Mulanya

154 11 2
                                    

Kalau jatuh cinta semudah melepaskan hati pada orang baru, harusnya meluluhkan hatinya pun tidak sesulit itu kan?

Awalnya mungkin hanya bicara satu sama lain. Saling membantu tanpa merasa harus membalas budi. Saling mengobrol tanpa tahu waktu. Dan saling mendengarkan cerita seiring nyamannya rasa di hati.

Kalau diingat-ingat lagi, sepertinya semua berawal dari mereka saling membantu. Memang tidak ada yang spesial, namun hal itu justru membentuk kesan yang baik untuk mereka berdua.

Hanya saling tahu nama tanpa pernah bicara langsung. Sering berpapasan dan tak pernah bertegur sapa. Berada di tempat kerja yang sama tetapi beda divisi. Pernah saling membalas pesan namun hanya untuk sebuah pekerjaan. Keduanya dahulu seperti itu.

Tapi, semua kesan itu berubah seiring berjalannya waktu. Lambat laun keduanya mulai berhubungan begitu intens tanpa dihentikan oleh waktu dan kegiatan sekalipun. Kesibukan pernah menjadi ajang test perasaan masing-masing.

Namun sialnya, mereka berdua menyanggah perasaannya dengan kuat dan tetap pada pendiriannya.

Pernah terjadi sesuatu yang tidak pernah disangka-sangka. Bertemu di pantry untuk mengambil segelas air minum dan membuat segelas kopi hangat untuk menemani pagi hari mereka.

Ketidaksegajaan layaknya di TV, udara canggung menggantung mengelilingi mereka. Hanya karena saling menyuruh lebih dulu untuk mengambil air hangat.

"Silahkan. Hikaru duluan aja."

"Gapapa, kau duluan aja, Ten. Tadi sudah lebih dulu datang ke sini kan?"

"Gapapa kok. Aku habis Hikaru aja."

"Gapapa Ten kalau ma-"

"Bisakah kalian jangan bertengkar di depan dispenser?" Ini suara Karin yang sejak tadi ada di belakang keduanya.

Baik Hikaru dan Ten, keduanya mempersilakan Karin untuk mengambil minum lebih dulu. Disela-sela antrian yang dibuat secara tidak sengaja, saling melempar pandang kini sudah dilakukan oleh Ten dan juga Hikaru.

Langkah kaki yang membawa mereka pada arah yang tak sama pun berhasil memisahkan mereka selayaknya di persimpangan. Tanpa ada sepatah kata perpisahan, walau hanya sekedar sampai jumpa lagi pun tak pernah terucapkan.

Kalau ingin bermain tebak-tebakan, mungkin Ten akan memainkannya dengan Karin. Bukan perihal pekerjaan, tapi tentang siapa yang lebih dulu jatuh akan perasaannya masing-masing. Mudah memang mengatakan dan menebak siapa yang lebih dulu jatuh, tanpa sadar bahwa terkadang isi hati bekas kejatuhannya akan membuat lubang kecil yang semakin lama akan membesar.

Konsekuensi yang pasti pernah terlintas dalam pikiran keduanya tapi tak pernah tahu bagaimana cara mengatasinya.

"Hikaru." Jawaban Karin mengalihkan pikiran Ten pada sosok senior mungilnya.

"Kenapa?"

"Kok kenapa?"

Alis Ten terangkat seolah bertanya. "Kenapa?"

"Ituloh, beneran Hikaru ada di meja depan deretan tim product."

"OH!"

Suara OH yang dilontarkan Ten berhasil menguasai sederet ruangan terbuka di kantornya ini. Beberapa pandang bahkan milik Hikaru pun mengarah padanya sekarang.

Sial betul.

"Aku malu." ucap Ten pasrah.

"Salah kau sendiri."

Kalau sudah begini, memang tidak ada yang bisa membantu selain dirinya sendiri. Tidak ada yang perlu dipikirkan sebenarnya. Mungkin beberapa dari mereka akan berpikir bahwa teriakan tidak sengaja dari Ten tadi adalah sebuah perasaan terkejut karena sesuatu.

Berakhirlah sudah pandangan Ten pada layar PC di hadapannya. Tidak ingin menatap ke sekitar yang juga masih ikut menatapnya.

"Ten."

"Apasih?"

"Ten."

"Ap-- eh, Hikaru?"

"Bisa kita bicara sebentar?"

Ten bingung. Jantungnya sedikit berdebar mendengar suara lembut dari manusia yang tingginya lebih kecil darinya. Wajahnya sedikit terkejut, namun berusaha menutupinya.

Sudah kalah.

Kini sudah jelas bukan siapa yang jatuh terlebih dulu?





SituationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang