bermimpi, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Main Course In Romance
RomanceHira yang sudah lama mengagumi Bagas akhirnya mendapat kesempatan untuk bertunangan dengan lelaki itu. Namun tiba-tiba saja Hira membatalkannya dan justru dilamar orang lain. Apa alasan Hira memutuskan pertunangan? Mengapa lelaki dari masa lalu Hira...