2

20 6 0
                                        

“Ha-ha-ha! Masuk SD saja belum sudah mau nikahin anak gadis orang!” seloroh  Bu Madira, Nenek Alif saat mendengar cerita siang tadi dari Bagas. Sementara Alif menikmati ayam gorengnya di meja makan.

“Kata Papa kan nggak boleh pacaran,” jawab Alif.

“Ya bukan berarti langsung nikah. Baru juga tujuh tahun. Papamu tuh, suruh nikah dulu!”

“Lho… lho… kok jadi Papa?” Bagas pura-pura bodoh.

“Kalau sudah seumuran Papa baru boleh. Harus malah.” Bu Madira sengaja menekankan kalimat terakhirnya karena sudah gemas dengan putra tunggalnya yang enggan menikah.

“Emang iya, Pa?” tanya Alif pada Bagas.

Bagas hanya mengangkat bahu. Tak berniat menjawab, bisa panjang urusannya.

Tak lama terdengar suara anak-anak di depan rumah mereka memanggil Alif untuk mengajaknya bermain. Bocah itu pun langsung bersemangat, segera menyelesaikan makan siangnya dan mencuci tangan sebelum berlari menuju teman-temannya.

Setelah itu Bu Madira mendekati Bagas yang masih menikmati makan siangnya.

“Hira itu cocoknya jadi Mamanya Alif,” ujar Bu Madira.

“Bagas nggak mau saingan sama anak sendiri, Bu,” canda Bagas dengan mimik wajah serius.

Bu Madira berdecak kesal, Bagas tertawa.

“Kurang apa Hira? Cantik, pinter masak, solehah. Ih, Ibu mah seneng da kalau punya mantu kayak Hira.”

“Takutnya Hira yang nggak seneng punya mertua kaya Ibu.” Lagi-lagi Bagas bercanda, tapi kali ini dapat bonus pukulan di punggungnya.

Bagas lantas tertawa melihat ibunya terlihat kesal.

“Bercanda, Bu… Bagas yakin, siapa pun yang menjadi menantu Ibu pasti akan bersyukur punya mertua sebaik dan sesalihah Bu Madira yang cantik ini.”

Bu Madira pura-pura melengos, tapi tak urung senang juga dipuji putra semata wayangnya.

“Tapi kamu nggak mau nikah bukan karena masih menunggu….” Bu Madira menggantung kalimatnya. Khawatir menyinggung Bagas. Selama ini mereka seolah tabu menyebut nama itu di rumah.

Bagas sempat menghentikan aktivitasnya sejenak. Tapi kemudian melanjutkan seolah tak terganggu dengan ucapan Bu Madira.

“Belum ketemu yang cocok aja, Bu,” jawab Bagas kali ini dengan raut wajah serius. Bu Madira langsung tahu perubahan mood Bagas. Padahal beliau tahu benar, Bagas memang tidak ada niat untuk mencari pendamping. Terbukti, sejak kehadiran Alif, laki-laki itu bahkan tak terlihat tertarik lagi dengan makhluk yang bernama perempuan.

“Kamu nggak mau coba mempertimbangkan Hira?” pancing Bu Madira lagi. “Denger-denger dia baru aja nolak lamaran anaknya Pak Haji Muklis.”

Bagas mengerutkan dahinya. “Salman?”

Bu Madira mengangguk. “Budenya Salman sendiri yang cerita ke Ibu.”

“Bu… Salman saja ditolak apalagi Bagas,” kekeh Bagas.

Siapa tak kenal Salman di kampung ini. Anak Haji Mukhlis yang kaya dan terpandang. Pintar, lulusan luar negeri, kini bekerja sebagai dosen yang terhormat dan meneruskan bisnis ayahnya. Tentu jauh berbeda dengan Bagas yang hanya lulusan SMA, anak keluarga sederhana dan kini hanya mengelola toko sembako kecil.

“Ya siapa tahu saja Hira carinya yang kayak kamu. Selera perempuan kan kadang unik.”

Bagas hanya geleng-geleng sambil tersenyum tipis saja menanggapi sang Ibu.

“Kalau kamu mau, Ibu bisa tanyain ke Bu Aini,” imbuh Bu Madira menjual nama Ibunya Hira yang memang sudah dikenal baik.

“Bu….” Bagas menghela napas pasrah dan menatap mata sang Ibu yang berbinar penuh harap.

“Ini bukan pemaksaan, Gas. Dicoba saja dulu. Kalian kan sudah lama kenal. Kamu butuh istri. Alif butuh sosok Ibu. Hira kandidat yang cocok…”

“Kalau dia mau,” sahut Bagas tak merasa yakin. Bagas sudah sering diremehkan karena berasal dari keluarga sederhana. Apalagi sekarang ada Alif yang harus ia pikirkan juga. Menikah jelas bukan prioritasnya saat ini. Namun sepertinya sang Ibu sangat berharap.

“Kalau ternyata Hira mau, gimana?” tantang Bu Madira. Justru kini Bagas yang terdiam, tak tahu harus menjawab apa.

***

Sementara itu di lokasi proyek pembangunan sebuah townhouse tak jauh dari Kampung Mawar, Pepeng baru tiba dengan membawa puluhan bungkus nasi padang untuk makan siang para pekerja.

“Dibeliin apa jadinya, Mas?” Sebuah suara husky terdengar menegur Pepeng, membuat mandor paruh baya itu terlonjak kaget. Suara khas yang serak dan dalam itu milik Rayn, arsitek sekaligus developer pembangunan townhouse.

Suara yang menurut Pepeng lebih cocok jika dimiliki oleh seseorang yang berpenampilan sangar dan berprofesi sebagai preman atau mafia. Namun nyatanya Rayn hanyalah seorang pemuda kurus dan tinggi. Satu-satunya yang membuat Rayn terlihat tegas adalah alis matanya yang tebal. Selebihnya, Rayn adalah sosok yang ramah dan royal.

“Nasi padang, Mas. Oh iya ini kembaliannya.” Pepeng merogoh saku hendak mengambil uang, namun Rayn menahannya.

“Simpen aja, Mas,” ucap Rayn.

Pepeng nyengir senang dan berterima kasih.

“Ini buat Mas Rayn,” lanjut Pepeng mengangsurkan sebungkus nasi padang pada Rayn.

Pemuda kurus itu tampak tak berselera. “Buat Mas Pepeng dan yang lain saja.”

“Lho? Nggak makan siang ta, Mas? Apa mau saya belikan yang lain?” tanya Pepeng.

“Nggak usah. Nanti gampang lah,” ujar Rayn kemudian membantu Pepeng memanggil seluruh pekerja untuk makan siang bersama.

Sementara para pekerjanya menikmati makan siang bersama, Rayn malah tampak sibuk dengan cetak birunya.

“Ndor, harusnya lu belikan bos kita itu nasi dari restoran. Mana level bos makan nasi padang jelata kayak gini,” gurau salah seorang kuli bangunan menggoda Pepeng. Mandor proyek itu masih merasa sungkan pada sang bos. Padahal Rayn yang mentraktir makan siang hari ini, tapi malah nggak kebagian.

“Mas Pepeng belikan makanan dari restoran hotel bintang lima pun belum tentu Rayn mau makan. Memang susah makan orangnya. Mas nggak lihat tuh badannya kurus kering begitu,” sahut Jerry, teman sekaligus partner kerja Rayn.

“Kalau kita-kita hidup untuk makan, Rayn itu cuma makan untuk tetap hidup,” imbuh Jerry.

Yang lain tertawa mendengar celetukan Jerry.

“Kok ada ya orang nggak doyan makan?” gumam Pepeng.

“Ada. Tuh orangnya,” tunjuk Jerry pada Rayn.

Pepeng geleng-geleng kepala. Memang selama beberapa bulan bekerja pada Rayn, Pepeng hampir tidak pernah melihat Rayn makan apalagi ngemil. Tapi kalau traktir sering.

“Aku baru nemu warung makan yang uenak tenan, Mas. Dekat sini. Yang jualan juga cantik. Nanti coba kuajak Mas Rayn ke sana, siapa tahu jadi nafsu makan,” ucap Pepeng pada Jerry. Tentu yang dimaksud adalah Hira, pemilik warung nasi Numan. Bahkan sempat terbesit di otak Pepeng untuk menjodohkan Rayn dengan Hira. Pepeng dengar, Hira juga masih single. Kata Jerry, Rayn juga jomlo sejak masih dalam kandungan. Sepertinya mereka juga seumuran.

Tapi apa mau orang kaya seperti Rayn dengan gadis sederhana pemilik warung nasi seperti Hira? Pikir Pepeng. Meskipun selama ini Rayn adalah sosok yang sederhana di mata Pepeng.

Pepeng menggelengkan kepalanya, ah itu urusan nanti. Sekarang rencana Pepeng adalah mengajak Rayn ke warung Numan dulu. Kalaupun nggak cocok sama pemiliknya, siapa tahu cocok sama masakannya yang menurut Pepeng sangat lezat.

“Weh kalau gitu jangan Rayn aja yang diajak, Mas. Saya juga mau,” ucap Jerry semangat.

“Inget Istri Mas Jerry,” seloroh Pepeng sambil tertawa.

“Ya pasti inget dong. Cuma kalau masalah makanan enak dan cewek cantik ya beda urusan,” kekeh Jerry.

***

Main Course In RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang